Tukang Sapu

            "Selamat pagi, bu."
            "Pagi, neng."
            "Tumben hari ini datangnya agak siang?"
            "Iya, neng. Anak ibu sakit, jadi ibu harus mengantarkannya ke puskesmas pagi ini," ucap ibu tua itu melengos.

            Ibu Yanti adalah tukang kebun yang bertugas di komplek perumahannya. Danti mengenalnya sekitar setahun lalu. Majalah dinding sekolah meminta Danti untuk mewawancarai orang. Pilihannya adalah tukang kebun, tukang parkir atau pekerja seks komersial. Setelah berpikir matang, Danti menjatuhkan pilihannya pada tukang kebun. Ia berkata bahwa pekerjaan sebagai tukang kebun perlu dicari sisi menariknya. Tidak banyak orang menganggap pekerjaan itu menarik. Dengan alasan itulah, Danti membuat keputusan untuk menulis tentang pekerjaan itu.
            Siang di bulan April, Depok sedang panas-panasnya. Sulit untuk mencari tukang kebun yang bekerja ketika jam makan siang. Banyak kumpulan ibu-ibu yang berteduh di bawah pohon sambil menikmati nasi bungkus dengan lahap. Perhatian Danti terfokus pada satu perempuan berusia 40-an. Ia masih bertarung di antara panasnya kota Depok, peluh membasahi baju dan bulir-bulir keringan menetes dari pelipis, mengalir ke pipi,  kemudian jatuh ke kerahnya. Danti bukanlah orang yang pandai untuk memulai percakapan dengan orang baru apalagi seorang ibu tua yang profesinya adalah tukang kebun. Ia ragu. Ia takut. Namun, ia tak punya pilihan lain. Sesaat itu pula, kaki Danti otomatis menghampiri perempuan itu.
            "Punten, Bu."
            Sang ibu masih terdiam. Tidak bergerak. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya. Danti tidak terbiasa menerima penolakan. Ketika sang ibu tak membalas sapaannya, matanya langsung bergerak mencari narasumber lain. Ketika mata Danti sibuk melanglang buana, ibu tua itu pun berdiri. Danti terkejut. Ia memutuskan menyapanya lagi dengan suara lebih keras.
            "Punten, Bu."
            "Astagfirullahalazim. Neng ngagetin ibu saja. Ngapain neng berdiri di situ," tanya ibu tua itu.
            "Ibu nggak dengar saya panggil?"
            "Kenapa, neng? Maaf neng, pendengaran ibu agak terganggu. Neng harus ngomong lebih kenceng. Ibu nggak bisa dengar," kata ibu tua itu dengan suara tinggi.
            Pantas ibu ini tidak bereaksi ketika dipanggil pertama kali, begitu pikir Danti. Danti tersenyum ramah pada perempuan itu.
            "Nggak makan siang, bu?"
            "Nanti saja, neng. Neng kenapa berdiri di sini panas-panas gini? Nanti hitam loh neng, nggak cantik lagi," tutur perempuan itu balik tersenyum pada Danti.
            "Gini, bu. Saya ada tugas sekolah untuk wawancara orang. Saya boleh wawancara ibu?" tanya Danti sopan.
            Ibu tua ini tertawa tak habis-habisnya. Setelah melihat mimik serius pada muka Danti, tawanya berhenti. Air mukanya menjadi serius dan heran.
            "Ngapain neng wawancara ibu? Ibu mah bukan artis."
            "Buat tugas sekolah, bu. Saya diminta untuk wawancara orang dengan pekerjaan yang tidak dipikirkan oleh orang lain."
            "Oh, begitu. Boleh atuh neng. Mari duduk di tempat agak teduh, kasihan neng nanti kepanasan," ucap sang ibu mempersilahkan Danti untuk berjalan di depan. Tibalah mereka di dekat pohon Maja rindang. Sang ibu duduk di rumput, kemudian mempersilahkan Danti duduk.
            "Neng, nggak apa-apa kan duduk di rumput? Nanti gatal trus alergi lagi kulitnya?" tanya ibu tua itu.
            "Nggak apa-apa, bu."
            "Ibu ambilkan bangku ya? Di pos satpam situ biasanya ada bangku," ibu itu menunjuk pos satpam yang 500 meter jauhnya.
            "Jangan, bu. Nggak usah repot-repot. Saya duduk di sini saja sama ibu biar lebih enak ngobrolnya. Nama saya Danti, bu. Maaf, nama ibu siapa?"
            "Nama saya Yanti," kata ibu tua itu.
            "Berapa sekarang umur ibu?"
            "Duh neng, ibu nggak pernah ngitung umur ibu. Umur kamu berapa?"
