Pada Suatu Hari Nanti



Diandra melihat kalender. Hari ini bulan November. Setahun habis sudah tanpa momen apapun yang berarti. Hujan menitikkan berkatnya ke genting rumah, menimbulkan suara khas yang selalu membuatku tidak bergeming dari tempat tidur. Sudah seharian hujan. Ya, seharian. Hujan mengguyur pinggiran kota satelit ini tanpa henti. Setelah 10 bulan kemarau, akhirnya hujan. Ini berkat, begitu banyak orang bilang. Aku melihat hujan sebagai nuansa menenangkan jiwa. Selalu begitu, seperti seharusnya.

Kemarau sudah cukup mengetengahkan panasnya dan meriuhkan beberapa titik panas yang membuat asap membumbung tinggi di beberapa bagian negeri. Alangkah baiknya kita bersyukur, begitu pikirknya. Namun tetap saja ada yang tidak mampu menahan muntahan emosi jika kesehariannya terusik barang sedetik.

Saat itulah akan ia dengar, beberapa suara mencerca hujan. Dalam suasana teduh seperti saat itu pun, tetap saja akan ada orang yang memaki. Kali ini Diandara memilih hanya diam. Toh selama ini juga Diandra juga diam. Ia hanya akan bicara melalui tulisan.

Hari ini tanggal 1 November. Diandra banyak menggunakan kata 'seharusnya' karena begitu banyak capaian yang terpinggirkan tahun ini. Seharusnya banyak yang selesai, tapi bimbangnya belum usai.

Jadilah, Diandra seperti kota mati yang menunggu komando dari penguasa tertinggi. Tapi, ia bukan kota. Tak akan ada komando datang kecuali dari dirinya sendiri. Lalu, ia menyingkap sedikit tirai kamarnya. Hujan menetes titik demi setitik dengan syahdu bersama iringan lagu Payung Teduh. Untuk Perempuan yang sedang di Pelukan.

Ia tenggelam dalam setiap lirik. Kata-kata yang membuatnya merasa ruang di sekitarnya bergerak begitu cepat, sementara perempuan itu bergerak begitu lambat. Selambat tetes hujan yang membasahi kaca, yang disentuh dari sisi sebaliknya, yang membiarkannya tak basah walau melihat penuh keindahannya. Kemudian, ingatan akan kenangan membombardir kepalanya. Entah kali ini, ia membiarkan hati atau logika yang menginterupsi kenangan. Ia terkesiap hampir tersedak menahan tangis dan haru karena ia bisa bertahan sejauh ini. Seluruh perasaan dibiarkannya menyatu dengan suara hujan.

"Sedikit cemas, banyak rindunya."

Rindukah ia pada Kagendra atau hanya pada bias kenangan tentangnya saja. Ia ingat di ulang tahunku ke-16, Kagendra memberikan sebuah CD bajakan The Beatles. Laki-laki itu berkata: "Coba dengar lagu nomor 12" ketika menurunkan Diandra dari mobilnya, setelah pulang bimbingan belajar bersama. Lagu itu, lagu nomor 12,  I Wanna Hold Your Hands. Lagu yang tak ia mengerti sampai saat ini. Ia tak pernah mengerti mengapa Kagendra bicara seperti itu, bukankah lebih mudah apabila laki-laki itu melihat matanya dan mengatakan "Boleh kita bersama, setidaknya mencobanya"?

"Oh let me hold your hand..."

---

Sore itulah, saat Diandra memejamkan mata, ia melihat Kagendra dari kejauhan. Laki-laki itu berjalan menjauh. Ia mendengar suara desingan kendaraan motor. Disadarinya, ia berada di sebuah trotoar perempatan jalan di Kuningan. Nama Kagendra dipanggilnya hingga laki-laki itu berhenti. Diandra terus memanggilnya entah untuk apa.

"Kagendra...Kagendra...Kagendra..."

Kagendra kemudian menolehkan pandangannya ke belakang. Diandra melihatnya  dengan tatapan nanar. Dari kejauhan, tatapan nanar itu berakhir pada senyum tipis di bibir perempuan itu. Kenangan 10 tahun lalu kembali lagi sesaat Kagendra berbalik dan menghampirinya.

"Hai, Diandra," sapa Kagendra.
"Hai," aku balik menyapanya.
"Sudah lama tak jumpa."
"Iya, sudah lama. Entah berapa lama."
"Sedang apa kamu di sini?"
"Ada pameran fotografer dari Belanda. Kebetulan aku membantu beberapa teman untuk menyiapkan instalasinya," jelasku.
"Oh. Begitu. Aku kebetulan jalan pulang dari kantor. Hari ini, aku memutuskan berjalan kaki. Lucu ternyata aku justru bertemu denganmu," ucap Kagendra sambil terkekeh.
"Haha. Kebetulan yang menyenangkan," kataku membalasnya dengan senyuman.
"Iya. Kebetulan yang menyenangkan," ia membalas senyumku dengan senyuman biasa yang aku kenal. Senyum yang mampu membuatku bergidik beberapa detik, mencoba mencari arti di balik senyuman itu. Walaupun sebenarnya aku tahu, itu senyuman yang biasa dilontarkannya pada siapa saja.
"Well, then, I'll see you around, I need to go home asap," aku berkata memecah keheningan.
"I thought you're free tonight for a cup of coffee? Baru saja akan kuajak kau duduk mengobrol barang sebentar," tawar Kagendra.
"Maybe next time, Kagendra. I can't tonight," selaku. Sejujurnya aku memang tidak bisa. Bukan seperti roman picisan yang menolak tawaran di mana tokoh utamanya menolak karena tak mau memorabilianya terulang. Kali ini aku memang tidak bisa.
"Haha. Aku pikir kau akan mengiyakannya. Aku pikir pertemuan kita akan berakhir nostalgia seperti yang kau tuliskan dalam ceritamu. Kau tahu bahwa kau berhutang padaku soal penjelasan itu," papar Kagendra.
"Haha.  Next time, maybe. Kebetulan kosmik kali ini tak tepat waktu."
"Okay, then, I hope we meet again someday, somewhere," balas Kagendra.
"Okay, I'll see you around, I have to go," ucapku dengan senyum seraya melambaikan tangan padanya. 

Kebetulan terkadang menghangatkan hati. Pertemuan dengan Kagendra sore itu seperti pengingat tentang apa yang sudah berlalu begitu lama.

Tak mampu tergenggam tangannya. Sudah jauh pula sekarang dirinya dengan Kagendra. Sekarang, keduanya tahu bahwa waktu jelas mengubah perasaan yang tak terkatan begitu lamanya. Mata Diandra memancarkan rindu, mata Kagendra memancarkan pilu karena tahu bahwa ia melewatkan sesuatu yang sesungguhnya selama ini ia cari.

"Lalu mataku merasa malu, semakin dalam, ia malu kali ini, kadang juga ia takut, tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya. Di malam hari, menuju pagi..."


"Pada suatu hari nanti, kita akan menua dan mengingat kisah ini. Kita duduk berdua di tempat berbeda, bersyukur pada semesta untuk sebuah kisah yang tidak pernah terjadi, untuk rasa yang tak pernah terkatakan. Namun kita mengerti, kita akan selalu punya ruang untuk satu sama lain. Ya, pada suatu hari nanti, tak berhenti, sampai kita mati," bisik Diandra pelan sembari menuliskan kata-kata itu di sehelai kertas fotokopian bahan kuliahnya.

Begitulah cerita ini berakhir. Pada akhirnya.

(Judul diambil serupa dengan salah satu puisi Sapardi Djoko Damono)

Comments

Popular Posts