Eksistensialisme Sartre



This is all what existentialism about

Pertemuan pertama membahas eksistensialisme Sartre. Hal ini bukan sesuatu yang baru karena sebelumnya sudah pernah dijelaskan di kelas Pengkajian Kesuasteraan Prancis. Kelas di mana saya disadarkan bahwa angkatan 2008 sepertinya sangat tercela (butuh perhatian khusus karena ketidakmampuan mahasiswa untuk mandiri dan memahami bahan ajar, sehingga diperlukan dosen-dosen khusus untuk mengatasi hal tersebut) – menyayat telinga bahkan untuk menuliskannya kembali, menyayat karena hal itu ada benarnya. Sartre adalah filsuf luar biasa (lagi-lagi pendapat subjektif). Saya mengagumi Sartre dengan segala kegigihannya untuk melalui hidup dengan kecacatannya dan menyimpulkan sebuah konsep pemikiran berdasarkan apa yang ia lalui di hidupnya. Seperti diketahui juga, kecintaan saya pada Sartre mengantarkan saya untuk berani membahas pemikirannya untuk bahan skripsi. Sebenarnya apa yang menarik dari eksistensialisme?

Bapak eksistensialisme Prancis ini tidak mempunyai masa kecil yang indah. Fisiknya yang lemah membuatnya sulit untuk bergaul dan selalu diejek teman sebayanya. Sartre kecil hidup dalam asuhan kakeknya yang memiliki pengaruh besar dalam hidupnya. Kakek yang lulusan Sorbonne mengenalkan Sartre pada buku. Bukulah yang menjadi bagian dari hidup Sartre, bukulah yang membawa hidupnya menjadi lebih baik, dijelaskan juga dalam Les Mots, kesusasteraan adalah hidupnya. Sartre menjadi atheis ketika berumur 12 tahun.

Pemikiran Sartre berangkat dari Descartes tentang pemahamannya pada ‘cogito’ atau kesadaran manusia, pemikiran Heidegger, dan ditambah tentang fenomenologi Husserl membawa Sartre membuat suatu pemikiran tentang kesadaran seorang Individu sebagai subjek, yang dikenal dengan eksistensialisme.

Eksistensialisme booming di awal abad ke-20. Filsafat di Prancis sifatnya hampir seperti fashion. Ketika satu pemikiran sedang in, maka seluruh kalangan akademisi berlomba-lomba mempelajari pemikiran tersebut, mencari contoh nyata, atau mungkin mencoba mematahkan pemikiran tersebut.

Sartre berpendapat bahwa kesadaran dibagi menjadi dua :être-en-soi dan être -pour-soi. Apa itu être-en-soi dan être-pour-soi? Être-en-soi adalah kesadaran yang bersifat statis, kesadaran yang berada pada benda, ketika esensinya sudah lebih dahulu ditentukan sebelum eksistensinya. Contoh: esensi pisau sudah ada di dalam kepala si pembuat pisau “alat untuk memotong apel”, setelah konsep dibuat dalam kepala, barulah pisau itu benar-benar dibuat si pembuat pisau dan dapat digunakan. Berbeda dengan être-pour-soi, être-pour-soi adalah kesadaran yang bersifat dinamis, selalu berubah, dan esensinya berada SETELAH eksistensi, dengan kata lain “EKSISTENSI MENDAHULUI ESENSI”. Manusia tidak mempunyai esensi yang tetap, esensinya akan selalu berubah. Esensi akan berhenti ketika manusia dianggap mati, dan setelah itulah eksistensi muncul. Sebagai analogi, rasa rindu kita kepada kekasih akan muncul bukan saat kekasih kita ada di sisi kita, tetapi disaat kekasih kita TIDAK berada di sisi kita. Jadi, disaat seseorang tidak ada, disitulah eksistensinya muncul.

