Salju di Bulan April

Love, it isn't love until it's past
Ayah meninggal hari itu, pada bulan April, tahun 1997. Ayah meninggal hari itu, dan aku hanya berdiri mematung dengan posisi berdiri di kubikel kantorku. Jam dindingku menunjukkan pukul delapan, Ibu menelepon. Dari telepon, kudengar suara Ibu merintih perih, mencoba mengatakan satu kalimat utuh bahwa Ayah sudah tiada. 

"Kak, Ayah sudah nggak ada," isak Ibu.
"Kak," Ibu memanggilku.
"Kak," Ibu memangilku lagi.
"Kakak," panggilan ketiga Ibu hampir membuat air mataku tumpah. Aku mendengar suara Ibu yang mencoba menahan tangis histerisnya, dan aku hanya membalas nanar berita buruk dari ibu dengan kata 'ya'. Sebelum aku menangis,  aku matikan telepon itu.

---

Aku ingat betul. Hari itu, 20 April 1997, jam delapan pagi. Aku baru saja sampai di kantor, ketika handphone-ku berdering. Telepon dari Ibu. Tidak pernah ia meneleponku sepagi ini. Ia tidak pernah meneleponku, lebih tepatnya. Ia hanya berkomunikasi denganku lewat pesan teks. Tak pernah via suara. Aku tak tahu alasannya. Mungkin karena aku tak pernah mau mengangkat telepon dari Ibu, sehingga ia lelah. Kemudian, ia memutuskan sekadar mengirimkanku pesan teks, memastikan anaknya baik-baik saja. Aku tak pernah masalah soal itu. Telepon dari Ibu pun jarang kuangkat, Ayah juga dulu begitu ketika ia masih hidup. Tapi, Ayah tak pernah lelah meneleponku seperti Ibu. Dua-duanya punya cara berbeda untuk memastikan aku baik-baik saja.

Sedangkan aku, kapan terakhir mengirimkan pesan teks atau menelepon mereka saja aku lupa. Tentu aku kaget, menerima telepon Ibu begitu pagi. Kabar yang aku terima juga tidak kalah mengagetkannya. Ayah sudah tiada. Aku mengulang kalimat itu di dalam hati. Berkali-kali. Setelah menutup telepon Ibu, aku duduk kembali di kursiku. Aku limbung dan tak mau terjatuh di depan banyak orang kantor. Aku menatap kosong kertas-kertas di hadapanku. Seketika, memori bersama Ayah berpendar di kepalaku.

Usiaku tujuh tahun, ketika ia pertama kali membelikanku sepeda roda empat. Aku ingat betul, ia membawa sepeda dengan mobil Kijang kapsul berwarna merah marun. Sepeda Wim Cycle berwarna ungu. Ia berjanji membelikannya apabila nilai ujian sekolahku bagus, dan Ayah menepati janjinya. Aku ingat betul suara teriakan bahagiaku ketika melihat sepeda itu. Aku langsung lari ke arah sepeda,  bukan ke Ayah. Aku minta Ayah mengajariku cara mengendarainya, bukan berterimakasih padanya. Ayah menatapku dengan lama dan berbalik badan. Kupikir ia marah, bertahun-tahun kemudian, aku baru mengerti. Ia menyembunyikan wajahnya dariku saat itu. Ia menangis dan ia tidak ingin aku melihatnya menangis, tangis bahagia sekalipun.

"Sebentar. Ayah ganti baju dulu, baru Ayah mengajarimu," ucap Ayah.
"Hore!" teriakku.

Ayah mengganti pakaiannya dan mengajariku cara menaiki sepeda. Aku ingat betul. Dalam seminggu, di hari kelima, ia melepas roda sebelah kiri. Tiga hari kemudian, ia melepas kedua roda tambahan itu.

"Yah, aku takut. Nanti kalau roda dua, aku jatuh, kan sakit," kataku.
"Kalau kamu terlalu lama, nanti kamu terbiasa. Kalau kamu sudah terbiasa, akan susah Ayah melepas roda-roda pembantu ini. Kamu nanti akan menganggap Ayah jahat karena Ayah merenggut apa yang kamu punya, apa yang kamu bisa," jelas Ayah.
"Ayah ngomong apa sih? Aku nggak mau rodanya dilepas! Aku nggak bisa naik sepeda roda dua!" bentakku.
"Kamu harus bisa! Kalau tidak Ayah paksa, kamu tidak akan pernah bisa! Masa kamu nggak mau bisa naik sepeda sebelum teman-temanmu naik sepeda roda dua?" tanya Ayah.
"Nggak mau! Nanti aku jatuh trus kakiku berdarah!" bentakanku berubah menjadi rengekan.
"Kalau kamu bisa naik sepeda roda dua, Ayah belikan kamu gimbot," rayu Ayah yang selalu membuatku berpikir mengiyakan tantangannya. Ayah selalu begitu. Ia akan menawarkan hal yang tak bisa kutolak.
"Oke! Ayah janji ya! Aku bisa naik sepeda roda dua, Ayah belikan gimbot!" teriakku penuh rasa bahagia.
"Iya, Ayah janji," tutur Ayah.


