Akar Pahit: Penembakan di Las Vegas Hari Ini

"Sudah sepatutnya manusia merenung untuk terlahir kembali sebagai individu baru yang bernurani seperti cicada/tonggeret lepas dan keluar dari larvanya."Affection #1 oleh Robi Dwi Antono, 2017.

Bukankah menyakitkan membaca berita pagi di mana 59 orang meninggal dan 520 orang luka-luka?
Tubuh kaku bergeletakan di jalanan,
Darah bersimbah di trotoar,
Di tempat paling maksiat...itu yang ku dengar;
  tapi, apakah pantas maksiat membawa petaka yang membenarkan kita mengakhiri nyawa?

Perizinan senjata api dan akar pahit yang sengit menjadikan realita bak film-film slasher saja...
Media memberitakan dari bingkai-bingkai yang sesuai dengan kepentingan
Netizen berkomentar sesuai dengan inginnya juga,
  "Karma itu namanya! Mereka pantas mendapatkannya!"
Aku bertanya-tanya dalam hati: "Apa iya?", "Apakah semesta menerapkan putaran kepantasan dalam perjalanannya?"

Kita hidup dalam ketakutan kita masing-masing...
Ketakutan akan kegagalan...
Ketakutan akan kemiskinan...
Ketakutan akan kebosanan...
Ketakutan akan terlupakan...
Ketakukan akan kondisi termarginalkan...
Yang terparah, imaji surga yang melahirkan ketakutan akan neraka...
Tapi, kita lupa, ada yang lebih menakutkan dari itu semua...
Ketakutan untuk hidup...
Ketakutan untuk mencintai...
Ketakutan untuk memberi...
Ketakutan untuk membagi...
Ketakutan untuk percaya...
Ketakutan untuk membangun ikatan...
Ketakutan untuk menjembatani pemikiran...
Ketakutan untuk merangkul sesama, memeluknya, dan mengatakan semua akan baik-baik saja...
Bukankah semua ketakutan yang ditahan akan menjadi akar pahit saja? Menggusur kehangatan yang mampu titik jiwa tawarkan jika kita sedetik saja membiarkan diri percaya dan tak henti berusaha?

Akar pahit...
Akar pahit...
Akar pahit yang membuat kita berkelit dalam pembenaran-pembenaran untuk menyelamatkan diri kita sendiri...

"Lari, lari,lari," teriakan itu saja yang terdengar
"Kami merasa seperti rusa yang diburu dan menunggu waktu saja..."
  di saat orang berlari, berlari untuk menyelamatkan diri, tembakan pun muncul lagi.
Semua memori tentang kekasih, keluarga, penyesalan dan dosa berputar cepat saat mereka berlari, tahu mereka mungkin saja meninggal...dan mereka memang meninggal...
Peluru menyasar dada, masuk ke jantung, bersarang di sana...
Tubuh terjatuh, terjatuh, terjatuh, pekatnya darah membasuh...
Satu tubuh, dua tubuh, tiga tubuh, tiga puluh...hingga hampir enam puluh...
Peluru menambah korban jiwa hanya karena kedengkian manusia  dan bebasnya izin kepemilikan senjata sebagai katalis.
Ini bukan metafora, Dik! Ini terjadi...nyata...caba saja baca berita!

Bukankah begitu banyak peristiwa yang seharusnya mengajarkan kita bahwa stagnansi sebuah rasa percaya, hanya membuat kita tumpul untuk 'menjadikan manusia...manusia'?

Ketika kita menempatkan diri berbeda dengan sekitar,
  pemahaman kita hanya berkisar dari apa yang kita lihat, dengar, sentuh, cium, rasa saja;
  bukankah hidup bukan hanya itu belaka?

Ketika kita bicara sesuatu yang kita percaya,
  Tuhan yang di dimensi mana itu...misalnya?
Kita penuh iman berkata: "Dalam nama-Nya!",
  atau dalam nama tuhan-tuhan lainnya yang kita puja,
kita menumpulkan indera dalam kotak 'tubuh dan pikiran' yang kita punya;
Bukan merasai semua yang ada di luar,
  kita berkoar-koar menumbuhkan kertak gigi dan  membiarkan dengki menggigit.

"Hidup itu melelahkan, Dik!"
Kita selalu mengeluh dibebani dengan harapan akan kebaikan;
  bukankah dengan alasan itu, seharusnya kita perlu merawat harapan?
Karena hidup ini melelahkan,
Karena hidup ini menyakitkan,
Karena hidup ini melumpuhkan,
Karena hidup ini penuh kepesimisan...
Bukankah dengan alasan itu, kita perlu merawat harapan?

Salatiga,
3 Oktober 2017
(Pagi ini, di belahan bumi lainnya, langit ikut menangis...melihat nyawa-nyawa jatuh begitu saja di Las Vegas)



Comments

Popular Posts