Multikulturalisme, 'the other', dan etika kepedulian
Menunggu kelas jam empat sore, hujan deras
di lingkungan kampus setelah panas menyengat, membuat bau keringat. Hal yang
sungguh-sungguh bisa dilakukan hanya membuka laptop (Puji Tuhan, hari ini
laptop bersedia dibawa oleh pemiliknya, didekap didepan dada dan kepitan bawah
lengan). Laptop dibuka, hal selanjutnya yang dapat dilakukan adalah menulis,
memasukkan tulisan itu ke dalam blog, berharap agar ada satu-dua kepala
membacanya dan memberi komentar pedas, atau sekedar menirunya untuk tugas
kuliah.
Hal yang ingin dibicarakan tepat saat
mengetik kalimat ini adalah multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia. Hal
ini dibahas berkaitan dengan kuliah yang baru saja dilangsungkan hari kemarin
dan mudah-mudahan saja bahannya masih terasa hangat di neuron yang slaing
bersinggungan di otak.
Pembicaraan mengenai multikulturalisme di
Indonesia, mengajak kita lebih dalam melihat tentang perbedaan yang terjadi,
adanya kaum mayoritas, dan kaum minoritas. Semuanya berawal dari
identitas-identitas yang mendefinisi tiap-tiap individu, dari identitas
–identitas yang terbentuk tersebut kerapkali setiap kelompok sosial ‘merasa
lebih’ dari identitas-identitas yang lain, mereka cenderung memisahkan diri
demi ‘pride’ kelompok sosial mereka, hal itu menyebabkan adanya pihak yang disebut
the other atau ‘yang lain’.
The
other adalah kaum minoritas, the
other tidak akan pernah bisa mendefinisikan diri mereka sendiri, mereka
selalu mendefinisikan diri mereka berdasarkan mayoritas. Sulit bagi the
other untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Kenapa? Karena kaum
minoritaslah yang cenderung mendapatkan ancaman yang besar karena mereka tidak
terkatakan, Contoh nyata terjadi pada masa orde baru, tidak mudah bagi seorang
yang keluarganya berhubungan dengan PKI. Tidak mudah untuk bicara, tidak mudah
untuk mendefinisikan diri mereka saat tekanan sosial memaksa mereka untuk
mendefinisikan diri mereka menjadi yang bukan mereka. Seorang anak dari ayah
yang komunis hanya bisa mendefinisikan dirinya berkebalikan dari hal-hal yang
ada pada mayoritas.
Contoh lain pada the other adalah perempuan yang mengalami kekerasan dalam entah itu
pernikahan atau sekedar berpacaran. Sungguh sulit bagi seseorang yang dipukul
laki-laki yang notabene adalah kekasihnya untuk bicara pada orang lain,
menunjukkan identitasnya kepada orang lain dengan terang-terangan. Bayangkan
respon apa yang mungkin ia dapatkan dari lingkungan sekitarnya? Tekanan untuk
menjauhi kekasihnya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
kerapkali muncul dalam benak setiap orang yang menginginkan keadilan yang
katanya hal yang utopis untuk dicapai. Terima kasih saya mengambil kelas ini,
jadi setidaknya saya tahu, bagaimana harus bersikap, menambah sudut pandang
ketika mungkin dan memang kalau masalah-masalah tersebut terjadi pada saya atau
orang terdekat saya.
Bagaimana harus menyikapi the
other, itu pertanyaannya? Ternyata mudah saja, hanya perlu rekognisi, ya,
hanya rekognisi. Rekognisi dapat kita lakukan dengan teori dari Carel Gilligan, ethics of care atau
etika kepedulian. Perlu diingat bahwa kesalahan dalam masyarakat multikultur
adalah keinginan untuk menyamakan, padahal yang penting adalah bagaimana untuk
menyesuaikan.
Giligan menyatakan bahwa tidak ada sesuatu hal yang benar atau salah,
semuanya hanya masalah tepat dan tidak tepat. Contoh pada kasus korban perkosaan, kenyataan
yang terjadi adalah setiap korban perkosaan yang melapor ke kantor polisi,
ditanyakan secara rinci, apakah korban dalam keadaan sadar atau tidak sadar,
‘dan apakah korban menikmati hal itu atau tidak’, perlu digarisbawahi di sini
adalah perempuan sebagai korban perkosaaan dipojokkan dengan
pernyataan-pernyataan seperti itu, padahal jelas ybs adalah korban yang justru
harus dilindungi.
Perlakuan seperti ini dilatarbelakangi
oleh budaya patriarkal, yang menempatkan perempuan pada posisi inferior. ‘the
other’. Jika ditilik lebih lanjut, perlakuan ini terjadi karena masyarakat
dididik menjadi masyarakat mayoritas. Mengutip Kohlber, didikan masyarakat mayoritas dimulai dari adanya hukuman
dan kepatuhan, anak-anak dibiasakan untuk mematuhi suatu peraturan, dan apabila
si anak melanggar, ia akan mendapatkan hukuman setimpal. Lihat saja bagaimana
anak-anak dulu dididik, jika tidak menurut, tidak jarang mereka dipukul
menggunakan sapu, batang kayu, atau mungkin dikurung di kamar mandi.
Aturan-aturan instrumental ini berlaku ke lingkungan sosial yang lebih besar,
contoh lain, ketika di sekolah murid-murid yang memiliki prestasi akan
mendapatkan pujian lebih atau mungkin mendapatkan hadiah yang memberikan prestise lebih bagi anak tersebut.
Hal-hal ini berlaku berulang-ulang dan menimbulkan ‘mental mayoritas’ sekalipun
dari lingkungan sosial yang notabene minoritas, hal ini mengarah pada pelabelan
‘anak yang baik’ dan ketika kita tidak mematuhi peraturan-peraturan disebut
‘anak yang tidak baik’. Aturan masyarakat dipelajari dengan secara mudah sama
seperti mempelajari kultur keluarga, hal itu harus dilakukan karena adanya
‘kontrak sosial’ yang bersifat sama seperti ‘etika universal’ – yang bertujuan
untuk menyamakan perbedaan.
‘Etika universal’ yang menginginkan
persamaan inilah yang dikritik oleh Carel
Gilligan dengan ‘etika keadilan’-nya.
Penyamaan dirasa tidak perlu, yang harus diperhatikan adalah negoisasi
untuk mencapai kesesuaian. Hal itu dapat dilakukan dengan menghilangkan cermin
pada diri sendiri, menghilangkan self-interest,
dalam artian berjaraklah dengan diri kita sendiri, tidak dapat dipungkiri diri
kita sebagai individu telah tertanam nilai-nilai atau stereotip-stereotip dalam
budaya yang secara tidak langsung. Stereotip berangkat dari asumsi-asumsi
masyarakat dipercaya sebagai nilai-nilai yang benar karena tidak sesuai dengan
masyarakat. Hilangkanlah hal-hal itu, karena hal-hal itu akan membuat kita
menghakimi kaum minoritas saat mendengarkan ceritanya, dengan itu kita tidak
melakukan ‘etika kepedulian’, hendaknya kita membalik keadaan, memposisikan
diri sebagai korban dan dengarkan tanpa menghakimi, survival anonymus, memberi ruang untuk orang untuk berbicara
sebebas-bebasnya tanpa timbul ketakukan akan adanya penghakiman. Dalam ‘etika
kepedulian’, sangatlah penting mengingatkan korban akan situasinya, dan
menuntun korban menuju ‘pilihannya’, pilihan yang tepat.
Comments
Post a Comment