Strukturalisme Lévi-Strauss
Ketika kita membicarakan filsafat dengan
berkiblat di dataran Eropa, terutama Prancis. Kita akan berbicara bagaimana
sebuah pemikiran dapat menjadi suatu hal seperti fashion, berganti dari tahun ke tahun, dan pergantian tersebut
terjadi ketika satu pemikiran mematahkan pemikiran lainnya. Prancis adalah
tempat di mana setiap kaum intelektual menghabiskan berjam-jam di café untuk membicarakan hal-hal seperti
politik, ekonomi, sosial, dan termasuk di dalamnya pemikiran yang berkembang
pada saat itu. Pertemuan selanjutnya, giliran datang pada kelompok kami untuk
mempresentasikan seorang filsuf yang mengembangkan sebuah pemikiran menarik,
selanjutnya disebut strukturalisme. Pemikiran ini berkembang di Prancis tahun
1950-an hingga 1960-an. Apa yang membuat pemikiran ini patut diberi perhatian
lebih? Pemikiran ini mampu mematahkan eksistensialisme yang digagas Sartre,
yang menjadi trend pemikiran pada awal abad ke-20.
Lévi-Strauss
yang kita bicarakan disini bukanlah merk dari
sebuah celana jeans yang kita kenal, melainkan salah satu tokoh strukturalisme
paling terkenal dan paling berpengaruh dalam sejarah strukturalisme di Prancis.
Hal ini dibuktikan dengan jajak pendapat yang dilakukan oleh majalah LIRE setelah kematian Sartre, 101 dari
400 orang memilih strukturalis Lévi-Strauss yang berperan besar dalam evolusi
pemikiran Prancis. (Pace, 1986, via “Diskusi
Publik Pengaruh Strukturalisme di Indonesia”,
2009: 4) Tidak hanya itu, hal ini juga dibuktikan dengan adanya karikatur
strukturalis yang digambar di majalah-majalah, diantara para tokoh strukturalis
tersebut terdapat Lévi-Strauss bersanding dengan Barthes, Foucault, dan Lacan.
Karikatur dengan judul “Le déjeuner des
structuralistes”, atau “makan siang para strukturalis”. (Sturrock, 1979, via “Diskusi Publik Pengaruh
Strukturalisme di Indonesia”, 2009: 4)
Hal ini membuktikan bahwa Lévi-Strauss berperan besar dalam perkembangan
strukturalisme di Prancis.
Strukturalisme Lévi-Strauss membicarakan tentang hubungan manusia dan keadaan sosialnya. Strauss menekankan bahwa bahasa adalah bagian dari sistem yang dapat digunakan sebagai pendekatan untuk meneliti keadaan sosial. Bahasa adalah alat komunikasi, dan darisanalah akan terbentuk kekerabatan yang terdiri dari kesamaan kebiasaan sehari-hari, hal itulah yang menciptakan kebudayaan. Dapat dikatakan, bahasa adalah kebudayaan itu sendiri.
Menentang
Sartre, Lévi-Strauss menyatakan dengan tegas bahwa manusia mengambil tindakan
dan membuat pilihan memang secara bebas, tetapi ada ‘keteraturan’ yang tanpa
disadari menentukan pilihan individu tersebut. Maka dari itu, penelitian
mengenai ‘hal yang tersembunyi di balik pengambilan keputusan tersebut yang
menjadi menarik untuk diteliti’. “Une
pensée sans sujet”, kata terkenalnya yang menjelaskan tidak adanya subjek,
berpikir adalah membuat klasifikasi akan suatu hal. Pemikiran tidak berasal
dari suatu subjek. Dengan berpikir, manusia hanya mempraktekkan struktur yang
terdapat dalam relitas atau struktur-struktur di benda-benda.
Jika melihat
dampak pemikiran Saussure terhadap antropologi struktural, dapat dilihat dari
pemahaman Lévi-Strauss mengenai langue.
Lévi-Strauss menganalogikan bahasa sebagai langue,
dan terdapat unsur-unsur di dalamnya yang berupa aktivitas sosial seperti
mitos, ritual, sistem kekerabatan, perkawinan, pola tempat tinggal, dsb yang
dianggap seperti halnya fonem karena berada dalam satu sistem. (Ahimsa, 2006:
24-25) Dalam kedua hal tersebut selalu ada pengulangan dan keteraturan antara
elemen-elemen tersebut. Pola-pola ini dijalankan tanpa sadar, sama seperti
hukum bahasa yang dipergunakan tanpa sadar.
Pemikiran Lévi-Strauss diilhami beberapa filsuf lainnya seperti Ferdinand
de Saussure, Roman Jakobson, dan Nikolai Troubetzkoy
Pemikiran Saussure sebagai seorang ahli peletak dasar ilmu lingustik modern,
beliau diilhami oleh Durkheim mengenai adanya kesadaran individu dan kesadaran
kolektif, yang kemudian mengarahkannya pada pemikiran bahwa bahasa dibedakan
menjadi: langue dan parole, signifiant dan signifié, hubungan
sintagmatik dan paradigmatik, form dan contenu, serta sinkronis dan diakronis.(*)
Jakobson berpendapat unsur terkecil dalam
bahasa adalah bunyi. Untuk mendapatkan makna dari sebuah kata, bunyi atau fonem
yang membentuk kata tersebut harus memiliki relasi, dalam hal ini adanya
oposisi. Pemikiran Jakobson dan Troubetzkoy
berpengaruh besar pada diri Levi-Strauss. Konsepn Jakobson mengenai fenomena
budaya. Jakobson memberikan pandangan kepada Levi-Strauss tentang bagaimana
memahami atau menangkap tatanan yang ada di balik fenomena budaya yang sangat
variatif tersebut (Ahimsa, 2006; 52).
