Dalam Makna (Sebuah Prosa Berbalasan)


(Diberi judul 'Dengan Makna' secara sepihak oleh penulis kedua, dengan alasan bahwa dengan makna - kata diharapkan menyesap langsung ke hati yang membacanya.)

Desmond:
Belati, Celurit, Parang, dan sebangsat-bangsat lain yang menjilati kulit manusia hingga sobek dan membengkak dengan warna melarat. Selama bertahun-tahun para kutu kampret negara sudah tidak ingat warna darah. Kini semua orang kaya adalah kutu-kutu kampret, dan semua orang yang tidak kutu kampret adalah melarat. Untuk pertama kali selama berabad-abad, begitu mudah, dan begitu jelas batasnya, tanpa basa-basi dan kompromi.

Jessy:
Dengan sayatan yang kuat, benda-benda tajam itu. Entah belati, celurit, parang, belati, hingga pisau yang paling tumpul pun mulai menyisik kulit perlahan. Sungguh luka yang perlahan yang meninggalkan memori luka paling mendalam. Bukan yang sekali tebas lalu mati. Luka boleh meninggalkan darah, tapi apa jadinya jika darah tidak lagi merah? Kutu kampret itu bukan makhluk yang punya darah. Ragu ku mereka akan merasakan bagaimana benda-benda tajam itu menghunus ulu hatinya.

Desmond:
Hanya saja dalam kemudahan dan dalam basa-basi yang sejelas kaca kantor wakil rakyat, akan selalu diselipkan kompromi. Akan tetap selalu ada batasan. Antara kutu-kutu kampret yang dijanjikan neraka tetapi hidup enak, dan orang-orang yang tidak kutu kampret dan melarat yang dijanjikan surga tetapi hidup dalam konaknya celurit dan bangsat-bangsat lainnya. Tetapi jangan dianggap mereka begitu anti sosial. Tidak! Ada satu garis tipis yang begitu suci dari warna melarat dan kutu kampret yang bangsat, garis tipis yang dinamakan prostitusi. Siapa yang rela tubuhnya disikat presiden kalau dirinya sudah sarapan jus duren?

Jessy:
Makanya mereka menamakan diri mereka politikus. Harafiahnya mungkin memang poli dan tikus. Mereka jenis tikus yang bermacam-macam. Kutu yang hidup dalam tikus-tikus itu menginfeksi mereka yang memegang benda tajam ataupun benda tumpul yang mampu melukai dengan hati-hati. Tak ada yang mengerti hubungan itu. Ya, hubungan di antara kutu dan warna yang katanya ada di bendera kita. Prostitusi. Prostitusi jadi hal hakiki yang diamini para politisi. Mungkin itu jadi bagian dari mereka. Karena darisanalah mereka mengenal warna melarat. Mereka memangilnya merah. Warna dosa yang ada di selipan setiap selangkangan yang mereka singgah-singgahi. Entah memang hak azasi dan prostitusi terdengar seirama. Mungkin karena itulah mereka keliru memahaminya. Memahami kedua hal itu adalah hal yang sama. Bodohnya.

Desmond:
Bodoh. Berbicara tentang bodoh, mungkin aku jauh lebih bodoh. Mencari bercak-bercak cinta yang tidak pernah ada seusai tuntas pembayaran. Merasakan sisa-sisa kehangatan di kasur-kasur yang berbau parfum murahan. Semuanya untuk mencari. Mencari kepuasan nafsu pula. Tetapi nafsu lain. Nafsu yang diinginkan oleh beberapa kutu-kutu kampret yang tidak ingin ingat warna melarat. Mereka kembali kepadaku, pemutus tali prostitusi yang suci antara kutu-kutu kampret, dan melarat. Membayar mahal atau murah, semuanya ironis, karena aku mendengar tawa dan jeritan yang sama, sama, sama, sama, sama, dan sama. Garis tipis ini yang ada dan tidaknya terlalu sering berubah setiap bulannya terkadang menggidikkan karat-karat padaku. Kerjaku kotor, tetapi tidak sekotor kutu-kutu bangsat yang rumahnya bersih tapi bermulut sampah dan bangsa melarat. Yang berbicara berlaku kenyataan, tetapi terlalu nyata hingga mereka harus selalu tinggal dibawah sampah dan kardus-kardus basah. Aku memang di tengah-tengah mereka, menjadi perantara hubungan yang jauh lebih tipis dari prostitusi bagi kedua bagian masyarakat ini. Yang lucu adalah, mereka merasa aku datang untuk memperbaiki. Sedangkan aku tidak pernah merasa memperbaiki sesuatu apa juga. Aku datang untuk melunasi! Dan melunasi dengan sayatan dan warna melarat itu saja!