            "Umur saya, bu? Saya 19 tahun."
            "Muda sekali. Sudah muda, cantik, dan baik, pasti sudah menikah ya?"
            "Belum, bu. Saya masih sekolah."
            "Woalah. Sebesar neng, dulu anak ibu sudah satu."
            Danti tertawa menghadapi jawaban ibu Yanti. Reaksi ini sudah biasa bagi kebanyakan perempuan yang hidup di pedesaan. Mereka rata-rata menikah muda karena paksaan orang tua yang sudah tidak mampu lagi menghidupi mereka. Menikah dan menjadi ibu seperti menjadi tujuan hidup.
            "Jadi, ibu sekarang umur berapa?" tanya Danti lagi.
            "Kalau neng umurnya 19 tahun, mungkin ibu sudah 90 tahunan ya? Atau 100 tahun."
            "Mana mungkin, bu!" sela Danti sambil tertawa. Ibu ini sepertinya melantur, pikirnya.
            "Habis ibu seperti sudah hidup lama sekali, nak. Ibu tidak tahu umur ibu berapa tahun. Tidak ada yang pernah menanyakan hal itu pada ibu, baru neng saja," keluh ibu Yanti dengan muka memelas.
            "Saya rasa umur ibu sekitar 60 tahunan. Mungkin. Saya bisa saja salah," ucap Danti.
            "Iya. Mungkin saja ya, neng."
            "Lalu, sudah berapa lama ibu jadi tukang sapu di daerah sekitar sini?"
            "Sudah lama sekali, nak. Semenjak suami ibu meninggal 25 tahun yang lalu. Ibu bekerja jadi tukang sapu."
            "Ibu punya anak?"
            "Punya, neng. Dua orang laki-laki. Anak laki-laki ibu yang kedua mungkin seumuran sama neng."
            "Masih tinggal sama ibu?"
            "Anak pertama ibu sudah menikah, yang kedua masih tinggal sama ibu."
            "Oh gitu, bu. Saya mulai ya wawancaranya. Maaf ya, bu. Saya baru pertama kali, jadi kalau pertanyaan saya tidak sopan menurut ibu. Saya mohon maaf."
            "Iya, neng. Nggak masalah. Tanya saja hal yang mau neng tahu soal ibu."
            "Dulu pertama kali memutuskan untuk jadi tukang sapu atas alasan apa, bu?" tanya Danti.
            "Maksud neng?"
            "Iya, bu. Maksud saya, kenapa ibu jadi tukang sapu?"
            "Ya, karena nggak ada pekerjaan lain yang ibu bisa. Kebetulan tetangga ibu jadi tukang sapu. Dia bilang ada pekerjaan sama seperti pekerjaannya. Ibu ambil saja, lagipula ibu butuh uang untuk kasih makan anak-anak."
            "Uangnya cukup, bu? Untuk makan dan sekolah anak-anak?"
            "Alhamdulilah cukup, neng. Buat makan sehari-hari dan sekolah si sulung. Rejeki dari Allah nggak kemana-mana. Kadang-kadang suka ada saja yang ngasih makanan atau uang lebih untuk ibu," jelas Ibu Yanti panjang lebar.
            "Jadi, ibu jadi tukang sapu karena kebetulan diajak tetangga ibu?"
            "Iya, neng."
            "Ibu pernah punya cita-cita?"
            "Cita-cita itu apa, neng?"
            "Mimpi, bu. Maksud saya, apakah ibu pernah punya sesuatu yang ibu inginkan?"
            "Nggak ada, neng. Bisa makan tiap hari sudah bersyukur. Mimpi ibu mah liat anak-anak bahagia, bisa makan dan tidur tenang, dan pada rajin sholat. Itu cukup, neng."
            "Tapi, hal yang paling ibu inginkan itu apa?"
            Ibu Yanti nampak berpikir lama untuk menjawab pertanyaan ini. Pandangan matanya kosong. Beberapa menit kemudian, ia menatap Danti dan melengos. Bebannya dikerahkan pada hembusan nafas itu.
            "Yang paling ibu inginkan ya, neng? Ibu ingin bapak, neng. Kangen sama bapak. Biasanya dulu kalau sore, bapak suka berdiri di depan rumah. Lalu, manggi ibu, minta tolong dibuatkan kopi hitam pekat."
            Jawaban Ibu Yanti membuat Danti tak bergerak. Ia mematung karena ia tidak tahu harus merespon apa.
            "Duh, maaf ya neng. Ibu jadi terbawa perasaan kangen ke bapak," kata Ibu Yanti memijat kakinya perlahan. Danti tersontak. Untuk mencairkan kekakuannya, ia mengeluarkan roti yang dibawanya sedari tadi.
            "Bu, ini saya ada roti. Silahkan dinikmati, bu. Jadi, ngobrolnya enak sambil makan roti," ucap Danti.
