Strukturalisme Lévi-Strauss

Ketika kita membicarakan filsafat dengan berkiblat di dataran Eropa, terutama Prancis. Kita akan berbicara bagaimana sebuah pemikiran dapat menjadi suatu hal seperti fashion, berganti dari tahun ke tahun, dan pergantian tersebut terjadi ketika satu pemikiran mematahkan pemikiran lainnya. Prancis adalah tempat di mana setiap kaum intelektual menghabiskan berjam-jam di café untuk membicarakan hal-hal seperti politik, ekonomi, sosial, dan termasuk di dalamnya pemikiran yang berkembang pada saat itu. Pertemuan selanjutnya, giliran datang pada kelompok kami untuk mempresentasikan seorang filsuf yang mengembangkan sebuah pemikiran menarik, selanjutnya disebut strukturalisme. Pemikiran ini berkembang di Prancis tahun 1950-an hingga 1960-an. Apa yang membuat pemikiran ini patut diberi perhatian lebih? Pemikiran ini mampu mematahkan eksistensialisme yang digagas Sartre, yang menjadi trend pemikiran pada awal abad ke-20.

Strukturalisme dengan keras membantah bahwa kesadaran berasal dari kebebasan manusia sebagai subjek. Eksistensi manusia murni terletak pada suatu struktur tertentu. Orang yang mampu mematahkan pemikiran Sartre ini adalah Claude Lévi-Strauss. Ia mengkritik Sartre dalam bukunya Le pense Sauvage (1962), humanisme kebebasan subjek Sartre dengan menganalogikan bahwa manusia layaknya setetes air yang apabila dilihat hanyalah sebuah tetesan air. Tetapi, apabila dilihat dari mikroskop, tetesan itu merupakan susunan molekul-molekul yang membentuk satu tetesan air. Namun, akan kembali terlihat menjadi tetesan air ketika kita kembali melihatnya dari kejauhan.

Lévi-Strauss yang kita bicarakan disini bukanlah merk dari sebuah celana jeans yang kita kenal, melainkan salah satu tokoh strukturalisme paling terkenal dan paling berpengaruh dalam sejarah strukturalisme di Prancis. Hal ini dibuktikan dengan jajak pendapat yang dilakukan oleh majalah LIRE setelah kematian Sartre, 101 dari 400 orang memilih strukturalis Lévi-Strauss yang berperan besar dalam evolusi pemikiran Prancis. (Pace, 1986, via “Diskusi Publik Pengaruh Strukturalisme di Indonesia”, 2009: 4) Tidak hanya itu, hal ini juga dibuktikan dengan adanya karikatur strukturalis yang digambar di majalah-majalah, diantara para tokoh strukturalis tersebut terdapat Lévi-Strauss bersanding dengan Barthes, Foucault, dan Lacan. Karikatur dengan judul “Le déjeuner des structuralistes”, atau “makan siang para strukturalis”. (Sturrock, 1979, via “Diskusi Publik Pengaruh Strukturalisme di Indonesia”, 2009: 4) Hal ini membuktikan bahwa Lévi-Strauss berperan besar dalam perkembangan strukturalisme di Prancis.


Strukturalisme Lévi-Strauss membicarakan tentang hubungan manusia dan keadaan sosialnya. Strauss menekankan bahwa bahasa adalah bagian dari sistem yang dapat digunakan sebagai pendekatan untuk meneliti keadaan sosial. Bahasa adalah alat komunikasi, dan darisanalah akan terbentuk kekerabatan yang terdiri dari kesamaan kebiasaan sehari-hari, hal itulah yang menciptakan kebudayaan. Dapat dikatakan, bahasa adalah kebudayaan itu sendiri.

Menentang Sartre, Lévi-Strauss menyatakan dengan tegas bahwa manusia mengambil tindakan dan membuat pilihan memang secara bebas, tetapi ada ‘keteraturan’ yang tanpa disadari menentukan pilihan individu tersebut. Maka dari itu, penelitian mengenai ‘hal yang tersembunyi di balik pengambilan keputusan tersebut yang menjadi menarik untuk diteliti’. “Une pensée sans sujet”, kata terkenalnya yang menjelaskan tidak adanya subjek, berpikir adalah membuat klasifikasi akan suatu hal. Pemikiran tidak berasal dari suatu subjek. Dengan berpikir, manusia hanya mempraktekkan struktur yang terdapat dalam relitas atau struktur-struktur di benda-benda.

Jika melihat dampak pemikiran Saussure terhadap antropologi struktural, dapat dilihat dari pemahaman Lévi-Strauss mengenai langue. Lévi-Strauss menganalogikan bahasa sebagai langue, dan terdapat unsur-unsur di dalamnya yang berupa aktivitas sosial seperti mitos, ritual, sistem kekerabatan, perkawinan, pola tempat tinggal, dsb yang dianggap seperti halnya fonem karena berada dalam satu sistem. (Ahimsa, 2006: 24-25) Dalam kedua hal tersebut selalu ada pengulangan dan keteraturan antara elemen-elemen tersebut. Pola-pola ini dijalankan tanpa sadar, sama seperti hukum bahasa yang dipergunakan tanpa sadar.

