Hal yang Tersisa dari Memori 'ARIAH'



Konsep dan eksekusi sempurna menjadikan pementasan musikal tari Ariah adalah bukti eksplorasi produk budaya populer Indonesia.
Oleh: Jessy Ismoyo. Foto: Dok. Ariah.

Pementasan tari musikal Ariah pada ulang tahun Jakarta ke-486 ibarat kata adalah penanda waktu adanya peletup rasa keingintahuan generasi muda akan budaya Jakarta. Anggaplah ada ribuan pasang mata yang menjadi saksi bagaimana pentas musikal tari Ariah dihadirkan di panggung yang notabene terbesar di Indonesia, di area selatan lapangan Monumen Nasional (Monas), pada tanggal 28-30 Juni kemarin. Penonton begitu dimanjakan baik dari segi audio maupun visual selama dua jam. Mungkin ini adalah hadiah paling indah pada ulang tahun Jakarta yang diberikan Gubernur DKI Jakarta. Seribu orang yang menjadi saksi sejarah bagaimana Atilah Soeryadjaya selaku sutradara, penulis naskah, dan penulis lirik lagu memukau dengan narasi ceritanya sepanjang 14 babak. Atilah harus melakukan observasi cukup singkat selama lima bulan. Diawali dengan mengumpulkan informasi dari beberapa narasumber Betawi seperti Ridwan Saidi dan Rachmat Ruchiat, sampai visualisasi akhir yang memakan waktu sekitar lima bulan. Let's say Ariah proves that Jakarta has a rich culture and a long history.

Tidak banyak orang yang mengetahui cerita kepahlawanan Ariah untuk melawan penindasan, kesemena-menaan terhadap kaumnya baik dilakukan oleh bangsa lain atau oleh bangsanya sendiri. Kisahan mengenai Ariah adalah legenda Betawi di tahun 1860-an. Ariah adalah seorang perempuan asal Betawi yang hidup bersama saudara perempuan dan Ibunya, Mak Emper. Ariah berasal dari keluarga tak berada yang kemudian harus menumpang tinggal di kediaman Tuan Mandor. Kecantikkan Ariah membuatnya ingin diperistri oleh Tuan Mandor. Namun, Ariah menolak untuk diperistri karena ia jatuh cinta pada Juki saat belajar silat di padepokan. Penolakan Ariah pada laki-laki bernama Oey Tambahsia mengantarkannya pada pertarungan yang kemudian membunuhnya. Kemudian, jenazah Ariah dibuang di daerah Ancol. So, now you know. Itulah asal mula legenda Si Manis Jembatan Ancol

Tidak hanya dilihat dari narasi cerita untuk menilik kesempurnaan Ariah, tata panggung, tata cahaya, akting pemain, dan tata musik punya andil yang sama besarnya menjadikan pertunjukkan ini sempurna. Jay Subiakto selaku penata artistik membuat tiga level ketinggian (3, 7, dan 10 meter) panggung miring dengan sudut 15-35 derajat dengan lebar total 72 meter. Tata cahaya dari berbagai sisi panggung, tembakan cahaya saling melaju hingga menembus Monas dan terpatri di langit Jakarta membuat pertunjukkan ini sekelas dengan pertunjukkan internasional. Kesempurnaan pertunjukkan ini juga ditambah dengan video-mapping yang tidak hanya berkisar pada tiga level panggung, tapi juga hingga mencapai Monas. Jay terlihat memaksimalkan penggunaan Monas sebagai lokasi pertunjukkan ini. "Tidak sulit bekerja dengan Jay. Kami seperti sudah saling mengerti satu sama lain, seperti bekerja melalui telepati. Ini sangat mempersingkat waktu kami," ujar Atilah. Sementara itu, Jay menjelaskan bahwa perbedaan ketinggian panggung adalah simbolisasi dari tiga tingkatan Monas yang terdiri dari cawan, tugu, dan emas.

Perihal penari, pertunjukkan Ariah mengerahkan 200 penari dari berbagai tempat dari Jakarta, Solo, hingga Papua. Seleksi penari didasarkan atas kemampuan menari dan adaptasi seni tari Betawi. Eko Supendi dan Wiwiek Sipala harus menuntun penari-penari ini untuk berlatih dengan panggung yang rumit dan membuat mereka terinspirasi dari setiap gerakan tarian Betawi. Untuk musik, orkestra Erwin Gutawa mengikutsertakan 120 musisi yang menghasilkan harmonisasi yang membuat bulu kuduk merinding ketika dipadukan dengan visualisasi cahaya dan sudut panggung dari sebuah pertunjukkan di tempat paling historis di Jakarta. Standing applause harus diberikan pada pemeran Ariah, Ida Sunaryono, yang memerankan Ariah selama tiga hari berturut-turut tanpa pemeran pengganti. Ada satu adegan dalam pertunjukkan ini di mana Ariah dapat muncul dari satu sudut panggung ke sudut panggung lainnya dalam waktu singkat. Saat pertanyaan itu diajukan, Atilah mengaku bahwa ada beberapa kali pada adegan tersebut memang Ida menggunakan pemeran pengganti. Kesulitan terkadang dihadapi adalah waktu yang sempit dan budaya Betawi yang tidak familiar, situasi panggung yang sulit juga menjadi tantangan sendiri, namun itu semua dapat diselesaikan dengan baik.

Ariah meninggalkan kesan mendalam bahwa Jakarta mampu menjadi tuan rumah sebuah pertunjukkan seni kelas dunia. Bahwa warga Jakarta adalah orang yang memahami dan mengapresiasi sejarah dan budayanya sendiri. Setelah pertunjukkan usai pun, tepuk tangan riuh dan panjang dari seribu orang baik yang menonton di kelas VVIP maupun menghampar dalam rangka pesta rakyat seperti tanda begitu puasnya mereka akan pertunjukkan ini. Tidak ada yang mampu berkata-kata, mungkin karena pementasan Ariah memang adalah sebuah peledak rasa. "Tujuan Ariah sederhana, semoga tidak hanya berhenti jadi peledak rasa. Kami harap dengan mengangkat budaya dalam konsep kekinian dapat menarik bagi generasi muda. Tujuannya agar mereka mencari tahu, belajar, lalu melestarikannya," ucap Atilah menutup wawancara ini. She's got all the point, we don't wanna be a person who doesn't know their own story right?

Ps. Tulisan ini dipublikasikan pada Nylon Agustus 2013.

Comments

Popular Posts