RPC GOES TO TMII
Bulan Januari boleh jadi bulan penuh pelajaran untuk saya.
Antara melanjutkan yang lama karena yang lama itu patut dilanjutkan.
Berbarengan dengan membuat resolusi baru, yang tentunya lebih baik untuk ke
depannya. Hal yang sama terjadi pada kegiatan Rumah Pintar Ciangsana. Akhirnya,
sampailah saya pada titik klimaks acara ini - setelah melalui beberapa hambatan
dan kerikil-kerikil kecil, I'm thanking
God we finally made it! Terima kasih yang luar biasa buat Kak Tasya dan
teman-teman yang sudah berusaha membantu untuk terlaksananya kegiatan ini.
Sabtu itu akan sama seperti sabtu biasanya jika saya tidak
bangun pagi dan mengurus acara ini. RPC
GOES TO TMII. Saya dan beberapa rekan sudah sangat excited, melihat semangat itu - saya lupa lelah dan sakit hati yang
sudah dirasa beberapa waktu kemarin akibat usaha pencarian dana kami. Tapi, apa
daya memang - Tuhan tahu, ketika suatu kegiatan bertujuan baik, tentu akan
menghasilkan hasil yang baik pula. Mungkin saya bukan orang yang berorientasi
pada lingkungan dalam dulu untuk dibenahi, baru ke lingkungan luar. Saya adalah
orang dengan orientasi berbuat baik itu tidak perlu berpikir dua kali. Hati
yang bersih seharusnya menanamkan pekerti seperti itu, bukan justru punya
keinginan untuk menguji. Well, that's
enough! Saya sudah mulai bicara di luar radar. Intinya, kegiatan kami ini
tetap berjalan lancar. Sesuai dengan yang kami perkirakan.
Hari itu diawali dengan berkumpul di GKI untuk merampungkan
persiapan kami. Setelah siap, kami pun meluncur ke RPC. Kecewa boleh kecewa,
anak-anak yang ikut ternyata tidak sesuai perkiraan kami. Awalnya, ada hingga
40 orang yang mendaftar untuk ikut acara ini, namun pada akhirnya hanya ada 17
orang yang ikut. Rencana pun akhirnya diubah. Dengan dana yang berlebih,
akhirnya tujuan diganti - dari museum transportasi sebagai tujuan kedua, kami
dapat membawa anak-anak tersebut ke teater IMAX Keong Mas. Hal itu nilai lebih
untuk anak-anak itu.
Perjalanan pun dimulai. Satu hal yang saya sadari. Dari awal
saya melakukan kegiatan ini. Senyum yang terukir di tiap wajah anak-anak itu
adalah senyum tulus yang menyatakan kebahagiaan mereka. Kebahagiaan tanpa
kepura-puraan. Kebahagiaan karena mereka diberikan kesempatan untuk
jalan-jalan. Mungkin. Tapi, alasan apapun itu. Wajah anak-anak ini membayar apa
yang sudah kami lakukan. Senyum anak-anak ini membayar tiap usaha, waktu, dan
tenaga yang kami lakukan. Smiles that
could break a heart. Yes, that sort of smile.
Tujuan pertama adalah ke PPIPTEK TMII. Kami belajar banyak
di sana. Lucunya, bukan hanya adik-adik yang semangat. Beberapa kakak-kakak
pendamping terlihat begitu bahagia karena ini merupakan kunjungan pertama
mereka. Hal ini justru jadi nilai lebih karena kakak-kakak dapat bermain dan
saling mengajari dengan adik-adik asuhan mereka. Kelompok dibagi menjadi lima
dengan masing-masing dua sampai tiga kakak pendamping. Mereka terlihat
menikmati pertunjukkan roket air, science
show, dan science movie. Sekitar
dua jam kami habiskan di PPIPTEK dengan dipotong waktu makan siang. Semakin
siang, anak-anak terlihat lesu. Namun muka itu kembali ternganga ketika
memasuki IMAX. Wajah terpesona mereka membuat saya ingin tertawa, bukan
melecehkan namun tawa bahagia. Akhirnya, saya dapat membuat mereka ke sana dan
menikmati film yang walaupun membuat kantuk meraja - setidaknya mereka
menikmati layar yang besar dengan gambar sejarah ptereodactyl. Itu cukup. Lebih dari cukup.
Ada satu cerita yang patut dijadikan pelajaran dalam
perjalanan ini. Ada seorang anak bernama Zahra. Dalam perjalanan, ia memang
sudah terlihat tidak enak badan. Benar saja, ketika rombongan ingin berpindah
dari PPIPTEK ke IMAX - badan Zahra dingin, sehingga harus diantar ke Rumah
Sakit terdekat. Ada dua kakak yang mengantarkannya ke RS. Ia sakit gejala
typhus. Usut punya usut, Zahra ternyata memalsukan tanda tangan orang tuanya.
Ia sebenarnya tidak diijinkan pergi, namun ia memaksa. Panasnya memang sudah
turun karena obat dari puskesmas terdekat memang hanya mengobati panasnya -
bukan virus penyabab sakit typhusnya. Itulah mengapa sakitnya kambuh lagi di
perjalanan. Dengan alasan iba melihat anaknya meminta, orang tua Zahra
mengijinkan Zahra pergi (walaupun orang tuanya tidak menandatangi surat
pernyataan dair RPC). Well, that's a
lesson learned - we always need our parent's blessing in everything - even a
little thing. The most heartbreaking moment was when I saw his father said he
has no money to repay the hospital fee. I was like..."it's okay, you can
take your daughter home and take care of her."
Kenyataannya, memang ada yang dipelajari hari itu.
Seharusnya, begitulah satu hari dilewati - kita harus mempelajari satu hal,
ketika hari itu saya mempelajari lebih dari satu hal. Itu hal yang harus
disyukuri. Bahagia itu memang sederhana :)
menarik, kegiatan paling menyenangkan adalah ketika kita bersama anak-anak dan lupakan menjadi dewasa.
ReplyDeletesalam kenal :)