Sartre juga berpendapat bahwa “manusia dikutuk untuk bebas”; bagaimana sebuah kebebasan dapat menjadi kutukan? Sartre menyatakan bahwa kebebasan mutlak artinya tanggung jawab mutlak. Kebebasan bukan menjadi anugrah tetapi menjadi beban karena tanggung jawab yang harus dipikul manusia karena kebebasan itu sangat besar. Manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bertanggung jawab ATAS SETIAP PILIHANNYA, bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan karena apa yang dia lakukan secara otomatis membentuk keberadaan umat manusia. Kebebasan inilah yang dimaksudkan Sartre sebagai kutukan, kebebasan inilah yang menyebabkan kita merasa cemas setiap waktu. Kebebasan yang tidak mengijinkan kita menyalahkan orang lain atas kesalahan yang kita perbuat, atas hal yang berjalan tidak sesuai keinginan kita, atas segala sesuatunya. Kebebasan yang tidak mengijinkan kita merasa tenang sehari saja dalam kehidupan kita, karena kita akan terus cemas dan cemas dan cemas akan kebebasan itu sendiri.

Kebebasan yang dimiliki manusia juga membebaskan manusia untuk menidak kebebasan yang dimilikinya (néantir). Apa yang dimaksud menidak kebebasan? Misalnya, pemikiran bahwa kita tidak ada pilihan lain, kita dipojokkan oleh dunia sehingga tidak dapat melakukan sesuatu yang sesuai dengan pilihan kita. Itu adalah penidakan atas kebebasan kita. Manusia tidak pernah tidak memiliki pilihan, setidaknya itulah yang dikatakan Sartre. Manusia SELALU memiliki pilihan. Penidakan atas kebebasan ini dilakukan karena manusia menyalahkan sesuatu diluar dirinya. Sikap ini disubut Sartre sebagai la mauvaise foi. Setiap manusia yang melakukan hal ini berarti mengobjekkan dirinya. Maksud? Ia membiarkan dirinya menjadi objek. Manusia sesungguhnya adalah subjek bebas atas pilihannya, tetapi ketika (seperti tadi yang sudah dikatakan) manusia menolak bahwa dirinya memiliki kebebasan mutlak sehingga menyalahkan sesuatu atas hal yang menimpa dirinya, voilà! Dia menjadi objek.

Berbicara tentang hubungan antarmanusia. Jika manusia adalah subjek dan setiap individu adalah subjek, apakah mungkin saat kita mengobjekkan orang lain, berarti dia menjadi objek, dan kita tetap pada posisi kita sebagai subjek? Sartre menjelaskan hal ini dengan konsep être-pour-les-autres. Hubungan manusia dengan manusia lainnya atau hubungan antarsubjek dinyatakan Sartre dalam drama Huis Clos, “L’enfer c’est les autres.” Bagaimana hidup dengan orang lain adalah sama dengan neraka bagi subjek itu sendiri. Mengapa? Kebebasan mutlak yang dimiliki setiap individu otomatis akan bersinggungan. Sartre menjelaskan hal itu seperti ini: Ketika manusia itu sendiri dalam ruang privatnya, ia bebas melakukan apa saja yang ingin dia lakukan, dia utuh sebagai subjek, tetapi ketika ia menyadari seseorang memperhatikannya dari lubang kunci, dia merasa orang tersebut mengobjekkannya. Namun, seseorang yang sedang melihat dari lubang kunci belum tentu menjadi subjek, bisa saja dia juga menjadi objek karena dia tahu dia ketahuan mengintip dari lubang kunci. Yang ingin diperjelas disini adalah, seorang subjek dapat dengan bebas mengobjektifikasi subjek-subjek lainnya, bukan dalam artian yang diobjektifikasi lantas menjadi objek. Objek tersebut akan tetap menjadi subjek bagi dirinya sendiri walaupun dianggap objek oleh subjek lain. Itulah yang disebuh hubungan antarsubjek. Sekian dari pola pemikiran Sartre, berikutnya, Beauvoir dan feminis eksistensialisnya!

Comments

Popular Posts