Pemikiran Lévi-Strauss diilhami beberapa filsuf lainnya seperti Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan Nikolai Troubetzkoy Pemikiran Saussure sebagai seorang ahli peletak dasar ilmu lingustik modern, beliau diilhami oleh Durkheim mengenai adanya kesadaran individu dan kesadaran kolektif, yang kemudian mengarahkannya pada pemikiran bahwa bahasa dibedakan menjadi: langue dan parole, signifiant dan signifié, hubungan sintagmatik dan paradigmatik, form dan contenu, serta sinkronis dan diakronis.(*)

Jakobson berpendapat unsur terkecil dalam bahasa adalah bunyi. Untuk mendapatkan makna dari sebuah kata, bunyi atau fonem yang membentuk kata tersebut harus memiliki relasi, dalam hal ini adanya oposisi. Pemikiran Jakobson dan Troubetzkoy berpengaruh besar pada diri Levi-Strauss. Konsepn Jakobson mengenai fenomena budaya. Jakobson memberikan pandangan kepada Levi-Strauss tentang bagaimana memahami atau menangkap tatanan yang ada di balik fenomena budaya yang sangat variatif tersebut (Ahimsa, 2006; 52).

Troubetzkoy menyatakan bahwa fonem merupakan konsep linguistik yang dapat diteliti terlepas dari pengguna bahasanya, penelitian secara sinkronis pada fonemlah yang harusnya diperhatikan. Dalam menelaah sebuah fenomena budaya, Lévi-Strauss menerapkan hal yang sama melalui oposisi biner atau ciri pembeda sebagai bagian dari sebuah sistem bahasa dan merelasikannya dengan fonem lain tanpa menghilangkan entitas fonem yang berdiri sendiri.

Struktur yang terdapat dalam fonem sama halnya dengan struktur yang ada dalam kebudayaan. Di dalam dua hal itu terdapat oposisi biner. Dalam ilmu linguistik fonem merupakan ciri pembeda. Kata mère dan père hanya terdapat satu fonem yang berbeda, tetapi fonem tersebut dapat membedakan makna. Mère berarti ibu dan père berarti ayah. Sama halnya dalam kebudayaan, terdapat oposisi biner yaitu adanya siang dan malam, matahari dan bulan, dan hitam dan putih.

Strukturalisme Lévi-Strauss yang terkenal adalah berkaitan dengan mitologi. Levi-Strauss membedakan unsur-unsur elementer dalam mitos. Unsur elementer yang dinamakannya sebagai mythèmme atau peristiwa terkecil yang membentuk mitos. Mitos adalah cerita yang mengekspresikan keadaan seseorang, makna dari kata tersebut dapat dipahami satu persatu.

Dalam mitos mengenai Odipus misalnya, sebuah mitos yang mengilhami Freud dalam menyebutkan istilah Odipus Complex. Hal ini dijelaskan oleh Lévi-Strauss bahwa pembunuhan ayah Odipus dapat dianggap sebagai suatu mitem tersendiri, Odipus menikahi ibunya merupakan mitem yang lain. Interpretasi berlangsung dengan merelasikan berbagai hubungan dan oposisi-oposisi antara unsur-unsur tersebut dari kiri ke kanan, dan juga dari atas ke bawah (Bertens, 2001 : 200)

Menurut Lévi-Strauss, mitos dari berbagai budaya di seluruh dunia tampak serupa. Hal tersebut dapat terjadi walaupun kebudayaan di berbagai belahan dunia berbeda-beda karena struktur dasar semua manusia sama. Dapat dibuktikan dengan cerita mitos Odipus yang mirip dengan mitos Sangkuriang. Lévi-Strauss juga berpendapat bahwa mitos adalah bahasa karena mitos harus diberitahu untuk ada (Nasir Karim, 2011 via Ahimsa). Hal inilah yang membuktikan bahasa sebagai penyampai pesan dan pesan itu tidak kita pertanyakan kebenarannya.

Dalam analisis kekerabatan yang dikembangkan oleh Lévi-Strauss, perhatian utama adalah larangan inses atau menikahi pasangan dari marga, suku, atau klan sejenis. Larangan inses menjadi awal dari kehidupan berbudaya. Tidak hanya karena alasan biologis maupun psikologis. Dari segi antropologispun, adalah tidak mungkin orang yang dibesarkan bersama memiliki ketertarikan seksual.

Hubungan sosial dan terbentuknya kebudayaan didasari dari pertukaran. Pernikahan adalah sebuah bentuk pertukaran dengan wanita menjadi komoditinya. Pertukaran adalah sebuah hukum dalam kehidupan sosial, untuk itulah endogami atau inses dilarang dalam sebuah kehidupan sosial karena tidak adanya pertukaran wanita antarklan. Ketika tidak terjadi pertukaran, masyarakat akan hancur karena menyalahi hukum alam. Dengan adanya inses, terbentuklah kebudayaan.

(*) lihat Kridalaksana, Harimurti. 2005. Mongin-Ferdinand de Saussure Peletak Dasar  Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Untuk lebih lengkapnya.
Ps. Postingan ini diambil dari makalah kelompok demi memenuhi tugas mata kuliah Dinamika Pemikiran Prancis, thank God for the A- J
(dua film documenter terkait presentasi kelompok mengenai bahan ini akan diunggah di lain waktu)

REFERENSI
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Stukturalisme, Levi-Strauss. Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Bertens.K. 2006. Filfafat Kontemporer Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hoed, Benny. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Mongin-Ferdinand de Saussure Peletak Dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lechte, John. 2007. Fifty Key Contemporary Thinkers From Structuralism to Post-Humanism.  London and New York: Routledge.



Comments

Popular Posts