Feminis-eksistensialis Beauvoir
Pertemuan ketiga. Pembahasan mengenai
eksistensi perempuan dalam dunia. Ya, betul. Saat bicara eksistensi dan
kajiannya adalah tubuh perempuan. Kita membicarakan Beauvoir. Simone de
Beauvoir. Satu lagi filsuf jenius lulusan Sorbonne yang pemikirannya
mempengaruhi kondisi sosial Prancis era 60-an. Berkat buku yang ditulisnya
dalam dua bagian, Second Sex berhasil merebut perhatian publik Prancis dan juga
dunia. Tingkat pekerja wanita yang meningkat drastis dan legalisasi pasangan
homoseksual di Prancis ada karena bahasan Beauvoir tentang wanita.
Sebenarnya apakah pemikiran filsuf yang
tidak mengakui dirinya seorang feminis hingga usia paruh hidupnya, ia
mengoreksi kesalahannya itu, lalu menyebut dirinya seorang
feminis-eksistensialis.
Dalam Second Sex,
Beauvoir menyatakan bahwa perempuan diposisikan sebagai ‘the other’ dalam dunia
sementara laki-laki adalah ‘self’. Konsep ‘self’ pada laki-laki menjadikan
mereka inti dari dunia dan menjadikan keuntungan bagi mereka dengan
superioritas yang mereka miliki. Sementara itu, perempuan harus terperangkap
sebagai ‘konsep lain dari ketidaksempurnaan’ laki-laki.
“Perempuan
hanyalah sebagaimana ditentukan laki-laki (…) Ia menentukan dan membedakan
dirinya dengan mengacu pada laki-laki, dan bukan laki-laki mengacu padanya
(perempuan), ia adalah yang TIDAK UTAMA di hadapan yang utama. Ia (laki-laki)
adalah subjek yang absolut; perempuan adalah yang lain.” – Second Sex
Dalam setiap pemikiran-pemikiran filsuf
laki-laki, manusia selalu diandaikan sebagai ‘homme’, ‘men’. Beauvoir mempertanyakan: “Dimanakah posisi perempuan
sebagai individu yang menyadari keberadaannya?”
Mengutip quotation terkenal dari Beauvoir : “On ne naît
pas femme, on le deviant.” – “Kita tidak dilahirkan sebagai perempuan, kita
‘menjadi’ perempuan”
“L’inferiorité feminine n’est pas naturelle mais construite
socialement.” – “Inferioritas perempuan bukanlah hal yang terjadi begitu saja tapi
merupakan sebuah rekonstruksi sosial.”
Sebelum masuk bagaimana seorang perempuan
dibentuk oleh lingkungan sosial dan budayanya. Beauvoir membedakan konsep kelamin (sexe)
dan gender. Kelamin bersifat fisik, sudah ada dari saat kita lahir, dan tidak
tergantikan. Semantara, gender bersifat dapat dibentuk, peran dan fungsinya
tergantung pada dinamika sosial dan budaya, dengan kata lain negoisasi.
Apa maksud dari kata-kata itu di atas?
Perempuan dibentuk berdasarkan kondisi sosial di mana ditanamkan nilai bahwa
seorang perempuan haruslah bersikap lembut, jinak, malu-malu, pengabdi, setia,
pasrah, dan PASIF. Sementara, laki-laki harus menjadi seorang pengambil
keputusan, pengambil inisiatif, bertanggungjawab, dan berkuasa. Contoh: seorang
anak laki-laki sejak bayi dipilihkan ibunya baju berwarna maskulin seperti
biru, perempuan dipilihkan yang berwarna merah jambu. Struktur sosiallah yang
sebenarnya membentuk perempuan, dan punya andil besar terhadap inferioritas
perempuan. Akibatnya bagi perempuan? Perempuan akan selalu berpikir, berbicara,
dan menjalankan hidup sebagai ‘perempuan abadi’.
Mengapa struktur sosial dapat menempatkan
laki-laki sebagai sesuatu yang superior? Beauvoir membahas bahwa
kesuperioritasan laki-laki terletak pada alat kelaminnya, penis. Penis dianggap
sebagai suatu simbol kekuatan dan kekuasaan laki-laki di mana hal itu tidak
dimiliki oleh perempuan. Oleh karena itu perempuan berada di bawah posisi
laki-laki. Melihat dari sisi biologisnya, perempuan memiliki indung telur,
uterus, dan payudara yang mengkonstruksi mereka sebagai individu yang wajib
memiliki anak atau menjadi ibu. Hal inilah yang ditentang oleh Beauvoir!
