Replika Realita

Budaya itu hasil cipta, karya, dan karsa manusia. Bentuk apapun yang menggambarkan definisi itu - akan saya anggap budaya (secara garis besarnya). Pembukaan dengan definisi budaya diawali dengan ide di mana humanisme digambarkan dalam setiap produk budaya - katakanlah buku dan film (dua hal yang mana saya tekuni). Film dan buku yang 'berhasil' adalah ketika pengarangnya mampu membawa refleksi dari realita - membuat penikmatnya merasakan ironi yang terjadi dalam karya itu, hingga pada akhirnya satu di antara mereka sudi berbuat lebih untuk mengubah replika realita yang penuh melankolia. Mengapa melankolia? Ya, karena sebuah ironi adalah tentang gap melankolia, tentang jarak, tentang sesuatu atau seseorang dengan momen 'perubahan' yang dituntut di antaranya.

Cukup tentang budaya. Pembukaan itu mungkin terasa tidak 'nyambung' dengan apa yang ingin saya keluhkan di sini. Sedikit ironi yang terjadi - sedihnya ini terjadi dalam realita - untuk itu saya menyebutnya replika realita. Karena apa? Karena saya tidak pernah berharap hal seperti ini mungkin terjadi dalam realita yang saya alami sendiri.

Ketika ditanya apa tujuan hidup saya? Sudah jelas, secara garis besarnya adalah meningkatkan literasi Indonesia. Bagaimana membuat orang-orang sadar bahwa buku adalah sesuatu yang sama berharganya dengan barang-barang bertitel 'tersier'. Secara lebih garis besarnya? Berbuat baik pada orang lain - saya selalu berusaha menanamkan pemikiran ini pada orang-orang di sekitar saya, terlepas dari faktor lain yang membelenggu situasi sosial. Prinsipnya hanya itu - berbuatlah kebaikan. Dalam kepercayaan saya, saya selalu percaya - inti dari semuanya adalah 'kasih' - yang mana mengharuskan pengikut ajaran itu melakukan kebaikan untuk orang lain.

Menelaah lebih lanjut? Apa definisi yang baik dan apa definisi yang jahat? Saya mencoba mencari definisinya namun saya tidak memahami. Ini jujur. Saya tidak tahu apa yang baik. Apa yang baik menurut agama saya belum tentu baik untuk kalian. Baik itu subjektif. Kembali pada permasalahannya. Perbuatan baik seperti apa yang dapat saya lakukan, jika saya gagal mendefinisikan arti kata 'baik' itu sendiri secara harafiah? Mari kita cari duduk perkaranya. Saya akhirnya berkonsep seperti ini: kebaikan itu adalah sesuatu sikap yang keluar dari seorang individu - yang ditularkan ke individu lain. Contoh - saya berbuat kebaikan jika satu sikap saya mampu menginfluens satu orang atau lebih untuk melakukan hal yang sama. Deep down in your heart, you know it! Maksud saya di sini adalah setiap dari kita paham betul perbuatan macam apa yang saya tekankan di sini. What comes from the heart, goes to another heart! And it always goes that way. That is good deeds!

Lalu, apa hubungannya dengan tulisan saya kali ini? Saya berbagi kali ini beban moral yang harus saya emban akhir-akhir ini sebagai ketua natal. Saya sejujurnya tidak pernah suka titel ketua. It gives you a lot of responsibilities. And I hate it, honestly. Saya selalu ingin membantu orang-orang yang tidak mampu di luar saya. Keinginan saya sederhana, saya ingin anak-anak gereja saya - untuk mengalami perasaan menyenangkan dari membantu anak-anak sekitarnya, mengalami perasaan menyenangkan dari hebatnya rasa syukur yang mungkin kita lupakan karena rutinitas membuat hati kita mati rasa, sehingga mulut dan logika lebih cepat bekerja dari hati. Saya tidak menghindar, terkadang saya juga berada di posisi itu. Oleh karena itulah, saya mencoba keluar dari ranah itu dan mengisi kembali apa yang seharusnya diisi di hati saya.