            "Terima kasih, neng."
            "Selama ini bekerja, ada cerita apa bu?"
            "Cerita apa ya neng? Duh, si neng ini pertanyaannya susah-susah sekali. Ibu nggak pernah ditanyain beginian. Cerita mah nggak ada neng. Semuanya ya seperti biasa saja," Ibu Yanti tertawa kebingungan. Ia merasa tidak enak karena tidak bisa menjawab pertanyaan Danti. Perempuan muda ini langsung mengambil alih percakapan lagi. Ia tahu bahwa ia telah salah langkah dengan mengajukan pertanyaan umum.
            "Ibu bilang anak yang kedua seumuran saya ya, bu?"
            "Iya, neng."
            "Sekolah dimana?"
            "Nggak sekolah, neng. Dia kerja bangunan. Ikut adik saya."
            Tampang Danti tidak kuasa menahan muka herannya. Ia ingin sekali bertanya alasan anaknya tidak bekerja. Ia merasa bahwa anak seumurannya belum pantas untuk bekerja. Sekolah adalah tempat mereka berada, tapi Danti menahan reaksi itu. Ia melanjutkan tugas wawancaranya.
            "Sudah berapa lama anak ibu kerja sebagai tukang bangunan?"
            "Baru dua tahun, neng. Semenjak dia lulus SMP. Katanya nggak mau sekolah lagi. Mau bantu ibu saja untuk cari uang buat makan."
            "Ibu sendiri, lebih ingin anak ibu sekolah atau bekerja?" tanya Danti.
            "Bekerja sajalah, neng. Sekolah juga rasa-rasanya nggak membantu anak Ibu untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik. Ujung-ujungnya, dia kerja di pabrik. Sama saja. Sekarang, tukang bangunan gajinya nggak jauh beda sama buruh pabrik. Nabung beberapa tahun, nanti bisa beli motor trus ngojek. Dulu anak pertama ibu kerja di pabrik. Susah neng sekarang kerja di pabrik. Orang-orang mulutnya jahat sekali. Anak ibu dituduh macam-macam lalu dipecat."
            "Dituduh macam-macam bagaimana maksud ibu?"
            "Dituduh berbuat tidak senonoh pada pegawai perempuan. Perempuannya ngadu ke bosnya. Dipecatlah anak ibu."
            "Tidak senonoh bagaimana, bu?"
            "Iya, katanya pegang-pegang pantat."
            "Tapi, itu semua bohong kan bu?"
            "Iya, neng. Pacarnya si perempuan ini kesal sama anak ibu karena pernah diadukan nipu-nipu absen kantor."
            "Astaga. Kenapa bisa sejahat itu, bu?"
            "Namanya juga orang, neng. Ada saja pikiran dan perbuatannya."
            "Lalu, sekarang anak ibu bekerja apa?"
            "Dia pindah ke luar kota, ikut istrinya, sekarang jadi petani di sawah warisan keluarga istrinya. Sekali-kali, ia suka kirim uang buat ibu kalau memang ada lebih."
            "Kembali soal pekerjaan ibu. Sebagai tukang sapu, ibu bisa dapat penghasilan berapa per bulannya?"
            "Alhamdulilah ya, neng. Kalau dulu ibu bisa dapat Rp 200.000,- per bulan. Sekarang, bisa dapat sampai Rp 450.000,-"
            "Berarti sekitar Rp 15.000,- per harinya sekarang ya, bu?"
            "Ya, begitulah neng. Ibu nggak pandai berhitung. Dapat segitu ya syukuri saja."
            "Ibu kerja dari jam berapa sampai jam berapa?"
            "Biasanya dari jam sembilan pagi sampai jam empat sore, neng."
            "Kalau tidak biasanya bagaimana?"
            "Bisa dari jam tujuh pagi sampai jam enam sore, neng. Itu juga setiap hari. Tapi, setelah lima tahun ini ada pergantian. Ibu nggak harus bekerja selama itu."
            "Jadi, sekarang ibu hanya bekerja setengah hari?"
            "Iya, neng."
            "Bayarannya berkurang dong, bu?"
            "Nggak, neng. Ibu juga awalnya berpikir demikian. Tapi, ternyata uangnya justru naik. Ibu juga bingung."
            "Kok bisa begitu, bu?"
            "Waktu itu ada tukang sapu marah-marah. Dia mengompori yang lain untuk minta naik gaji. Ributlah neng waktu itu sama orang yang di atas-atas. Ibu ngeliatin saja. Setelah itu, ya, beginilah neng. Alhamdulilah juga sih ibu," ucap Ibu Yanti tersenyum.
            "Lalu, kenapa ibu nggak gabung sama tukang sapu yang lain kalau jam istirahat begini?"
