Sore di Raden Saleh
Pertemuan
saya dengan Rama adalah salah satu yang membuat saya percaya bahwa kebetulan
mengajarkan sesuatu hal pada kehidupan. Apapun itu. Saya bertemu Rama pada
suatu sore yang aneh di Raden Saleh. Pada suatu ketika seseorang berdiri di
antara puluhan mobil melaju kencang. Ia tidak mencari kematian. Ia pun tidak
menguji keberaniannya. Ia tidak putus asa. Ia hanya berdiri di sana untuk suatu
tujuan yang hanya dipahami dirinya dan bentuk abstrak yang kalian sebut Tuhan.
Namanya Rama. Tidak sengaja kali itu aku bertemu dengannya di perempatan Raden
Saleh, di sekitar lampu merah. Ia berjalan seperti hendak menyebrang, namun
kemudian dia berhenti di tengahnya. Ditenggarai beribu tanya dan penghakiman
dalam kepala, aku berlari menghampirinya. Kemudian ia hanya tersenyum dan
meminta aku terus berjalan. Aku memaksanya untuk menepi. Ini tindakan bunuh
diri. Aku bertanya siapa namanya dan kukatakan bahwa ia terlalu berharga untuk
berdiri di tengah laju mobil seperti ini. Ia tetap tidak mau menepi. Aku
berpikir setengah mati, tidak mau juga aku berdiri di sini diklakson banyak
mobil yang menganggapku gila, mendengar makian "Dasar gila!" dari
mulut-mulut orang Jakarta yang hilang batas sabarnya, aku justru malah
dihampiri mobil yang membuat kaki kiriku yang sudah cidera ini patah.
Rama diam.
Ia hanya melihat aspal panas di bawahnya, motor-motor dihadapannya, dan mobil
yang menunjuk-nunjuknya dengan ekspresi sehabis kalah judi. Aku mati gaya, diam
berdiri, entah mau apa lagi. Aku hanya berkata pada Rama bahwa mungkin menceritakan
masalahnya mampu membantu aku untuk keluar dari masalahku, dan anehnya...Rama
setuju. Ia menuntunku jalan ke pinggiran jalan dan duduk. Sembari membenahi
rambutnya, ia seolah tak percaya ada aku yang duduk disebelahnya. Rama pun
memulai percakapan.
"Mengapa
kamu mau menghampiri aku?"
"Mengapa
tidak?" lanjutku.
"Respon
yang baik untuk sebuah pertanyaan. Menjawab dengan pertanyaan. Pertahananmu
bagus sekali. Tapi, aku tidak butuh pertahananmu. Aku bertanya mengapa kamu
punya ide untuk menghampiriku?"
"Karena
aku tidak mungkin membiarkan seorang laki-laki diteriaki seperti itu. Aku hanya
tidak tega. Kalaupun aku diam saja, maka mimpi buruk akan menghantuiku karena
tidak menghampirimu."
"Terlalu
banyak membaca buku. Tidak mungkin mungkin hal seperti itu terjadi. Kamu tahu
itu. Sekarang, alasan sejujurnya. Mengapa kamu menghampiriku?" tegas Rama.
Siapa
laki-laki ini? Aku bahkan tidak mengenalnya. Dari perawakannya yang bersih dan
rapih, aku tahu ia bukan orang sembarangan. Justru itu yang membuat aku
penasaran.
"Aku
penasaran apa yang membuatmu berdiri di situ. Penasaran juga dengan alasanmu.
Itu yang sebenarnya." tuturku,
Ia tertawa
lantang kemudian hening, sebelum ia mengeluarkan kata-kata yang mematikan.
Mungkin, bukan mematikan. Tapi, kata-kata yang memang ingin aku dengar.
"Aku
tahu. Kamu pasti ingin tahu tentang alasanku. Jangan sembunyikan rasa ingin
tahumu dengan empati dengan mengatakan kamu peduli. Itu jahat. Tahap pembelaan
dirimu sudah skak mat. Sayangnya, yang kamu bunuh justru dirimu sendiri - bukan
orang lain," Rama berkata dengan menatap kosong perubahan lampu merah ke
hijau.
