Memorializing: A Ghost Story





Di antara jajaran film dalam Sundance 2017, "A Ghost Story" (2017) amat mencuri perhatian saya. Perkaranya, film karya sutradara David Lowery (Pete's Dragon) ini mengetengahkan tema alienasi eksistensi dalam bentuk yang amat sangat menarik: hantu.

Dari judulnya, saya berpikir A Ghost Story akan menjadi film horor khas 'rumah hantu' yang dihuni sepasang kekasih. Ternyata tidak. A Ghost Story menawarkan pengalaman sinematis baru untuk saya baik dari segi naratif maupun sinematografis. Ulasan ini mungkin akan memuat spoiler, jadi pembaca boleh berhenti di sini apabila ingin mengalami menyenangkannya 'first experience' menonton film ini.

Pikiran pertama saya setelah menonton film ini sesederhana begini: "Gentayangan bisa secantik ini ya? Wah, bahkan manusia saja suka menggunakan istilah 'dihantui' kenangan sebagai konotasi yang buruk. Film ini ibarat hantu-ception. Hantu yang dihantui kenangannya sendiri." Tapi, seiring kontemplasi lebih...ada beberapa hal yang saya tambahkan kemudian...akhirnya, jadilah tulisan ini.

Film ini mengisahkan seorang musisi bernama C (Casey Affleck) yang tinggal bersama kekasihnya M (Rooney Mara) di sebuah rumah tua. Beberapa adegan menarik antara kedua pasangan ini, saya ingat betul. Adegan pembuka C dan M yang mengutarakan 'ketakutan'-nya dengan rumah 'berhantu' dan ingin pindah. Awalnya, saya tidak menyadari bahwa adegan itu adalah 'tegangan' utama yang mendasari konflik dalam keseluruhan cerita. Saya baru menyadarinya ketika memutuskan untuk menulis ulasan ini, dan semua adegan kembali berputar di kepala saya diiringi tarikan napas dalam-dalam dan merutuk dalam hati akan orisinalitas ide yang dimiliki David Lowery. Melanjutkan sinopsis singkat soal film ini, C yang merupakan musisi, tak lama kemudian meninggal akibat kecelakaan mobil, dan sisa film ini sebenarnya adalah bentuk C di bawah selimut yang menjadi 'arwah gentayangan' di huniannya bahkan setelah M memutuskan pindah dari rumah itu. Hampir 90 menit film ini menceritakan 'usaha' C untuk mencari tahu apa yang ada dalam 'tembok'.


Apa yang ada di dalam tembok? Di awal adegan, M menceritakan bahwa ia punya satu kebiasaan unik untuk meninggalkan 'catatan kecil' di rumah yang pernah ia huni. Apa saja, catatan yang bertuliskan puisi, kata-kata, lirik lagu, apapun untuk ditinggalkan demi torehan sebuah kenangan. Dalam percakapan itu, C bertanya apakah M pernah kembali untuk sekadar mencari tahu 'nasib' catatan yang pernah ia tinggalkan? M menjawab tidak. Di situlah, tegangan-tegangan dalam film dimulai setelah kematian C. Sesaat C meninggal, M meninggalkan rumah itu dengan meninggalkan secarik kertas kecil yang kemudian ia selipkan di sela kayu rumah itu. Tidak ada yang tahu apa tulisannya selain M. Lucunya, David Lowery juga mengatakan dalam wawancaranya bahwa seluruh kru film tidak ada yang mengetahui isi kertas itu selain Rooney Mara. Sederhananya, film ini memang hanya menceritakan usaha C untuk mencoba mendapatkan kertas itu dan membaca isinya. Satu usaha panjang dalam lingkar waktu yang tidak linear, yang membawa penonton dalam banyak sekali lompatan waktu, yang menghisap penonton dalam keterasingan dan kesepian tidak berujung untuk sebuah usaha 'mencari tahu' atau mungkin bisa saya sebut 'merelakan'?

Setelah adegan pembuka film ini, adegan favorit saya lainnya adalah ketika buku-buku di rak buku jatuh ke lantai kayu rumah itu. Ya, buku-buku yang dijatuhkan sengaja oleh sang hantu agar M mendapatkan pesan keberadaan dirinya. Menariknya, sang hantu menjatuhkan buku Love in the Time of Cholera karya Gabriel García Marquez pada halaman tertentu yang isi paragrafnya menjelaskan kehadirannya masih terus ada walaupun maut memisahkan mereka berdua. Adegan ini menjadi menarik untuk saya karena dua hal: saya merencanakan membaca karya Gabriel García Márquez - 100 Years of Solitude beberapa waktu lalu, tapi saya tunda. Kemudian, tiga hari lalu, chef di restoran favorit saya di Salatiga meminjamkan DVD dari film favoritnya yang ternyata adaptasi dari karya Gabriel García Márquez, ya, dengan judul yang sama dengan buku di A Ghost Story: Love in the Time of Cholera. Kebetulan memang terkadang semakin menjadi-jadi apabila dicari-cari. Kemudian, seperti ritual lainnya, saya mencari kutipan-kutipan buku itu di Goodreads. Iya, ritual ini menenangkan. Like I wrote in 2014, find a person who gives you the same feeling like you read your favorite quotes in Goodreads. Perasaan menenangkan.