            "Gabung kok, neng. Kebetulan ini sedang banyak kerjaan saja. Ibu lebih suka kerjaan selesai baru gabung dan ngobrol. Kalau setengah-setengah nanti kerjaan ibu nggak beres."
            "Oh, gitu bu."
            "Iya, neng."
            "Jadi, ibu kerjaannya nyabutin rumput kering trus menyapu sampai bersih ya?"
            "Betul, neng."
            "Suka sebal nggak bu kalau lihat orang suka buang sampah sembarangan dari mobil atau motor?" tanya Danti penasaran.
            "Nggak, neng. Dulu waktu baru kerja, ibu sebal sekali sampai pernah ngedumel sendiri. Sekarang, ibu diam saja. Ibu angkat sampahnya. Toh ibu bekerja untuk itu. Ibu dibayar untuk bersihin sampah-sampah yang dibuang ke jalan."
            "Tapi, orang-orang itu kan buang sampah bukan pada tempatnya?"
            "Itu urusan mereka lah, neng. Mereka milih buang ke jalan. Ibu dibayar buat bersihin jalanan. Ya, sudah."
            Ucapan Ibu Yanti ini membuat Danti berpikir lagi. Selama ini, ia selalu mengira bahwa setiap tukang sapu jalanan akan menyumpahi setiap pengendara roda dua ataupun empat yang membuang sampah sembarangan, tapi tidak dengan Ibu Yanti. Ia memilih tidak memikirkannya lebih jauh. Ia hanya fokus pada tugasnya saja untuk membuat jalan tetap bersih tak peduli orang akan membuang sampah di jalanan terus atau tidak.
            "Neng, maaf sekali. Jam istirahat ibu sudah mau habis. Ibu harus kembali bekerja. Neng masih ada yang mau ditanyain?"
            "Tapi, ibu kan belum makan?"
            "Tadi kan sudah makan roti dari neng."
            "Itu kan hanya roti, bu."
            "Iya, itu sudah makan kan neng. Irit uang neng, lagipula ibu nggak lapar banget."
            Danti mematung lagi untuk kesekiankalinya. Ia tak pernah mendengar orang yang tak makan untuk mengirit uang. Setidaknya, tidak pernah selama 19 hidupnya di mana keadaan sekelilingnya selalu berada pada kondisi cukup. Danti mencoba menahan pilunya dengan mengajukan satu pertanyaan lagi.
            "Satu pertanyaan lagi ya, bu? Saya penasaran sekali mengapa ibu buru-buru harus bekerja. Maksud saya, ibu masih bisa istirahat lebih lama toh teman-teman ibu yang lain juga masih duduk."
            Ibu Yanti berdiri dan membersihkan rok panjangnya dari rumput-rumput kering yang menempel. Ia merapihkan peralatannya untuk bekerja.
            "Yah, neng. Ibu kan harus bekerja. Masa bekerja saja ibu harus repot mikirin teman-teman ibu kok masih istirahat. Mereka masih lelah mungkin. Bisa jadi juga, ibu yang lebih dulu istirahat. Pokoknya mah, ibu kerja saja, dapat uang, dibelikan makanan, dan ditabung. Lain-lainnya biar Allah saja yang mikirin. Ibu mah doa saja, neng."
            Danti tidak mengerti. Kepalanya berputar tentang artikel yang harus ditulisnya. Ia tidak menemukan sesuatu hal yang menarik untuk dituliskan. Ralat. Ia tidak menemukan hal  yang mungkin dianggap menarik oleh pembacanya. Cerita Ibu Yanti menarik untuknya, tapi belum tentu cerita ini akan menarik bagi orang lain. Danti mengucapkan salam perpisahan pada Ibu Yanti sambil berpikir. Ia berjalan menjauh dari ibu tukang sapu itu. Kemudian, ia berhenti. Ia berdiri diam dan menoleh ke ibu Yanti. Ibu tua itu mengayunkan tangannya mengucapkan selamat jalan pada Danti. Danti tersenyum dan kembali berjalan ke ibu Yanti.
            "Bu, ini ada rejeki. Bukan apa-apa, tapi semoga nanti bisa buat beli makan malam buat ibu dan anak ibu."
            "Woalah, neng. Nggak usah repot-repot."
            "Nggak boleh ditolak kalau rejeki, bu."
            "Iya, ya, neng. Syukur alhamdulilah ya, neng. Terima kasih banyak. Semoga yang baik-baik ya buat, neng."
            "Sama-sama, bu. Saya yang terima kasih ke ibu sudah boleh diganggu waktu makan siangnya."
            "Nggak apa-apa toh, neng. Ibu juga senang."
            "Mari, bu."
            "Ya, neng. hati-hati."

