Senja Pukul Lima

"Hidup itu lucu, Yuk. Kamu ndak akan selalu dapat apa yang benar-benar kamu inginkan," ucap Bapak ketika Gani memijat kaki laki-laki tua paruh baya itu. Senja itu, Bapak dan Gani duduk berdua menghabiskan waktu di kursi bambu di halaman depan rumah mereka.
---

            Umurnya hampir menginjak 60, namun memorinya layaknya remaja awal 20 tahun. Gani memperhatikan cerita Ayahnya dengan seksama sembari memangku kaki kirinya. Diperhatikannya permukaan kulit yang sudah meninggalkan tanda itu, laki-laki ini tidak lagi muda. Urat-urat di kakinya menunjukkan berapa jauh ia telah melangkah. Bekas luka di tulang kering, dengkul, dan tumitnya menandakan betapa kehidupan menggilas tubuhnya. Di antara begitu banyak detil pada kakinya, guratan di permukaan kulit kakinya jika diperhatikan lebih mendalam. Kulit yang berwarna coklat tua, bergelambir seperti baju lama yang longgar, dan kuku kaki yang beberapa menghilang dari tempatnya. Di balik ketangguhannya, Ayahnya menyimpan cerita yang Gani tak pernah sangka.
            Sudah sebulan ini, Gani selalu memijat kaki Ayahnya setiap sore. Didengarkannya keluh kesah pria tua ini akan penyesalan-penyesalan kehidupannya. Tak pernah Gani menyangka bahwa Ayahnya akan bercerita suatu hal yang mengejutkan seperti kecintaannya pada perempuan lain selain Ibunya.

            "Sulit, Yuk. Bapak itu orang sulit. Sekolah di sekolah biasa saja. Bukan di sekolahan anak-anak elit seperti yang di daerah Menteng sana. Sekolah Bapak itu memang di Jakarta. Tempat anak urban dari jaman dulu hingga kamu gini, Yuk. Bapak pulang pergi dari Bogor naik kereta ke Jakarta, Sementara  teman-teman Bapak datang ke sekolah dengan motor terbaru seperti Honda CB, DKW 50, SS 50 atau VM2 125. Bapak nongkrong-nya dulu di Pasar Senen, bacain buku-buku bekas, duduk main gitar sama anak-anak daerah sana. Dulu ada namanya Pak Asep, dia selalu traktir Bapak makan setiap kali Bapak ke sana. Mungkin beliau sudah mangkat sekarang. Gitu, Yuk. Mana bisa Bapak lakuin seperti yang kamu lakuin sekarang," Bapak menuturkan cerita ini lagi berulang kali dengan berapi-api.
            "Yah sudah lah, Pak. Sudah berlalu. Ndak usah dikenang kalau bawa yang pahit-pahit. Nanti Bapak banyak pikiran, lalu stress. Ndak baik, Pak,"

            Waktu sore itu berjalan dengan sangat lambat. Dari kejauhan terdengar suara gamelan Jawa. Mungkin sedang ada pertunjukkan di Rumah Budaya yang jaraknya hanya sekitar dua blok dari rumah Gani. Kadang, ia mensyukuri tinggal jauh dari kota dan berada di lingkungan pedesaan. Jarak ke tempat kerja memang selalu jadi masalah, namun momen seperti ini mengobati semuanya. Suara gamelan Jawa itu semakin nyaring, menggaung, dan membuat Bapak menghela satu helaan napas panjang sebelum ia melanjutkan lagi percakapannya dengan Gani.

            "Gani."
            "Nggih, Pak."
            "Bapak ndak akan hidup lama. Bapak sudah lihat kamu dari perut Ibumu, kamu menangis tak berdaya, kamu berjalan, hari pertamamu sekolah hingga lulus dengan seragam yang dicorat-coret, masuk perguruan tinggi dan diwisuda, kerja kesana-sini, dan ceritamu tentang negara tetangga yang gono-gini. Dari semuanya, Bapak ingin sekali tahu kapan kamu mau menikah, Yuk?"
            "Pak, kita sudah berjanji ndak bahas soal ini. Masih banyak yang harus saya raih."
            "Mau raih apalagi kamu toh, Yuk?"
            "Sekolah, Pak."
            "Masih mau sekolah lagi kamu?"
            "Nggih, Pak."
            "Nanti Ibumu criwis. Sekolah tinggi-tinggi nanti laki-laki ndak ada yang mau sama kamu. Terlalu banyak pertimbangan. Kamu kuat menghadapi itu, Yuk?"
            "Dulu waktu Gani kecil, Bapak selalu bilang. Gani bisa jadi apa saja yang Gani mau. Gani mau sekolah lagi, Pak. Gani mau tinggal di tempat seperti ini, lalu menghabiskan sore sama Bapak. Gani mau tidak terikat, jadi pengabdian Gani buat orang lain bisa lebih maksimal," tutur Gani.
            "Kamu bisa bohongi orang lain, tapi kamu ndak boleh bohongi Bapak. Apa alasanmu ndak mau nikah, Yuk? Cerita sama Bapak," Bapak melembutkan suaranya dan memandang mata Gani dengan sinar mata yang lemah. Ia tahu ada yang disimpan anak perempuannya. Bapak diam menunggu jawaban Gani. Gani tetap terdiam. Ia menyadari bahwa Bapaknya betul tahu perasaannya. Gani mulai tidak suka arah percakapan ini.