Jessy:
Jeritan yang selalu kudengar. Bukan tipikal jeritan yang kamu temukan di pinggir pantura yang pesing. Bukan juga tipikal jeritan yang kamu dengar di tepi pasar pagi yang bising. Ini adalah tipikal jeritan yang tergulung dalam sepi. Jeritan yang menggerayangi hati dengan kisruhan pedihnya. Jeritan...yang bahkan tidak mampu kamu ungkapkan. Jeritan ketidakadilan yang membawa gamang menelungkup dalam keremangan lampu lima watt kamar 3x3 sumpek dan bau apek. Kutu kampret ataupun tikus-tikus itu tidak pernah mengerti itu. Hanya aku yang mengerti dan aku, aku, aku lainnya yang menyayat mereka dengan pisau tumpul, berharap mereka terluka. Namun akhirnya aku, aku, dan akulah yang terluka. Alat-alat tajam itu tidak bermata dua. Aku pun heran mengapa lukanya terpantul-pantul bagaikan cermin. Aku mencoba menyebut amin dalam doaku, tapi itu sia-sia. Semua jadi begitu karena ketidakadilan membahana, melancipkan sudutnya, dan menggerogoti nurani kita. Satu orang bijak berkata, sudah darisananya manusia hidup untuk membunuh manusia lainnya. Kita adalah serigala bagi manusia lainnya. Kita adalah kutu kampret bagi kutu kampret lainnya. Kita adalah tikus bagi tikus lainnya. Tapi, bolehkah aku memilih untuk jadi parang, celurit, parang atau sekedar belati bagi manusia lainnya? Homo homini lupus luntur maknanya untuk kutu dan tikus. Aku mencoba jadi senjata yang aku tahu susah payah kutajamkan ujungnya untuk membuat yang lainnya mampu mengadahkan kepalanya untuk sedikit bersuara meminta keadilan. Homo homini lupus biarkan saja pupus. Karena warna melarat dan sayatan lebih punya arti lebih dari perbuatan yang mereka lakukan tanpa henti, layaknya mereka sufi.

Desmond:
Untuk saat ini keadilan terasa begitu tegak dan hancur berkeping-keping dalam waktu yang sama. Seolah timbangan yang tembus pandang telah menimbang. Tidak terlihat tapi adil. Dalam hal ini, keadilan adalah keadilanku. Adil karena yang bersalah telah disalahkan, dan yang benar mampu membayar. Demikianlah harga keadilan. Diluar itu, maka aku tak melihat. Sesungguhnya ketajamanku adalah tumpul bagi rakyat melarat. Aku hanya tajam bagi kutu-kutu kampret. Karena mereka terlalu takut mati. Terlalu enggan selesai menikmati. Sedangkan apabila rakyat melarat mati, mereka tidak hendak bersedih. Mereka akan berpesta pora tiga hari tanpa henti! Teman, kerabat, suami, ayah mereka telah lepas dari cobaan duniawi. Tuhan telah mengutus tangan kanannya untuk membunuhnya, dan membantunya menjamah surga. Lagi-lagi, ironis.

Jessy:
Dari yang ironis timbul suatu yang kritis. Namun apakah dari yang kritis mampu mengikis harga yang dari awal sudah terpatri di dada kiri tiap-tiap wni? Kamu jawab sendiri. Detakan itu teringat di tiap detikku. Detakkan rasa berdosa karena aku ingin berontak mengubah yang salah. Aku ingin menjadi belati. Belati yang menusuk tepat ke sana, ke titik tikus dan kutu di mana aku mampu menggorok nurani mereka yang masih orok. Aku akan tetap menggelinjang sampai keadilan tidak lagi berbayar. Mampukah aku? Bukan itu pertanyaannya. Namun sampai hatikah kalian mengorbankan diri sendiri untuk berdarah merah bersama dengan yang melarat seakan menghilangkan saratnya rasa iba yang sudah lama menggaung di relung hati. Mampukah kalian? Atau malah kalian malah menjadi ombak yang melunturkan awal yang sudah terjejak. Entah.

Desmond:
Begitu banyak gambaran pemberontakan di dalamku. Seperti aku dapat mengumpulkan teman-teman sebangsat, dan menyerbu, atau aku dapat mengekspos dunia internasional dan menunggu diserbu. Aku begitu siap dan menunggu. Garis bawahi kata menunggu! Semuanya merasa ini tidak perlu. Seolah kita dicetak untuk memburu. Ya semua sudah demikian adanya. Tidak ada klimaks yang menggetarkan pihak ketiga. Bagaimana ada?! Kenyataanpun tidak pernah eksis dalam dunia kutu-kutu kampret dan bangsa melarat. Aku! Aku juga tidak nyata, karena ketika kutu-kutu kampret dan bangsa melarat tenggelam dalam novel cerita-cerita misteri aku pula akan ikut terseret lebih dalam. Karena garis tipis yang tercipta antara aku, prostitusi, dan mereka kutu ataupun melarat. Habis semua, habis dalam tunggu. Selagi aku melakukan segala biasa dari senin-minggu. Cabik sana! Tusuk sini! Bantai sana! Gorok sini! Sama dan tak berarti.

Jessy:
Bukan berarti aku fana. Bukan berarti aku maya. Aku ada. Aku nyata. Hanya saja fatamorgana lebih kuat ditanamkan di kepala-kepala penajam lainnya. Tapi aku akan berusaha. Pihak ketiga selalu punya kuasa yang disetir oleh pihak pertama dan kedua. Tunggu waktunya saja, pihak ketiga akan memiliki sejuta kata yang membunuh pihak pertama dan kedua. Yakin saja. Ya, seperti kukatakan untuk menunggu. Menunggu dalam diam adalah cara. Menunggu dengan kata juga cara. Garis horizontal dan vertikal yang memisahkan menunggu adalah asahan tajam alat-alat itu untuk menebas dengan sekali saja kebahagiaan akan keadilan dengan takaran yang sama. Puncak kenikmatan akan ada ketika semuanya seimbang. Seimbang dibodohi. Seimbang untuk jadi sok pintar dan juga seimbang untuk berjudi di antara jeda-jeda waktu. Menunggu itu hal yang tidak mudah, kawan. Kalau itu mudah, kita sudah bahagia. Kita tidak lagi melarat dengan bangsat-bangsat. Kita sudah mengguncang dunia. Bukan tidak ada waktunya. Hanya belum saja. Semua belum waktunya. Mari kita tunggu kutu dan tikus mampus.

542.6 KM
Desmond Fliam dan Jessy Ismoyo
Jakarta - Jogjakarta
Desember 2012
Waktu ketika ide sedang gencar-gencarnya.

Comments

Popular Posts