Ce que je pense, c'est ça. C'est ça!


It answers the question that was tormenting you: my love, you are not ‘one thing in my life’ - not even the most important - because my life no longer belongs to me because…you are always me.

Jean-Paul Sartre



Hal yang menyenangkan dari semester tujuh adalah mendapati diri sendiri mengikuti kelas yang membahas pemikir-pemikir Prancis. Kelas yang dinanti-nanti dari semester satu, kelas yang langsung merebut hati ketika melihat satuan acara perkuliahannya, kelas yang sangat diharapkan mendapat A dari seluruh kelas yang tidak mungkin mendapatkan A, dan kelas yang satu-satunya membiarkan mahasiswa mengeluarkan pendapatnya tanpa peduli benar atau salah (yang sejujurnya saja sulit ditemui selama tiga tahun berhasil sampai ke titik ini). Apa yang sebenarnya menarik dari kelas yang cenderung agak ke filsafat ini?

Pemikiran Prancis dibahas karena seperti yang diketahui bahwa Prancis adalah Negara yang sangat berkembang dari segi pemikiran, filsuf-filsuf ternama hampir seluruhnya berasal dari Prancis, sebut saja Sartre, Beauvoir, Camus, Levi-Strauss, Barthes, Lacan, Baudrillard, Foucault, Cisoux, Irigaray, Bordieu, dll. Nama-nama itulah yang akan dipelajari di kelas ini. Belajar bagaimana pemikir-pemikir tersebut menemukan sebuah masalah dalam realita kehidupan dan menuangkan apa yang mereka pikirkan dalam sebuah konsep riil, logis, dan utuh. Pemikiran itulah yang dipelajari di kelas. Dari eksistensialisme hingga postmodernisme. Dari Sartre hingga Bordieu.

Menarik. Satu kata yang menjelaskan kelas ini. Penilaian ini 100% subjektif. Mind-mapping pemikiran seorang filsuf disampaikan dengan baik, bahan terlihat mudah (padahal tidak mudah ketika harus membaca karya filsuf yang menuliskannya langsung dalam karyanya – terimakasih pada pengajar yang membuat segalanya menjadi lebih mudah) mengutip kata pengajar bahwa seseorang yang cerdas pasti bisa menjelaskan pemikiran yang sebegitu panjangnya dengan singkat, itu tanda seseorang mengerti atau tidak. Selain itu, kelas ini satu-satunya yang membutuhkan partisipasi aktif mahasiswa demi kelangsungan suasana kelas, bebas bertanya, bebas berpendapat karena tidak ada salah atau benar; permasalahan selama ini kan mahasiswa terlalu takut untuk menjadi salah, takut berada di bawah tekanan ‘menjadi salah’, takut bertanya.

Benar saja, pertemuan pertama kelas ini luar biasa, sempurna sebagai kuliah penutup minggu yang melelahkan. Sepasang suami-istri pengajar mata kuliah ini cukup menarik perhatian; menyenangkan melihat teman hidup yang sembari menjadi teman diskusi yang imbang ketika kita ingin membicarakan segala hal. Reaksi yang sama ditunjukkan beberapa teman, perasaan ingin untuk menjadi seperti itu. Wah, fenomena luar biasa, belum apa-apa dua pengajar ini sudah menginspirasi mahasiswa-mahasiswanya. Tidak berhenti sampai disitu, ketika pengajar menceritakan riwayat akademisnya, ekspresi kagum tidak bisa dihindarkan dari wajah saya. Bagaimana tidak? Suami-Istri dengan tingkatan akademis yang hampir setara. Pengajar I menyelesaikan S1 di prodi Prancis, S2 di prodi Antropologi yang notabene jurusan favorit pada masa itu, dan S3 di Leiden, Belanda. Yang terlintas di otak saya: “Pantes, cara ngajarnya beda.” – saat semester lalu mengikuti kelas belanjaan di Antropologi, saya merasakan aura berbeda dari kelas yang biasanya saya ikuti di program studi. Setiap mahasiswa seperti haus untuk bicara, haus untuk mengemukakan pendapatnya, dan setiap permasalahan dikaitkan dengan hal-hal terkini. Sesuatu yang tidak saya dapatkan di program studi, semangat dan keberanian untuk mengutarakan pendapat. Melanjutkan pembicaraan tentang pengajar, pengajar II menyelesaikan S1 di prodi yang sama, S2 filsafat, dan sedang menyelesaikan S3-nya. Hal yang sangat membuat kagum adalah kebersamaan kedua pengajar tersebut dari mahasiswa hingga keduanya bisa berdiri di hadapan mahasiswa lagi sebagai pengajar. Buat saya sih, itu memotivasi. Memotivasi mencari pasangan hidup yang pintar. Opini subjektif lagi : Laki-laki pintar itu seksi, laki-laki yang mencintai buku akan dua kali menjadi lebih seksi.

Pembicaraan pengajar sampai pada sebuah buku, sebuah buku karangan Antoine Saint-Éxupery, Le Petit Prince. Buku yang beliau bilang dapat memberinya suatu ‘ledakan pikiran’ setelah membacanya. Penikmat buku tahu betul apa yang disebut ledakan pikiran, saya sendiri, menyebutnya ‘orgasme pikiran’, ketika seorang penikmat buku mencari, mencari, dan mencari buku yang dirasa dapat memberikannya sebuah sudut pandang baru, sebuah perasaan yang mengisi kedataran cara berpikirnya, sesuatu yang mengagetkan. Jelas, setelah dapat penjelasan seperti itu, buku itu yang kemudian menjadi target untuk saya baca. Pengajar mengatakan bahwa tidak mungkin tidak ingin untuk tidak membaca lagi dan lagi buku itu, buku menarik dengan bahasa yang ringan, namun bermakna dalam. Dengan kemampuan bahasa yang pas-pas (ironi mahasiswa tingkat akhir yang tidak menyerap secara utuh pelajarab berbahasa), kesulitan mutlak ketika harus membaca karya-karya sastra itu, tetapi memang tidak dipungkiri, penuturan dalam bahasa asli memiliki makna lebih dalam, yang membuat otak orgasme lebih dahsyat daripada membaca terjemahannya.

Buku kedua yang dibahas adalah Orang Asing dan Sampar karya Albert Camus. Pengajar mengatakan bahwa kedua novel tersebut luar biasa bagusnya. Hal yang dapat saya simpulkan adalah : “Oh kesamaan mereka adalah mereka penggila Absurditas Camus.” Albert Camus memang sosok filsuf yang sangat tampan untuk ukuran filsuf lainnya yang pernah saya lihat dalam sejarah pemikiran Prancis. Dengan pemikirannya yang luar biasa, Camus berhasil membuat kedua pengajar itu berada dalam satu jalur yang sama, jalur pemikirannya, absurditas. Dan hal tersebut membuat saya ingin membaca Camus, tiba-tiba saja. Pemikir seperti apa yang bisa menjadikan kedua pemikir ini sejalan dalam memandang dunia. Jadi penasaran.

Pertemuan selanjutnya, akan lebih menyenangkan nampaknya. Sekian.

Comments

Popular Posts