"Alasanku
berdiri di tengah situ sungguh sederhana," Rama melanjutkan perkataannya.
"Apa?"
tanyaku.
"Aku
ingin tahu apa rasanya membuat sesuatu hal yang berlawanan dari peraturan.
Ketika aku salah, apakah yang paling parah yang dapat diperbuat orang padaku?
Dan aku menemukan jawabannya. Diteriaki, dimaki, disumpah-serapahi, dikatai
gila, cari mati, semuanya. Mereka bicara seperti kehilangan cinta dalam kehidupan
mereka. Semua itu karena aku tidak berlaku seperti orang lainnya. Ironis dan
tragis. Lucunya, aku tidak menyesal melakukan itu. Aku justru melihat hal luar
biasa. Pertama, kesalahan ini sudah lebih parah aku alami. Ketika lain kali aku
mengalami kegagalan dalam hidupku dan dimaki sampai hilang harga diri, aku
masih akan berdiri. Kedua, aku menemukan harapan bahwa ada orang seperti kamu
yang menghampiri." kata Rama panjang lebar.
"Oh,
baiklah. Kamu sudah merencanakan segalanya dengan matang. Luar biasa. Pantas
kamu bisa menebak pertahanan apapun itulah yang kamu katakan padaku. Kamu telah
melakukannya lebih dulu rupanya," ucapku sambil tersenyum tipis.
"Iya.
Aku jatuh pada seorang cendekia. Cendekia yang mampu mengubah kata. Kata itu
masuk ke mulutnya, memutari otaknya, mengelilingi dunia dan pengalamannya, lalu
keluar lagi dalam wujud baru yang memperluas tatanan otakmu. Cendekia itu
membuatku berpikir bahwa tidak ada lagi yang lebih sempurna dari perkataannya.
Tidak dalam artian yang jumawa. Tidak. Justru sebaliknya. Ia menghadirkannya
dalam segala ketidaktahuannya. Ia membuatku bicara dengan pengetahuanku untuk
melengkapi spektrumnya. Cendekia yang aku kagumi, kalaupun rasa kagum mampu
membingkai perasaan itu. Aku takut ini hanya obsesi dan ujungnya melukai kami."
"Lalu,
cendekia ini membuatmu tidak lagi memikirkan dirimu sendiri hingga kamu
melakukan ini?" Aku sudah mulai kehilangan kesabaranku meladeni perempuan
ini.
"Kamu
pernah berada dalam posisi seperti ini, ketika kamu melakukan sesuatu hal dengan
jerih payahmu padahal kamu merasa tidak mampu. Pada akhirnya, memang kamu
melakukan yang terbaik. Namun, hal ini justru mengundang pertanyaan orang untuk
menguji karena mereka tidak percaya akan kemampuanmu. Masalahnya, justru bukan
itu. Posisi ini bukan membuatmu mencemaskan apa yang orang pikirkan tentang
kamu. Posisi ini justru membuatmu mempertanyakan kemampuanmu sendiri," Rama
menjelaskannya sambil melihat bayangannya sendiri di pantulan pintu mobil.
"Aku
mulai paham. Sekarang mari kita posisikan dalam keadaan bahwa kamu punya
cendekia ini untuk memparafrasakan semua kata yang melewati otaknya. Hal itu
membuatnya menjadi intelektual, ketika di saat bersamaan itu membuatmu bodoh
karena kekagumanmu. Apakah kamu merasa begitu? Mari kita lihat dari sisi saya. Peristiwa
itu mengubah tatananmu, kamu melupakan yang paling utama. Apa? Kamu melupakan
bahwa semua hal ada porsinya termasuk rasa, kata, dan jiwa. Rasa ada karena
kamu membentuknya. Rasa itu fatamorgana, rasa itu nyata, rasa itu bagai hantu
yang buat kelu, semuanya kamu bentuk. Lalu, kata. Kata membunuh eksistensi atau
justru menumbuhkannya dua kali lipat. Jiwa? Jiwa menjadi muara segalanya.