Selebihnya, ingatanku mentok ketika aku jatuh berkali-kali. Kakiku lecet, tapi aku tidak menangis. Aku seperti lupa rasa takutku untuk mencoba hal baru. Demi gimbot. Cara Ayah selalu berhasil. Dalam dua minggu, aku bisa mengendarai sepeda roda dua.

---

Pikiranku mengawang lebih jauh. Aku mencoba mengais memori demi memori di kepalaku tentang imaji Ayah menitikkan air mata. Ketika Kakek meninggal, ia hanya berdiri saja dan memberikan pidato terakhir untuk Kakek. Ketika aku menikah, ia mengantarkanku ke altar dengan senyum. Saat ia melihat cucu pertamanya, ia memelukku erat dan menggendong anakku dan mengecup dahinya. Ia tidak menangis. Semua momen besar dilaluinya tanpa air mata haru, selalu dengan senyuman teduh. Lalu, aku terkesiap. Aku ingat kapan ia menangis, dan ingatan ini membuat jantungku berdegup dua kali lipat.

Saat itu, usiaku 17 tahun. Aku pulang di atas jam 12 malam dan Ayahku memarahiku. Aku ingat betul perkataannya yang membuatku gusar, "Anak perempuan kok pulang pagi seperti perempuan nakal." Aku begitu marah ketika mendengar perkataan itu, tak sadar aku menghardiknya.

"Yang ngajarin siapa? Buah itu jatuh nggak jauh dari pohonnya" bentakku.
"Kurang ajar kamu," ucap Ayah.
"Nggak. Aku nggak kurang ajar. Aku ngomong yang aku rasain. Mana ada Bapak yang sampai hati ngatain anaknya seperti perempuan nakal hanya karena pulang pagi," suaraku meninggi.
Ayah menatapku dalam-dalam, kemudian pergi. Namun sebelum pergi, aku mendengar ia berkata pelan.

"Kalau kamu mau menghukum saya, cari cara yang lebih baik dari menyiksa saya seharian menunggu kabarmu, kemudian sampai di rumah jam dua pagi," ucap Ayah setengah berbisik. Dalam bisikannya, aku mendengar suara batuk yang dibuat-buat. Ayah selalu membuat suara batuk yang dibuat-buat apabila ia tak ingin seorangpun mengetahui suara ia menarik ingus setelah menangis kecil.

Seingatku, kata maafpun tak keluar dari mulutku.

Aku tak pernah menyadari itu dulu. Setelah hari ini kuingat-ingat kembali, aku tersedak air liurku sendiri. Lucu rasanya bagaimana kenangan muncul secara acak, dan berubah-ubah tergantung dalam keadaan emosional pengingatnya.

---

Aku beranjak dari kubikelku. Air mataku jatuh, tapi aku coba menyembunyikannya dengan suara batuk berlebihan. Persis cara Ayah. Aku menuruni anak tangga satu demi satu, berusaha agar tidak terjatuh. Aku menuju kamar mandi, menangis sejadi-jadinya, dan melihat betapa jeleknya mukaku menangis di depan cermin.

Ayah meninggal hari itu, dan aku tidak bisa pulang ke rumah untuk menghadiri pemakamannya. Aku berada di benua berbeda darinya dan aku tidak punya cukup uang untuk pulang ke Indonesia.

Sayup-sayup aku mendengar lantunan lagu Sometimes It Snows in April - Prince. "Sometimes I wish life was never ending, but all good things, they say, never last, all good things, they say, never last, and love, it isn't love until it's past..."
(Prince - Sometimes It Snows in April)

Hari itu, 20 April 1997, Ayah meninggal. Hari itu, 20 April 1997, entah bagaimana, Amsterdam bersalju.

Aku tak pernah merasa seburuk itu seumur hidupku, seperti tidak mengusahakan yang terbaik untuk orang yang sudah memberikan lebih dari yang paling baik untukku.

Comments

Popular Posts