Narasi Pulang: UI

Bestrizal Besta, Batas terbatas #2, 2015, Semarang.

Ketika mendengar kuliah Bung Izak Lattu kemarin tentang narasi pulang yang begitu lekat dengan tradisi Indonesia dan membaca puisi Prof. Sapardi tentang UI, saya langsung teringat puisi yang saya tulis bulan lalu. Kadang kita mengeluh pada narasi pulang yang retas dalam kebiasaan 'mudik'. Tapi, kita lupa. Hanya orang yang berkelana, yang tahu apa itu pulang. Pulang tidak hanya dalam artian harafiah saja, tapi juga dalam makna lapis kedua. Pulang ke memori tertentu, misalnya? Untuk itu, medium paling pas memang puisi (setidaknya untuk saya). Ini sepenggal puisi tentang UI, karena di sana saya berada 7 (tujuh) tahun lamanya, dari S1 hingga S2, dari Depok sampai Salemba. Tiap sudut UI punya cerita, terutama perpustakaan dan tempat-tempat di mana saya dapat menikmati tiupan angin dan tawa orang-orang yang berisik dan mengganggu...tapi, justru bikin rindu. Kenapa gambar capung dalam tulisan ini? Karena capung hidup begitu lama, dapat terbang independen, dan pandangan matanya 360 derajat; penglihatannya ke mana-mana, ke berbagai sudut, melihat apa saja (dan mungkin saja karena capung seringkali dikaitkan dengan jiwa-jiwa orang yang telah tiada; dalam konteks ini, memori ada karena sesuatu yang telah tiada...bukan berarti jiwanya).

UI adalah wangi buku lama di perpustakaan yang sekarang jadi ruang dosen
UI adalah kubikel lantai tiga yang jadi teman setiap harinya
UI tetap sama walau posisi berubah ke kubikel lantai tiga yang menghadap pohon besar Perpustakaan pusat
UI tidak pernah berubah
UI adalah payung depan gedung sembilan yang sekarang entah ke mana
UI adalah makan mie ayam sengketa setelah main basket selepas senja
UI adalah rute kereta antara Depok ke Salemba
UI adalah tapak demi tapak yang membuat kita menjejakan kaki tanpa berlari antara Fakultas Hukum sampai ke Ilmu Pengetahuan Budaya
UI adalah indahnya pantulan perpustakaan modern di danau ketika matahari tergurat jingga
UI adalah selasar gedung satu dan selasar gedung sembilan hingga payung kantin di mana kau telusuri kehangatan di balik kesendirian
    Tapi ia meneduhkan
Selalu
Meneduhkan

Depok,
September 2017

Comments

Popular Posts