“It was the time when they loved each other best, without hurry or excess, when both were most conscious of and grateful for their incredible victories over adversity. Life would still present them with other mortal trails, of course, but that no longer mattered: they were on the other shore. ” 
“It was the year they fell into devastating love. Neither one could do anything except think about the other, dream about the other, and wait for letters with the same impatience they felt when they answered them.” 
“Take advantage of it now, while you are young, and suffer all you can, because these things don't last your whole life.” 

Alur dan pengaluran dalam konsep waktu yang tidak linier justru menjadi kekuatan dalam film ini. Menyiratkan permainan waktu dan ruang yang mengikuti perjalanan C. Lucunya, pemahaman ruang dan waktu menjadi sangat manusiawi bagi sebuah/seorang hantu. Pengalaman menikmati aspek naratif dalam film ini ditunjang dengan sinematografis yang apik. Katakan saja begini, dari awal adegan, penonton disuguhkan dengan shot dalam 1:33:1 tapi dengan tepian yang oval. Sontak saya kaget, "Wah, beda!" Begitu saja reaksi saya. Ketika saya mencari ulasan di Roger Ebert pun serupa. Penonton dimanjakan dengan shot mirip polaroid. Tidak hanya shot, warna sendu dalam film ini pun dibalut dengan abu-abu, biru-biru yang khas film-film horor, walaupun dengan campuran warna cerah sebagai pembeda 'momen bahagia'.

Dalam tautan yang saya baca, film ini menggunakan banyak sekali long shot dan silence. Lowery juga mengatakan demikian dalam wawancaranya, "Long shot is both relieving and disturbing." Mungkin begitu juga dengan kematian (juga kehidupan). Tidak hanya itu, Lowery juga mengatakan bahwa momen diam yang hadir dalam film ini merupakan eksplorasinya sebagai seorang sutradara. Film ini juga banyak sekali memuat dialog-dialog yang mana tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh Lowery. Untuk itu, selain adanya dialog-dialog panjang, Lowery memadukannya dengan momen diam yang memberi arti/sebagai pembanding/kontras untuk menggali lebih dalam kebermaknaan dialog-dialog itu dengan keheningan/ketiadaan/kesunyian.

Lowery mengatakan: "I love dialogue, but I’m also terrified of it..." Saya rasa, porsi keduanya pas sekali menggambarkan kecintaan dan ketakutan akan sesuatu. Untuk Lowery, adanya dialog panjang dalam karyanya. Tidak hanya itu, momen diam dan dialog panjang disempurnakan dengan soundtrack indah lantunan dari David Hart dan lagu karangan C yang dinyanyikan oleh Dark Room - I Get Overwhelmed. Favorit saya: The Secret in the Wall - David Hart.

Kontemplasi saya karena film ini jauh sekali. Sekarang pukul 05:01, saya menonton film ini tadi malam. Kemudian melanjutkan menyelesaikan George Orwell - 1984. Seharusnya, saya memaksa diri saya tidur. Tapi, kutukan puisi Nokturno sepertinya masih tinggal dalam saya. Beginilah yang terjadi, saya menulis ulasan dari A Ghost Story. Selain saya ingin pembaca menontonnya, sebenarnya alasan utama saya menuliskannya dalam blog ini karena saya tidak bisa berhenti berpikir apa yang ada di kertas kecil itu? Tulisan apa yang dituliskan M? Dari sana, saya mencari di search engine dan terdampar di wawancara-wawancara Lowery. Tidak ada jawabannya, tapi reaksi Lowery atas pertanyaan itu justru ibarat black hole yang membuat saya ke semesta lain dan ingin menuliskannya. Lowery menyebutkan bahwa film ini akan meninggalkan kesan comforting bagi penontonnya. You will find solace, and the urge to be at peace with the possibility that you may never know the answers to the big questions. Kemudian, saya terhenyak. Itu kalimat yang 'pas' untuk mewakili perasaan saya setelah menonton film ini.

