Ledakan rasa akibat 'Vortex: Compagnie Non Nova'
Sabtu kemarin tertanggal di Kalender 21 September 2013. Bukan
sebuah kebetulan juga tanggal itu tepat sama seperti patahan lirik lagu Earth,
Wind, and Fire yang menjadi lagu favorit Ayah sepanjang masa, tentunya setelah After The Love Has Gone. Singkat cerita,
hari ini meninggalkan rasa yang boleh dikatakan sama (walaupun tidak sebanding
ketika saya menonton Ariah). Mengutip
Atilah, saya menyebutnya ledakan
rasa. Sebentar...kali ini bukan ledakan rasa, ini terasa seperti cerminan jiwa
di mana pertanyaan, surealitas, mimpi yang mengawang menjadi satu dalam sebuah
visualisasi pertunjukkan.
Sabtu itu saya menanggalkan tubuh, jiwa, dan pikiran saya
kembali ke Salihara. Tempat di mana saya selalu menemukan keanehan dan
keterasingan yang berujung pada kenyamanan. Malam itu Salihara penuh sesak
dengan banyak orang, kebanyakan di antaranya memang orang Pribumi. Sepertinya
deskripsi ini tidak perlu saya terjemahkan di sini, namun ketika menimbang
bahwasanya detail ini mungkin memberi kernyitan dahi lebih pada pembaca. Saya
mengambil risiko itu.
Pertunjukkan berjudul Vortex
yang dibawakan oleh Compagnie Non
Nova asal Prancis mengetengahkan konsep pusaran angin dan perjuangan
manusia di dalamnya. Hanya dengan berbekal satu aktor saja, Vortex mampu memukau saya selama penampilan
yang kurang lebih 60 menit. Tidaklah heran apabila permainan angin ini
diperuntukkan bagi penonton 15 tahun ke atas. Mengutip teman saya, pertunjukkan
ini mungkin merupakan perpanjangan kenyataan dari salah satu scene pada film American Beauty di mana kalian akan melihat keindahan yang mungkin
tidak dimengerti orang lain: sebuah plastik yang terbang menari karena angin
dan ditangkap oleh sebuah kamera dengan sengaja. Hal itu indah. Pertunjukkan
ini? Indah? Tidak. Saya tidak akan mengatakan pertunjukkan ini indah.
Pertunjukkan ini sangat sarat makna. Seperti yang saya kemukakan sebelumnya, ia
mengobrak-abrik sistem visualisasi dan logika dengan beribu serangan tanda
tanya. Angin dan satu orang manusia
serta deretan kipas angin mampu membuat narasi tidak berarti. Aksi dan
ekspresi sudah cukup mewakili. Itu impresi saya.
Setting panggung Salihara
malam hari itu berubah dan hal itu membuat saya bertanya-tanya sedari awal
mengenai pertunjukkan ini. Suhu panas dalam ruangan pun tidak menghindarkan
saya menyeka kening berkali-kali, mencoba mengerti apa yang dilakukan seorang
aktor yang besar dan gemuk layaknya men
in black. Pertanyaan itu saya simpan dalam hati. Menunggu dalam diam adalah
hal yang paling baik dilakukan saat itu ketika saya duduk di kursi paling
belakang. Pertunjukkan dimulai ketika laki-laki ini membuat sebuah plastik yang
kemudian bergerak dalam alunan angin. Saya tersentak. Saya diam dalam hardikan
berbagai pertanyaan menantang akal sehat saya, "Kok bisa?" Ya, itu yang saya katakan dalam hati. Lanjut
menikmati plastik-plastik kecil, warna-warni, yang dikeluarkan sang aktor yang
kemudian menari-nari ke atas ke bawah tanpa aturan, lepas, bebas, bahagia.