            "Bilang Bapak. Siapa laki-laki itu?" Bapak bertanya dengan nada halus.
            "Laki-laki apa toh, Pak?" Gani berusaha mengelak dari bahasan ini.
            "Laki-laki yang membuat kamu menolak laki-laki setelah dia, sehingga kamu ndak mau nikah. Kamu takut ndak cinta sama calon bojomu toh? Bapak tahu kamu. Bapak tahu persis," Bapak bicara seakan menghakimi Gani. Nadanya yang halus justru terasa menyakitkan karena kata-kata itu keluar dari mulut Bapaknya. Gani menyerah.

            "Ndak ada, Pak. Gani memang tidak ingin menikah."
            "Lha? Kenapa?"
            "Belum menemukan yang tepat saja, Pak."
            "Belum atau sudah kamu lewatkan?"
            "Ndak tahu, Pak. Gani ndak mikir banyak soal itu."

            Bapak tertawa keras mendengarkan reaksi Gani barusan. Ia menyadari bahwa kesalahannya adalah mengajarkan Gani terlalu banyak hal, sehingga gadis kecilnya ini terlalu banyak mempertimbangkan setiap hal.

            "Bapak ndak tahu apakah ini hal yang bijak untuk dilakukan apabila Bapak bercerita tentang ini. Namun, di hati kecil Bapak, kamu perlu tahu."
            "Sudah toh, Pak. Ndak baik bahas yang lalu-lalu," Gani mencoba menghentikan percakapan ini namun Bapak seakan tidak menggubris tanda dari anak sematawayangnya itu.

            "Bapak tidak mencintai Ibumu, Yuk."

            Ketika mendengar hal itu, ada perasaan yang salah, menggelora di hati Gani. Ia cemburu. Ia marah. Ia kecewa pada Bapaknya. Ia tidak pernah menyangka Bapaknya mengakui hal itu setelah 35 tahun usia pernikahannya.

            "Bapak jangan ngelanthur," Gani sudah mulai menaikkan nada bicaranya.
            "Bapak tahu kamu akan marah sama Bapak. Marahlah pada Bapak, Yuk. Ndak apa. Asal jangan kamu melakukan kesalahan sama seperti yang Bapak lakukan."

            Gani terdiam. Diam-diam ia juga dapat merasakan kesedihan Bapaknya. Sinar mata tidak pernah menipu. Pandangan kosong Bapak menyiratkan penyesalan terdalamnya. Kesedihan ketika kita tidak menghabiskan waktu bersama orang yang benar-benar kita inginkan ada di dalam hidup kita.

            "Bapak menikahi Ibumu setelah kenal hanya sebulan saja."
            "Kenapa Bapak nikahi kalau begitu?"
            "Karena Bapak harus menikah, Yuk."
            "Siapa yang paksa Bapak menikah?"
            "Pekerjaan, Yuk."
            "Bapak tidak boleh menyalahkan pekerjaan Bapak. Bapak sudah memilih untuk menikahi Ibu, sudah seharusnya Bapak setia pada Ibu."
            "Bapak setia, Yuk."
            "Tidak. Bapak tidak setia. Hati Bapak mengkhianati Ibu. Bapak sudah tidak adil dari pikiran. Bagaimana bisa Bapak bilang kalau Bapak setia?" emosi Gani meluap-luap. Bapak tidak menggubris emosi anaknya itu, ia tetap melanjutkan ceritanya.