Dari alasan itu yang kemudian diperkuat dengan kegerahan saya melihat orang-orang yang hanya membantu dengan memberikan uang. Maksud? Saya ingin mereka menyadari bahwa anak-anak di panti lebih dari sekedar membutuhkan uang. Anggaplah mereka anak-anak sendiri (bagi mereka yang sudah menjadi orang tua), orang tua mana yang ingin mendidik anaknya dengan hanya memberikan uang? Hal yang serupa menurut saya berpola terjadi di kalangan lingkungan saya - kecenderungan ini tampak sudah berbudaya dan saya mencoba kembali mengetuk mereka untuk mengingatkan ada yang lebih penting dari hal itu. Apa? Waktu. Setiap anak-anak ingin waktu dengan orang tua mereka. Setiap anak-anak ingin keintiman, ingin hubungan yang erat, yang mana diciptakan dari interaksi langsung. Setiap anak ingin itu - begitu juga dengan kegiatan sosial ini, waktu akan lebih berharga daripada uang. Itu yang ingin saya sampaikan di sini. Bagaimanapun juga hal itu cukup relevan jika saya ingin sambungkan ke kegiatan pelayanan. Pelayanan adalah masalah waktu, bukan uang.

Dari sana datanglah ide untuk mengajak pemuda mengajar di Rumah Pintar Ciangsana. Seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya, kegiatan kami dengan RPC sudah berjalan selama dua bulan dari November 2012. Kegiatan ini mendapatkan respon positif bahkan dari kawan antaragama yang bersedia membantu. Melihat tema 'Kepemimpinan dalam Masyarakat' - saya rasa kegiatan ini sungguh well-defined - bukan hanya masuk dalam masyarakat, tapi menyatu dengan masyarakat. Kami datang dari pemuda gereja dengan melepas embel-embel 'agama' kami. Kami masuk dalam situasi masyarakat yang cenderung anti-kristen dan menyatu dengan mereka, mengajari anak-anak mereka - berbuat kecil untuk perkembangan pendidikan Indonesia. Bekerja sama dengan GKI, kami sebagai pemuda punya tujuan yang tidak lain - meluaskan pengetahuan anak-anak, membuat mereka senang membaca. Hanya itu. Untuk hal itu, saya boleh bangga karena teman-teman saya sepaham dan sepikir dengan visi misi saya berkaitan dengan acara ini.

Dengan adanya kegiatan ini, saya beserta panitia ingin mengajak pemuda untuk belajar dari anak-anak ini. Bukan saja kami yang mengajari mereka, namun sebaliknya. Kegiatan ini menerima sambutan yang baik dari berbagai pihak - sampai akhirnya datanglah satu momen krusial yang berkaitan dengan 'dana'. Saya jujur tidak pernah mengerti mengapa dana menjadi suatu masalah. Mungkin saya adalah bidak buruk dalam satuan organisasi karena tidak bisa berpikir terstruktur, tapi saya tidak pernah mengerti mengapa sebuah struktur dapat menghambat sebuah tujuan kegiatan awalnya. Sikap-sikap dewasa dari orang dewasa tidak saya dapatkan. Saya hanya mendapatkan kesan bahwa pemikiran dewasa menggagalkan rencana baik saya. Kegiatan ini burukkah? Menurut saya? Tidak. Ketika mereka mengatakan kegiatan ini tidak matang, tidak terencana sehingga kekurangan dana. In that moment I dare say to them: "The idea on your head is riddiculous, say what you said to us - it sounds stupid. You did what you told us not to do. Ironic huh?" But it happened anyway.

Saya tidak akan menjelaskan masalahnya lebih jauh di sini karena menyangkut banyak pihak. Namun saya ingin menekankan terkait masalah ini, saya kecewa. Karena apa? Karena tujuan awal saya gagal. Saya gagal mengajak mereka berbuat lebih dari 'comfort zone' mereka sebagai sebuah tatanan kelompok sosial. Sedikit memberi perspektif untuk keluar dari eksklusivitas yang selalu menjadi masalah kaum minoritas dengan tambahan berbudaya 'orang tua jaman sekarang' seperti ini - saya hanya ingin mereka menyisihkan waktu mereka, memberikan sedikit perhatian yang tidak kami dapatkan. Tapi, pada akhirnya saya harus kecewa - reaksi mereka tidak sesuai dengan yang kami harapkan. Budaya apa ini? Entah. Saya belum mampu menamakannya. Satu hal yang jelas bahwa sebagai seorang pemimpin saya bicara keras dengan dasar yang jelas. Awalnya mungkin saya penuh emosi karena saya perempuan (dan saya tidak menyesali itu) karena emosi membuat kamu mampu merasa lebih dari laki-laki. Membuat saya sadar ada sesuatu yang salah dengan sistem ini...dan saya masih berusaha untuk mengubahnya perlahan. Asertif adalah pilihan, tapi perubahan itu mutlak. Sooner or later.

I'm just sharing. Don't take it too far. Thank you.

Comments

Popular Posts