Plastik itu bernyawa. Plastik itu seperti punya jiwa. Saya merasakan ironi dan
rasa miris yang luar biasa pada satu adegan ketika sang aktor membuka payung,
satu demi satu plastik-plastik itu jatuh, menurut dan patuh, masuk ke dalam
payung, hingga pada suatu ketika terdapat satu plastik yang tidak mampu naik;
dan dengan halusnya sang aktor memegang tangannya untuk membantu plastik kecil
itu masuk. Saya diam. Saya diam. Saya diam. Seharusnya, saya menikmati
pertunjukkan itu. Itu indah. Namun, saya justru diam. Saya tidak mampu menahan
diri saya untuk tidak berhenti berpikir maksud di balik setiap aksi yang
dilakukan satu aktor ini. Di titik saya bepikir, di titik itulah saya gagal
menikmati. Ketika menulis ini, saya menyadari satu hal. Mungkin itulah hidup,
pergumulan kita akan panggung kehidupan layaknya pertunjukkan yang kita
saksikan dari persepsi kita masing-masing. Kita kerapkali gagal menikmatinya
karena terlalu obsesif mencari makna kausalitas untuk memenuhi dahaga akan
logika. Ironi nyata.
Saya harus kembali terpukau ketika sang aktor merusak semua
plastik itu. Tanda nyata kebosanannya akan semua keindahan fana yang sudah
dengan lelah ia ciptakan. Ia tidak peduli dengan semua usahanya, ia mengikuti
instingnya sebagai seeekor makhluk yang tunduk pada egosentrisnya. Keluar
sebuah plastik hitam besar, setelah sebelumnya panggung hitam pekat sampai-sampai
saya tidak dapat membedakan gelapnya mata terpejam dan ketika saya membuka
mata. Ini mungkin gambaran mimpi dan realita, ketika batasnya hanya dari
terbuka-tertutupnya mata. Saya merasa terhisap masuk. Saya kehilangan batas
antara visualisasi Vortex dan mimpi
buruk saya. Kulminasi perasaan ini dipecahkan dengan dansa indah sang aktor
dengan sebuah plastik besar yang mampu membuat saya larut dalam kesedihan
berkepanjangan. Jenis kesedihan yang tidak mampu dikeluarkan lewat tangisan.
Jenis kesedihan yang mengekal dalam tiap jiwa. Jenis kecemasan yang dikatakan
Sartre sebagai kutukan kehidupan. Ini mungkin definisi perjuangan akan
eksistensi. Ini mungkin yang tertera dan tertinggal pada saya ketika
pertunjukkan masih berlangsung. Ini ibarat pasung jiwa, jika boleh meniru judul
novel Madasari dengan judul serupa.
Maut terpampang nyata masih dengan pergumulan yang sama di
mana sang aktor terlihat ingin lepas ketika ketakutan di saat yang sama
menyerang. Hal ini terjadi ketika saya harus melihat detail jelas saat ia
mengeluarkan plastik itu dari rahim yang melewati organ genitalnya. Ini
perumpaan saja, namun perumpaan kadang adalah perwakilan dari yang terjadi
sebenarnya. Perasaan yang sama masih mengendap pada saya. Perasaan yang tak
terungkapkan bahkan hingga pada akhirnya sang aktor menyobek stocking yang menempel di seluruh
tubuhnya, tanda ia muak dengan esensi yang menempel di sana. Ia berusaha
membersihkan semuanya, lalu kemudian tidur tenang dalam plastik itu. Saya tidak
berani mengambil kesimpulan akan pertunjukkan ini. Pertunjukkan ini terlalu
berharga untuk disimpulkan. Saya akan membiarkannya terbuka dengan membagi
ledakan rasanya saja. Saya hanya akan menutup tulisan ini dengan hati tenang
karena penyakit hati dan jiwa saya sudah tersampaikan dalam rentetan frasa ini.
Bukan indah, tapi mengena. Cukup sudah.
Menteng,
26 September 2013
Menteng,
26 September 2013
Comments
Post a Comment