Pembagian kuasa masyarakat berdasarkan jenis kelamin adalah ketidakadilan bagi
perempuan yang berada di posisi ‘the
other’.
Keadaan seperti ini menjadikan perempuan
menjadi sesuatu yang sudah ditentukan esensinya sebagai ibu, harus memiliki,
dan menjaga anaknya. Padahal, manusia tidak hanya setingkat ada-dalam-dirinya,
dia harus mengalami ‘proses menjadi’ dan berada dalam tataran ada-untuk-dirinya.
Hal inilah yang diperjuangkan Beauvoir, bahwasanya perempuan harus
memperjuangkan haknya untuk mendapatkan kebebasannya sebagai individu karena
laki-laki tidak serta-merta memberikannya dengan mudah. Perempuan harus
diberikan hak yang berdasarkan kemampuan dan mengubah tatanan ‘rekayasa’ sosial
yang dibentuk masyarakat sampai saat ini.
Bicara tentang posisi wanita yang dimarginalkan
tidak lepas dari budaya partriarkal yang terbentuk di masyarakat kita. Kembali
lagi seperti yang telah dibahas di atas, bahwa anggapan yang beredar di
masyarakat perempuanlah yang menjadi sumber timbulnya nafsu laki-laki, tidak
jarang orang-orang di Indonesia menyalahkan perempuan berbaju seksi, mengumbar
aurat, mengundang hawa nafsu, bukan malah meginstropeksi diri mereka sendiri
sebagai laki-laki. Hal ini disebut misogini dan jelas misogini adalah
pembenaran dari superioritas laki-laki dan budaya patriarkal.
Ketidakadilan lainnya datang dari anggapan
kesucian perempuan didasarkan pada sebuah ciri biologis, yaitu robeknya selaput
dara. Sementara itu, laki-laki tidak meninggalkan jejak biologis ketika
kehilangan kesuciannya. Hal ini menjadi masalah adalah ketika keperawanan
perempuan menjadi tolak ukur nilai-nilai sosial yang dimiliki perempuan yang
bersangkutan. Hal ini jelas merugikan bagi perempuan.
Keberadaan
LGBT juga patut dipertimbangkan secara lebih seksama. Konsep seks dan gender
yang dijelaskan Beauvoir memungkinkan individu mengembangkan gendernya, karena
gender mungkin saja dapat dirubah. Ketika seorang perempuan terjebak dalam
tubuh perempuan dan ia menyadari dirinya memiliki gender yang lain dari yang
sudah ada dalam tubuhnya itu. Hal itu tidak disalahkan oleh Beauvoir. Sama
halnya dengan homoseksual. Bukanlah sebuah kesalahan apabila homoseksual ada,
itu adalah pilihan bebas individu untuk menentukan gendernya. Sayangnya,
konstruksi sosial cenderung menempatkan mereka sebagai ‘the other’ karena dianggap tidak normal. Rekayasa konstruksi sosial
seperti inilah yang harus dirubah. Ketika kebebasan manusia menjadi penting
bagi manusia sebagai individu yang utuh.
Sebagai
tambahan, ulasan sekilas, ternyata bahasa memiliki peran besar dalam konstruksi
sosial perempuan. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam postfeminisme. Ketika
arti WANITA dan PEREMPUAN sama di dalam kamus, sesungguhnya secara maknawi
kedua hal itu berbeda. Wanita berasal dari ‘wani
ditotok’ yang artinya menurut, sedangkan perempuan berasal dari kata ‘empu’ yang artinya dihormati. Jadi,
alangkah baiknya menggunakan kata PEREMPUAN daripada wanita.
Sebagai
penutup perkuliahan hari ini, setiap individu, entah perempuan atau laki-laki
haruslah berkesadaran gender. Perempuan dan laki-laki adalah sama dan setara, dalam
mencapai hal itu dibutuhkannyalah negoisasi. Untuk lepas dari bayang laki-laki,
seorang perempuan harus mandiri secara finansial, dalam artian bekerja.
Comments
Post a Comment