Lowery mengantarkan penonton pada satu konsep kehidupan dan kematian yang justru tidak berbeda sama sekali. Pertanyaan akan keberadaan kita di akhir kesadaran justru mengantarkan pada kontemplasi lebih ide bahwa 'gentayangan' adalah bagian dari trauma healing process. Film ini lekat sekali dengan denial dan loneliness sang hantu yang tidak bisa menerima kenyataan akan kepergiannya. Berbedanya dengan film lain, kemarahan dan kesedihan sang hantu tidak dibalut dengan 'teror' yang menakutkan, tapi dengan sesuatu yang mengundang 'simpati' pun 'empati'. This movie offers you how one needs to do in order to move on in life, not only to death, but also to life. And he needs to let go to the sentimentality and attachment in life. Human being and its ability to weave guilt, karma, and the fear of change. Persoalan dalam film ini rumit dalam praktek, mudah dalam paparan: merelakan. Kisahan utamanya memang sekadar terjebak pada fase denial dalam grieving process. Menariknya, keberadaan 'tubuh' menjadi bias makna dalam usaha untuk lepas dari kungkungan apapun itu yang membuat kita 'stuck' di tempat yang sama begitu lama.



Saya pernah membaca kalimat ini, entah di mana, hidup manusia justru berada pada kemampuannya untuk bertahan; dan bertahan hanya diwujudkan dengan 'melepaskan' atau yang kita kenal dengan istilah 'mengikhlaskan'. Bulan Mei lalu juga, dalam Peacebuilding Training yang saya ikuti, ada satu sesi Trauma Healing bagi korban yang berada di daerah konflik. Dalam sesi itu, kami diajarkan Snail Model Healing Journey: Breaking the Cycles of Violence/Harm yang diambil dari Olga Botcharova (1998).  Dalam sesi ini, saya ingat sekali, setiap dari kita diminta untuk berdiri di setiap titik yang kami kira mewakili kondisi kami pada saat itu. Ada tahap yang disebut memorializing di mana seseorang terjebak dengan rasa sakit, kehilangan, panik, amarah, kesedihan, rasa bersalah, dan malu. Tahapan ini merupakan sebuah circle sendiri yang tidak pernah putus, yang diakibatkan oleh violence/harm yang dialami korban. Memorializing hanya akan mengantarkan seseorang pada 'kebingungan-kebingungan' sebagai reaksi atas sikap mereka yang 'menjadi tidak berdaya' atau justru 'arogan'. Sebagian menuntut pembalasan, sebagian ingin keadilan yang mengantarkan pada pembedaan 'kita' dan 'mereka'.

Apa hubungannya kemudian dengan A Ghost Story? Menurut saya, film ini adalah paparan sinematik terindah dari tahapan memorializing yang mengarah kemudian pada Breaking Out. Dan, menariknya, karena dalam film merupakan tokoh 'hantu', healing journey hanya akan berhenti pada breaking out. But it's different for the living, move on in our terms, it's not only 'breaking out - but more than that. Moving on does not stop at expressing thoughts and feelings and accepting what happened to name and confront fears. Kita perlu berjalan perlahan ke tahapan berikutnya untuk kembali lagi berani mengambil risiko. Untuk apa? Untuk kembali 'berdamai' dengan orang yang kita labeli 'Them', memahami bahwa ada sisi berbeda dari cerita mereka, dan 'bekerjasama' dengan 'Them'. Pada tahapan inilah, menurut saya, yang membedakan A Ghost Story dengan kontemplasi saya 'pada mereka yang hidup'. Jika Lowery berhenti pada kontemplasi bahwa manusia harus move on, saya ingin meredefinisi move on menjadi 'memaafkan'. Bahwasanya, keadilan dicapai dengan pendekatan-pemahaman-bekerjasama dengan apapun yang pernah menyakiti kita. Dari sana diciptakan 'OUR STORY' yang mengarah pada kemungkinan rekonsiliasi, tidak hanya pada tataran damai pribadi tapi juga untuk hal-hal di luar itu.

Memang saya jadi agak ke mana-mana dalam ulasan film ini, tapi saya rasa akan sangat menghangatkan apabila saya membagi semuanya pada pembaca. Lowery mengatakan pula dalam proses pembuatan film ini, segalanya menjadi sangat personal baginya seiring proses. Begitu juga saya dalam proses kontemplasi ini. Sudah pukul 5:30 pagi, energi saya sudah habis untuk membuat sebuah penutup yang mengesankan. Pesan saya, tonton filmnya dan semoga kita bisa berdamai dengan diri kita sendiri tapi tak berhenti di sana...karena kita bukan orang mati, karena kita bukan hantu yang gentayangan. Semoga kita sampai ke rekonsiliasi. Semoga.

PS. Tidak ada yang tahu apa tulisan yang ditinggalkan M dan lebih baik begitu. Lowery mengatakan bahwa ketidaktahuan itulah yang menjadikan film ini utuh. Karena keingintahuan yang beradasarkan rasa penasaran tidak membuat kita penuh. Bahwasanya, tidak ada satu kata pun yang tertulis dalam potongan kertas itu dapat memuaskan kita; yang terutama, memang hanya kemampuan untuk menerima.

Dengan cinta,
Jessy Ismoyo




Comments

Popular Posts