Like I quoted the stupid line that I made for a friend: "Living in Jakarta. It's like loving someone who doesn't love you back. Masochist kind of act." It's probably how I'm picturing Jakarta and all its mess. But, wait? It still could be a beautiful mess.
Jakarta kebanjiran ibarat hal biasa.
Sudah menjadi tradisi, seperti Indonesia yang lekat dengan korupsi. Memang ini
bukan hal yang patut untuk kita banggakan, namun hendaknya menjadi satu langkah
awal bagi tiap-tiap pribadi (terutama generasi muda) sebagai pecutan tajam
untuk berbuat lebih. Banjir tahun ini
bisa dibilang lebih parah dari banjir tahun-tahun sebelumnya yang terjadi di
Jakarta. Dengan curah hujan yang lebih besar, daerah rendaman air pun meningkat
beberapa cm dari banjir yang terakhir terjadi pada tahun 2007. Dengan banyak
peristiwa yang cukup menyedihkan seperti meninggalnya satu orang di gedung UOB
karena peristiwa ini dan beberapa hewan di toko hewan, atau begitu banyaknya
pengungsi yang kekurangan makanan. Ya, ini banjir terparah di Jakarta.
Disangkal ataupun tidak dan tanpa
menyalahkan pihak mana pun, adalah bodoh jika kita mencoba mencari kambing
hitam atas peristiwa ini. Saya cukup miris harus melihat pola pemikiran
beberapa masyarakat yang mengatakan bahwa ini adalah 'banjir kiriman' seolah
ada pengirim dan penerima yang mentransfer pesan, dalam konteks ini - pesan itu
adalah 'banjir'. Saya pribadi menyayangkan hal itu. Mengapa?
Provokasi-provokasi seperti ini masih terjadi saja pada masyarakat. Masih saja
ada beberapa lapisan masyarakat yang terhasut isu-isu macam ini. Yang ingin
saya luruskan di sini adalah kenyataan bahwa banjir ini adalah akibat dari
kepingan-kepingan sebab yang kita lakukan. Tidaklah bijaksana jika ada satu
yang dipersalahkan atas kejadian ini.
Menelusuri lebih jauh, istilah
'istilah banjir kiriman' mungkin awalnya merupakan 'bahan lelucon', sebagai
bahan obrolan yang kemudian ditanggapi serius. Hal yang harus kita ketahui
adalah banjir terjadi karena memang air mengalir dari tempat tinggi ke tempat
rendah - dan sedihnya, Jakarta terletak di kontur daratan yang lebih rendah.
Walaupun ada yang salah dengan hal ini, yang salah adalah orang-orang yang
memilih tinggal di Jakarta dengan segala kemungkinan banjir yang datang kapan
saja. I mean, come on it is not happened
just once or twice, like i said - flood in Jakarta is more like tradition - you
guys know why it happened. Why don't you introspect yourself first?
Jika saya boleh mencoba mengkaji
sedikit lebih jauh tentang peristiwa ini, ada kata yang mungkin saya sebut
sebagai penyakit lama. Selain kebiasaan mencari kambing hitam, budaya instan
yang sudah mendarah-daging ini menyebabkan banyak pribadi cenderung menolak
tanggung jawab. Menolak bagaimana? Sikap menempatkan kesalahan di luar kita,
daripada mencari sedikit titik kesalahan pada diri kita yang mungkin menjadi
salah satu faktor dalam peristiwa itu adalah biasa. Saking biasanya, semua
orang merasa benar untuk melakukannya. Mungkin itulah yang dapat menjelaskan
fenomena yang terjadi pada masyarakat kini. Saya menyebutnya social everlasting illness. Tindakan ini
selalu saya temukan dalam banyak pribadi. Namun ketika membicarakan scoop yang lebih besar, seperti
pembicaraan kita kali ini. Hal ini menjadi sangat serius. Sikap ini mampu
mengeruhkan keadaan yang tadinya biasa-biasa saja. Boleh kita tengok sedikit
kejadian lainnya yang mempersalahkan Gubernur DKI Jakarta akibat banjir yang
terjadi di Jakarta ini. Pertama, kita menyadari pola ini berulang - ada yang
dipersalahkan di luar diri kita sendiri. Kedua, kerapkali kambing hitam yang
dipersalahkan nampak tidak masuk akal. Ketiga, herannya saya - masih saja ada
orang yang terhasut isu macam ini. Di antara ketiganya, faktor terakhir adalah
yang membuat saya paling sedih. Setelah menyadari bahwa siklus ini selalu terjadi
dalam tiap isu, kenapa masih saja ada yang percaya?
Saya selalu percaya perubahan itu
selalu ada. Itu dimulai dari kumpulan sikap-sikap kecil yang kemudian akan
menjadi besar. Setidaknya, itu yang saya percaya. Banjir tahun ini membawa
pelajaran yang sama banyaknya dengan curahan hujan yang turun. Saat itu adalah
pengalaman saya menjadi relawan di posko banjir. It is counted as a precious day of my life, because I learned a lot of
things. Ada satu kejadian yang membuat saya terenyuh. Salah seorang dari
teman saya berkata demikian.
G: "Jes, you're responsible for what happenend to me!"
J: "What's wrong with you?
G: "You make me think much about humanity."
J: "Aww... Thank God what I planned to happen, it's happening right now."
Rasa senangnya mungkin tidak
tergambarkan, walaupun saya berusaha menyembunyikannya. I always believe what comes from an heart, goes to another heart. One
little kind act, affects people to do the same. Terima kasih Tuhan saya
benar-benar mengalaminya sendiri saat ini. Saya merasakan bagaimana usaha
jerih-payah yang kita lakukan membawa dampak, bukan bagi diri kita tapi bagi
orang lain. Itu bagian yang paling bahagia dari semuanya.