            "Bapak dulu masih muda, Yuk. Hati dan harapan Bapak hancur. Ketika itu Bapak dua atau tiga tahun lebih muda dari umurmu sekarang."
            "Gani ndak mengerti ke mana arah percakapan ini, Pak."
            "Kamu ndak usah mengerti. Bapak hanya mau kamu mendengarkan. Bapak dulu hampir memutuskan masuk Seminari setelah patah hati."
            "Lalu, Bapak membenarkan diri karena Bapak patah hati? Bapak melarikan diri ke Seminari?"
            "Bukan begitu, Yuk. Bapak ndak membenarkan diri. Bapak tahu kesalahan Bapak. Perempuan yang Bapak cintai menolak Bapak karena Bapak dulu ndak punya apa-apa, Yuk. Bisa apa Bapak, Yuk? Setelah itu, Ibumu datang. Bapak ndak punya pilihan lain. Ibumu tahu dan ia bersetuju."
            "Ibu tahu, Pak? Ibu bersetuju?" Gani terkejut mendengar perkataan Bapaknya.
            "Iya, Ibumu tahu."
            "Lalu, Ibu bersedia menikahi Bapak?"
            "Iya, Yuk. Ibu berkata bahwa kita tidak pernah mampu mengontrol kepada siapa kita akan jatuh cinta. Namun, komitmen itu pilihan. Itu yang Bapak hargai betul dari Ibumu."
            Gani terdiam. Ia terdiam melihat Bapaknya. Pria tua itu menangis. Ia benar-benar mencintai perempuan itu. Perempuan yang bukan Ibunya. Baru kulihat tatapan mata Bapak sebiru ini. Tak pernah disangkanya juga bahwa Ibunya tahu selama ini. Ingin rasanya ia memeluk perempuan yang melahirkannya itu.

            "Kemarin Bapak dapat telepon dari Solo. Perempuan yang Bapak cintai baru saja meninggal dunia, Yuk. Perempuan itu. Namanya Puspa," tutur Bapak.
            "Ibu Puspa?"
            "Iya," ucap Bapak lemah.
            "Bapak sudah melayat ke makam Ibu Puspa?" Gani mencoba bertanya demi norma kesopanan, walaupun dia muak mendengar nama perempuan ini.
            "Belum, Yuk. Bapak tak sampai hati pada Ibumu," balas Bapak.
            "Ibu pasti mengerti," Gani menghibur.
            "Perempuan pasti mengerti, tapi Bapak tidak mau menyakiti Ibumu lebih jauh lagi. 35 tahun hidup dengan laki-laki yang mencintai perempuan lain sudah cukup menyiksa untuk Ibumu dan Bapak merasa berdosa telah melakukannya pada perempuan sebaik itu," ucap Bapak.
            "Bapak mau bercerita soal Ibu Puspa?" tanya Gani pelan.
            "Apa yang ingin kamu tahu?"
            "Perempuan seperti apa yang membuat Bapak gagal untuk ikhlas padahal ia menolak Bapak karena sesuatu hal yang bodoh?" tanya Gani.
            "Kamu tidak mampu mengontrol perasaan, Yuk. Bapak mencintainya karena ia adalah satu-satunya perempuan yang awalnya rela bersama Bapak dengan apa yang Bapak punya. Bapak pikir dia berbeda, tapi akhirnya ia menolak Bapak berdasarkan sesuatu yang Bapak tidak punya. Dipikir-pikir, segala sesuatu ada hikmahnya. Kalau tidak begini, Bapak tidak bekerja keras mendapatkan apa yang Bapak dapatkan sekarang ini. Terlebih lagi, Bapak ndak akan dapat anak sehebat kamu," tutur Bapak.

            Gani benar-benar tak punya suara membalas kalimat Bapak. Pikirannya bertumpuk-tumpuk hingga suaranya pun bergetar. Bapak menangis. Gani dapat melihat air mata di sudut kelopak kiri mata Bapaknya.

            "Sudah, sudah, sudah pijatnya. Gani tahu betul kenapa Bapak cerita ini. Ikhlaskan, Yuk. Kamu ndak akan pernah mendapatkan apa yang betul-betul kamu inginkan. Gusti Yesus mau mengajarkan untuk bersyukur dan ikhlas. Baik-baik ya kamu, Yuk," ucap Bapak sambil melengang pergi.
            "Tapi, Pak..."
            "Sudah, sudah, Bapak mengantuk," sela Bapak.
            "Pak..."
            "Bapak hanya mau memberitahu bahwa kalau Gani cinta, semua pasti ada jalannya. Jangan kita menikahi orang yang tidak kita cintai," Bapak menengok pada Gani ketika mengatakan wejangan terakhirnya ini.
            Bapak meninggalkan Gani sendirian di kursi bambu halaman rumahnya. Bapak meninggalkan Gani yang meratapi pikirannya. Bapak memutuskan untuk pergi tidur. Bapak masuk ke kamarnya.

            Keesokan harinya, Bapak tidak bangun lagi. Bapak memilih tidur untuk selamanya. Ia menyerah dengan penyakit jantungnya. Ia tersungkur di lantai sebelah tempat tidur. Bapak memilih menyusul Ibu Puspa di sana.

--- 

Comments

Popular Posts