Troubetzkoy menyatakan bahwa fonem merupakan
konsep linguistik yang dapat diteliti terlepas dari pengguna bahasanya,
penelitian secara sinkronis pada fonemlah yang harusnya diperhatikan. Dalam
menelaah sebuah fenomena budaya, Lévi-Strauss
menerapkan hal yang sama melalui oposisi biner atau ciri pembeda sebagai bagian
dari sebuah sistem bahasa dan merelasikannya dengan fonem lain tanpa
menghilangkan entitas fonem yang berdiri sendiri.
Struktur yang terdapat dalam fonem sama halnya
dengan struktur yang ada dalam kebudayaan. Di dalam dua hal itu terdapat
oposisi biner. Dalam ilmu linguistik fonem merupakan ciri pembeda. Kata mère dan père hanya terdapat satu fonem yang berbeda, tetapi fonem tersebut
dapat membedakan makna. Mère berarti
ibu dan père berarti ayah. Sama
halnya dalam kebudayaan, terdapat oposisi biner yaitu adanya siang dan malam, matahari dan bulan, dan hitam dan putih.
Strukturalisme Lévi-Strauss yang
terkenal adalah berkaitan dengan mitologi. Levi-Strauss membedakan unsur-unsur
elementer dalam mitos. Unsur elementer yang dinamakannya sebagai mythèmme atau peristiwa terkecil yang membentuk mitos. Mitos adalah
cerita yang mengekspresikan keadaan seseorang, makna dari kata tersebut dapat
dipahami satu persatu.
Dalam mitos mengenai Odipus
misalnya, sebuah mitos yang mengilhami Freud dalam menyebutkan istilah Odipus Complex. Hal ini dijelaskan oleh
Lévi-Strauss bahwa pembunuhan ayah Odipus dapat dianggap sebagai suatu
mitem tersendiri, Odipus menikahi
ibunya merupakan mitem yang lain. Interpretasi berlangsung dengan merelasikan
berbagai hubungan dan oposisi-oposisi antara unsur-unsur tersebut dari kiri ke
kanan, dan juga dari atas ke bawah (Bertens, 2001 : 200)
Menurut Lévi-Strauss, mitos dari berbagai budaya di seluruh dunia tampak serupa. Hal tersebut
dapat terjadi walaupun kebudayaan di berbagai belahan dunia berbeda-beda karena
struktur dasar semua manusia sama. Dapat dibuktikan dengan cerita mitos Odipus
yang mirip dengan mitos Sangkuriang. Lévi-Strauss
juga berpendapat bahwa mitos
adalah bahasa karena mitos harus diberitahu untuk ada (Nasir Karim, 2011 via Ahimsa). Hal inilah yang membuktikan
bahasa sebagai penyampai pesan dan pesan itu tidak kita pertanyakan
kebenarannya.
Dalam analisis kekerabatan yang dikembangkan
oleh Lévi-Strauss, perhatian utama adalah larangan inses atau menikahi pasangan
dari marga, suku, atau klan sejenis. Larangan inses menjadi awal dari kehidupan
berbudaya. Tidak hanya karena alasan biologis maupun psikologis. Dari segi
antropologispun, adalah tidak mungkin orang yang dibesarkan bersama memiliki
ketertarikan seksual.
Hubungan sosial dan terbentuknya kebudayaan
didasari dari pertukaran. Pernikahan adalah sebuah bentuk pertukaran dengan
wanita menjadi komoditinya. Pertukaran adalah sebuah hukum dalam kehidupan
sosial, untuk itulah endogami atau inses dilarang dalam sebuah kehidupan sosial
karena tidak adanya pertukaran wanita antarklan. Ketika tidak terjadi
pertukaran, masyarakat akan hancur karena menyalahi hukum alam. Dengan adanya
inses, terbentuklah kebudayaan.
(*) lihat Kridalaksana, Harimurti.
2005. Mongin-Ferdinand de Saussure
Peletak Dasar Strukturalisme dan
Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Untuk lebih lengkapnya.
Ps. Postingan ini diambil
dari makalah kelompok demi memenuhi tugas mata kuliah Dinamika Pemikiran
Prancis, thank God for the A- J
(dua film documenter
terkait presentasi kelompok mengenai bahan ini akan diunggah di lain waktu)
REFERENSI
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Stukturalisme, Levi-Strauss. Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Bertens.K. 2006. Filfafat
Kontemporer Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hoed, Benny. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Mongin-Ferdinand de Saussure Peletak Dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lechte, John. 2007. Fifty Key Contemporary Thinkers From Structuralism to Post-Humanism. London and New York: Routledge.
Hoed, Benny. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Mongin-Ferdinand de Saussure Peletak Dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lechte, John. 2007. Fifty Key Contemporary Thinkers From Structuralism to Post-Humanism. London and New York: Routledge.
Comments
Post a Comment