Paragrafik



Kursi dan Mejanya
Kursi tidak pernah meminta meja untuk berada di dekatnya. Namun mereka selalu dipasangkan bersama. Tapi, tidak di rumahnya. Meja berdiri sendiri, di atasnya terletak vas bunga dan berhadapan dengan kaca. Kursi juga hampa terlihat berjarak jauh dari meja. Tatkala mata menalarnya, ada kejanggalan terasa. Anehnya semuanya masih terasa pas-pas saja. Andaikan saja aku meja dan kamu kursinya. Kamu mengerti kan?

Patung dan Bayangannya
Patung itu kamu. Bayangannya itu dia. Kamu dan dia selalu bersama. Namun maaf sayang, aku malamnya. Aku bisa menghilangkan bayangan. Itulah mengapa malam begitu sendu, dingin, pilu, kelu, atau apalah itu.

Sastra dan Penulisnya
Sastra itu apa? Entah. Semua yang ditulis penulis belum tentu sastra? Bisa saja ia membuat rangkaian huruf buta relasi yang memang tidak punya arti. Setidaknya dalam kekosongan arti itu, mengisi di antaranya kerinduanku yang tak tersampaikan untuk kamu. Mengisi di antaranya, obsesi saja - bukan rasa. Eh, obsesi itu rasa jua kah? Entah.

Hujan dan Hujannya
Hujan mengisi hujannya. Bak matahari mengisi mataharinya. Kamu mengisi dirimu sendiri dengan bualan satu demi satu. Bersikukuh bersama penatnya rutinitas yang memaksa kita untuk bergegas. Hujan mengisi hujannya. Bak kamu mengisi dirimu sendiri dengan kesibukan sarat posisi. Lupa apa yang sebenarnya perlu dipahami dan dimengerti. Hujan dan hujannya mengajarkan kamu apa-apa, tiada habisnya. Sepertinya, tetap saja kamu tidak melihat juga. Ketidakcocokan itu memantulkan dirimu jauh dalam keraguanmu untuk maju. Peluh saja kamu bersimpuh, tidak akan kamu temukan sesuatu yang baru - karena semuanya sudah kamu alami. Dengan sengaja untuk mencipta. Sayangnya, kamu gagal saat menata. Di saat kamu gagal, di saat itu juga kamu kekal.

Mimpi dan Mimpi Buruknya
Kesedihan mendalam mengingat mimpi buruk juga ada. Bukan hanya mimpi yang senang-senangnya saja. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari kehilangan arah. Kehilangan orang yang disayangi tidak lebih sedih dari hilangnya arah. Mengapa? Karena arah yang memberi petunjukknya untuk mengincar mimpi. Momentum yang diperlukan sama dengan terbaliknya mimpi buruk dalam seruk-seruk yang menggaruk. Mimpi dan mimpi buruknya menyatu dan membuat kamu membisu. Mengapa? Hanya karena satu alasan saja. Mengapa? Karena kamu palsu. Palsu sudah cukup membuat aku beku. Palsu sudah cukup melengserkan buruk dari mimpi dalam mimpi burukku. Selamat malam, sayang. Mimpi buruk sana. Aku tahu kamu rela, karena di sana kamu akan bertemu dengan sesuatu yang kamu sebut 'aku'.

Pulang dan Datangnya
Apa beda? Sama saja kalau tiada kata yang hadir di sana. Mau pulang atau datang, toh kamu diam. Lemas sudah perbedaan di sana. Pulang atau datang, tidak ada lagi bahagia di sana. Jadi, terserahmu saja memilih yang mana. Aku hanya ingin tahu saja, bukan ingin makna. Pulang dan datang hanya masalah dari mana aku melihatmu. Jauh atau dekat hanya masalah di titik mana aku berdiri dari kamu. Tak masalah sebenarnya, karena jaraklah kita ada. Tanpa jarak pada awalnya, kita tak pernah ada. Jadi, biarkanlah ada jarak di sana. Karena apa? Karena itulah kita tercipta - lagipula adalah dosa melupakan darimana kita dicipta. Konklusinya menjawab semua.

Jessy Ismoyo
Kb Kacang, 31 Januari 2013
(Paragrafik karena melalui paragraf kamu melihat sebuah grafik. Grafik tentang rasa yang sebenarnya tidak boleh ada)

Comments

Popular Posts