Sore itu, saya tiba di GPIB KOINONIA
jam 5 waktu Indonesia bagian barat. Melihat pemandangan orang mencuci motor
dengan air sungai, anak-anak berenang dan tertawa, sampai yang hanya singgah
untuk foto dan sibuk bermain dengan hp mereka di tengah banjir tanpa berbuat
apa-apa. Ini adalah kali pertama saya. Di antara semua perasaan, perasaan tidak
tahu apa yang harus dilakukan adalah satu yang tidak saya sukai. Itu yang saya
alami hari itu. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Sebagai relawan
baru, jujur saya cukup kaget dengan keadaan yang terjadi di tempat kejadian.
Saya tidak mengira akan sebanyak itu penduduk yang mengungsi, mengingat
banyaknya posko yang terletak di sekitar daerah itu. Gedung gereja berlantai
empat dipenuhi dengan banyak sekali orang, mungkin diperkirakan mencapai 500
orang. Kebetulan pemuda-pemuda di sana membutuhkan banyak suplai logistik,
sehingga saya dan beberapa teman mengarahkan pengumpulan barang di daerah
sekitar kami. Barang-barang yang terkumpul dari kami berupa: beras, makanan
bayi, susu bayi, popok bayi, dan beberapa makanan kecil seperti biskuit
lainnya. Puji Tuhan, melihat situasi kondisi di sana - begitu banyak orang yang
terketuk hatinya memberikan sumbangan untuk logistik. Banyak sekali persediaan
makanan yang terkumpul di lokasi. Dengan pemuda lainnya, kami mengondisikan
pembagian makan malam dengan kupon. Sudah tersedia kupon sebanyak yang
disebutkan tadi. Proses pembagian makanan pun dijalankan.
Keadaan cukup kondusif. Setelah
menghabiskan hampir tiga jam mengurus pembagian makanan yang tidak mudah.
Jujur, kali pertama ini mengajarkan saya banyak hal. Menjadi relawan adalah hal
yang tidak mudah. Saya salut dengan relawan-relawan yang ada di luar sana, yang
menghabiskan begitu banyak waktu mereka membantu orang lain (saya yang tidak
seharian saja sudah cukup lelah), yang stand-by
sekiranya mungkin akan ada banjir susulan dan status siaga yang acapkali
tidak menentu, bersosialisasi dengan korban.
Saya pun berjalan menyusuri lantai
satu hingga lantai tiga. Ketika saya berniat melangkahkan kaki saya pada anak
tangga pertama, mata saya tertuju pada seorang nenek yang tidur beralaskan
tikar di bawah tangga. Tubuh rentanya memperlihatkan umurnya yang memang sudah
tidak muda. Dengan badan melingkar, nenek itu tidur, ketika dua orang cucunya
bersenda gurau di sebelahnya. Saya hanya bisa meringis. Bukan menangis, tapi
meringis. Kepedihannya terlalu dalam dan tidak terungkapkan, hingga hanya mampu
jadi ringisan. Naik ke lantai dua, saya harus mengelus-elus dada tanda sabar.
Tetap saja, walaupun di daerah pengungsian - setelah banjir yang terjadi,
masyarakat tidak belajar untuk membuang sampah pada tempatnya. Tidak dapat
mengorelasikan sampah dengan musibah yang menimpa mereka. Saya hanya bisa diam,
memungut sampah yang berserakkan di sekitar tangga dan meminggirkannya di tong
sampah di sudut ruangan lantai itu. Melihat penuhnya tempat evakuasi dan sampah
yang dibuang begitu saja membuah sanitasi tempat itu juga tidak terjamin.
Relawan-relawan lainnya harus mengangkat sampah mengeluarkannya dari sana,
berulang-kali - tanpa lelah mengingatkan pada para pengungsi untuk mengingat pentingnya
sanitasi tempat evakuasi. Hal itu hanya dapat diwujudkan dengan kerja sama dari
tiap mereka juga. Kebersihan harus dijaga. Kita harus belajar. Setidaknya untuk
tidak menyalahkan orang lain dan mulai membuang sampah pada tempatnya untuk
diterapkan dalam diri kita masing-masing.
Perjalanan belum selesai, saya sudah
sangat lelah. Jam telah menunjuk angka sembilan. Tapi, perjuangan relawan belum
selesai. Kami harus melanjutkan ke GPIB PENABUR karena baru mendapat informasi
bahwa pengungsi di sana kekurangan logistik dan membutuhkan bantuan dan
situasinya digolongkan lebih parah. Segera kami meluncur ke sana. Setelah
sampai di sana, banjir memang tidak masuk ke gereja, namun di daerah sekitar
banjir itu sampai ke dengkul - bahkan ada yang hingga sedada. Ironisnya,
penduduk di sana bahkan bertindak seperti tidak ada apa-apa. Iseng bertanya
pada satu bapak yang sedang merokok di warung, ia menjawab: "Lah emang
kami bisa apa neng? Nrimo saja lah. Toh nanti juga musibah pasti
berlalu." Ya, itu pelajaran saya malam itu. Musibah pasti berlalu.
Pukul dua dini hari kami pun
kembali. Dengan badan yang lelah, saya tidur dengan jiwa yang terisi hingga
tumpah-tumpah. Sungguh. Saya tidak pernah merasa sehidup ini. Doing good to others bring you an extra-life
somehow. At least, for me. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi mereka
yang membacanya. Mohon maaf apabila ada salah kata. Tuhan berkati kita semua.
Comments
Post a Comment