Intelektualitas kamu dan cendekia itu. Kebodohan yang justru kalian tidak lihat
ujungnya," balasku pada semua perkataan Rama.
"Argumen,
eksistensi, fatamorgana, semua kata itu hanyalah biasan saja."
"Justru
dengan kebiasan itu kamu dapat sabar dalam proses."
Rama
bertanya sebuah pertanyaan yang diajukan sama kepadaku hari ini, "Apa
perbedaan ikhlas dan tulus? Ketika kamu dihadapkan dengan rasa, kata, dan
jiwa?"
Aku pun menjawab
dengan jawaban yang serupa, "Ikhlas bukanlah sebuah ujian yang sekali
dilewati dan semuanya selesai. Menjadi ikhlas adalah proses tanpa akhir. Ikhlas
dapat membuahkan rasa pahit, rasa bahagia, rasa asam di pikiran, semua rasa
yang merujuk pada satu tesis: menjadi sedih akan lebih mudah. Itu suramnya.
Tapi, justru dengan proses ikhlas yang tidak selesai. Kamu juga akan menjadi
sabar dan melihat hal sesuai pada tempatnya dengan 'pas' dan indah. Semuanya
tergantung dari sisi mana kamu melihatnya." Namun, jawaban untuk Rama
terasa berbeda. Aku seperti mengatakannya untuk diriku sendiri.
Aku dan Rama
sama-sama diam. Kami tidak bergerak. Satu-satunya pergerakkan hanya terjadi di
dalam otak dan pikiran kami. Kemudian, pikiranku tergerak pada satu momen ini.
Momen yang menggempakan hati namun tidak bisa kamu ingat terus karena itu
menyakiti kamu. Perginya seseorang ke surga, kehilangan sesuatu yang tidak
dapat kamu gantikan, rasa bersalah yang membinasakan, atau apalah itu. Semua
terasa tepat. Bagaimana Rama melakukan hal bodoh itu, bagaimana akhirnya aku
menghampirinya, sampai pada bagaimana pembicaraan kami terasa seperti orang
yang telah kenal lama. Sebelum ijin pergi, Rama mengatakan hal ini padaku. Hal
yang menurutku yang lepas dari segala kecendekiawanan yang mempengaruhinya. Ia
berkata, "Kamu tahu apa yang
membuat orang-orang itu begitu marahnya? Karena aku merusakkan rencana mereka.
Aku menahan mereka beberapa menit saja. Itu menghancurkan mereka karena waktu
adalah nyawa. Atas alasan itu pula, aku menempatkan diri di posisi yang sama.
Dengan satu tujuan, mencari kenyamanan. Apa yang nyaman dari hal itu? Satu hal
yang membuat itu nyaman, paling tidak nanti pada akhirnya membuat itu nyaman.
Ketika mereka selesai meneriaki, memaki, memberikan jari, mereka akan sadar
akan perasaan mereka sendiri yang gagal mengontrol emosi. Di titik itu, saya
berhasil. Berhasil membodohi diri saya sendiri dengan alasan-alasan yang baru
saya katakan ketika hal yang justru ingin saya katakan adalah...saya bersyukur
kamu menghampiri saya. Kenapa? Karena dari awal, saya ingin kamu yang
menghampiri saya. Cerita saya akan punya bagian dalam kamu. Pembelaan,
pembenaran, kebenaran, kesalahan cerita ini hanya saya buat untuk mengisi rasa
penasaran kamu dan menciptakan kenyamanan itu. Satu hal yang kamu harus
lakukan. Jangan mempertanyakan. Itu saja," Rama menuturkan semuanya dengan
rima sambil melenggang pergi, meninggalkan aku yang gamang karena coba
mengerti. Tidak ada yang lebih menyulitkan rasa dari sebuah ketulusan yang
ternyata melepaskan keduanya dari kemungkinan bersama.
Cikini,
3 September 2013
Comments
Post a Comment