            Beberapa minggu kemudian, mading sekolah ramai. Orang-orang berkumpul untuk membaca satu artikel pendek yang ditulis Danti soal tukang sapu. Ia menuliskannya dengan sederhana. Begini isinya:

            Saya ragu apabila tulisan ini mampu menggerakkan hati pembaca sama seperti hal tersebut menggerakkan hati saya. Hal sesederhana menjadi tukang sapu tidak pernah masuk dalam daftar cita-cita kita bersama. Kita memilih menjadi sesuatu untuk dibanggakan seperti guru, pilot, tentara atau presiden sekalipun. Sementara, tukang sapu adalah tukang sapu. Bukan untuk dibanggakan. Realita membentuknya. Ia belajar lebih dari seorang guru yang duduk di depan kelas dan meminta muridnya mengerjakan 50 soal latihan. Guru yang tidak mempersiapkan bahan materi. Hanya berdiri di depan papan tulis tanpa ide baru yang mampu disalurkannya ke murid-murid. Mungkin sebenarnya ia lupa bahan ajarnya sendiri.
            Tukang sapu adalah tukang sapu dengan kehidupan seadanya, ia memberikan segala yang ia punya dan bisa. Sementara, pilot, tentara atau presiden memberikan sebagian dari keseluruhan yang dipunyainya. Talenta yang tersia ada justru pada orang-orang yang seharusnya berkewajiban lebih untuk 'memberi'. Tukang sapu adalah tukang sapu. Namanya Ibu Yanti. Ia mengajarkan bahwa ide edisi ini untuk membahas mengenai pekerjaan yang tidak diinginkan adalah bodoh. Masa depan adalah realita. Kenyataan yang membuat kita lupa menikmati kata 'sekarang'. Tidak ada hal semacam pekerjaan yang diinginkan atau tidak diinginkan. Semua pekerjaan mengarahkan kita pada sesuatu yang harus kita lakukan.
            Tukang sapu adalah tukang sapu. Ia bersyukur menjadi tukang sapu. Ia mengingatkan juga bahwa ada yang lebih penting daripada cerita dikhianati teman sendiri, mempertanyakan kesetiaan teman, dibohongi pacar, dan pergumulan kehidupan lainnya. Ada masalah lebih penting dari mengasihani diri sendiri kemudian berkelompok mengasihani diri secara massal. Atau yang lebih parah, berkumpul lalu mengasihani orang lain supaya membuat diri kita masing-masing lebih baik.
            Tukang sapu adalah tukang sapu. Apa yang menarik dari pekerjaan menjadi tukang sapu? Saya akan menjawab dengan pertanyaan: "Siapa kamu boleh menilai menarik dan tidak menariknya jadi tukang sapu?"

            Danti berdiri dari kejauhan memperhatikan gerombolan orang memenuhi mading. Ia tahu bahwa mereka berkumpul karena gosip yang mengatakan Danti menghina teknik mengajar guru di sekolah mereka, namun yang mereka temukan hanya seonggok artikel pendek biasa.

            "Oh, jadi gitu aja tulisannya."
            "Danti bisa nulis nggak sih?"
            "Ah, ngehina guru darimana? Itu sih biasa saja."
            "Kok pendek banget artikelnya? Pasti dikerjain H-1 deh."
            "Artikelnya nggak mendalam. Tulisannya kok segitu saja?"
            "Bagus tapi ngambang. Nggak jelas."
            "Gila ya Danti. Dia ngatain temen-temennya sendiri tukang gosip apa gimana?"
            "Ckck..."

            Jam istirahat habis. Bel berdentang dan bisikan-bisikan yang tertinggal di lorong kelas yang dapat didengar Danti membuatnya tersenyum setengah mati. Lenguhan-lenguhan itulah yang Danti nantikan. Itulah hidup.


Comments

Popular Posts