Weekend Movie: Definitely, Maybe


Hal paling menyenangkan di akhir pekan adalah waktu untuk menikmati fiksi, baik yang dipaparkan lewat film maupun buku. Setelah menghabiskan Pessoa, saya beralih pada The Woman Destroyed karangan Simone de Beauvoir. Belum. Belum selesai bukunya. Susah bacanya. Perlu kontemplasi tinggi dan kepala saya sedang tidak berminat untuk diisi sesuatu yang terlalu berat. Nanti bisa-bisa emosi meluap tak penting yang menimbulkan gonjang-ganjing tak perlu seperti beberapa hari lalu. Jadi, di Sabtu sore ini, saya memutuskan untuk menonton kembali film lama yang masuk dalam deretan Comfort Movies saya: Definitely, Maybe. Saya menontonnya saat masih mahasiswa S1. Ya, hampir sepuluh tahun lalu. Seingat saya, film itu tidak menimbulkan kesan begitu kuat seperti hari ini. Karena kesan yang begitu membekas, saya memutuskan untuk menuliskannya di blog ini. Saya harus menambahkan, ide menonton film ini ada karena judul yang sama dengan album Oasis. Iya, album Definitely Maybe yang rilis tahun 1994. Album yang memuat lagu kesukaan saya: Live Forever. Walaupun album kesukaan saya sebenarnya adalah The Masterplan (1998), karena ada Half The World Away, Talk Tonight, dan Underneath The Sky. Ya, begitulah usaha merangkai kebetulan kosmis. Dari album Oasis, ke film ini yang berakhir menyenangkan.

Tema besar film ini mungkin sama seperti movie series favorit saya: How I Met Your Mother. Kisahan Maya Hayes, seorang anak yang berusia sekitar 10 tahun yang memaksa Ayahnya, Will, bercerita soal kisah cintanya. Mudah untuk saya mengidentifikasikan diri dalam film ini karena kedekatan seorang Ayah dan anak perempuannya, of which I have with my Dad. Walaupun kisahannya tidak sedramatisir fiksi ini, cerita Ayah saya menyoal pertemuannya dengan Ibu saya juga menarik untuk disimak (tidak akan saya ceritakan dalam unggahan ini supaya tidak merusak esensi Definitely, Maybe).

Saya selalu suka ulasan Roger Ebert dan The New York Times terkait film, entah mengapa tulisan-tulisan penulisnya selalu membuat saya bersetuju pada film-film tertentu. Bukan persoalan rating seperti yang disuguhkan Rotten Tomatoes atau IMDB, tapi bagaimana kemudian narasi yang disajikan mengajak secara implisit untuk menonton filmnya. Bukan karena popularitas film itu, tapi karena film itu akan 'membantu' penonton menemukan 'apapun itu' yang ia cari dalam sebuah fiksi. Tapi, Roger Ebert tidak memasukan film ini dalam bagian dari website-nya. Jadi, saya hanya bertumpu pada ulasan The New York Times. Dalam The New York Times, A.O Scott menuliskan kalimat ini: "How do you preserve the fairy-tale elements of the genre; the beguiling fantasy of permanent bliss; in the face of certain prosaic and unavoidable facts? In the real world, after all, people divorce, sleep around, fall in love too soon, too late or too often. It's a mess, and a movie like this one has to acknowledge the mess without falling into it, in which case it would be a sad litte melodrama rather than a sparkling comic enchantment..." Mungkin karena itu juga, saya menemukan impresi berbeda ketika menonton film ini untuk kedua kalinya (atau ketiga ya? Saya lupa). Realitanya, kisahan dalam tema besar yang kita sebut cinta selalu punya kelokan-kelokan tak elok untuk sebuah kata 'bahagia'. Kepala selalu diisi dengan konsep dongeng hidup bahagia selamanya, tapi film ini ibarat gong besar yang menabrakan kepala ke tembok bata. Semua diawali dengan kata 'Definitely, Maybe', saya suka sekali menerjemahkannya dengan 'Kemungkinan yang tentu saja...' lebih pas rasanya. Entah.

Selain 'Kemungkinan yang tentu saja...', hal lain yang membuat pembacaan makna saya terhadap film ini menjadi tumpah ruah adalah... penerjemahan lain dari kata: "It's complicated..." Will selalu mengulang kalimat itu setiap pertanyaan tentang perceraian datang dari Maya. Dengan sedikit paksaan, Will akhirnya menceritakan kisah hidupnya pada Maya. Tiga perempuan yang jalan hidupnya bertemu di persimpangan dengan Will: Emily, Summer, dan April. Penerjemahan it's complicated menjadi satu wacana sendiri untuk dimaknai. Pertanyaan di kepala saya hanya satu, ya, karena itu sulit, memang sulit, tapi bukan karena sulit dijalani...tapi, sulit dijelaskan...seringnya, orang tidak betul-betul punya energi dan hati untuk mendengarkan dengan penuh hati. Hal itu yang saya temukan dari film ini: Maya yang betul-betul mendengarkan dan meresapi kisahan Ayahnya. Bahwasanya, it's complicated bukan semata-mata kalimat yang digunakan grown-ups karena terlalu malas menjelaskan atau penjelasannya terlalu riweuh...tapi, semata-mata karena 'kebanyakan orang' tidak lagi punya waktu dan energi penuh untuk betul-betul mendengarkan. It's complicated, somehow, covers all the shortcomings. Dan, betul memang ulasan A.O Scott, semua hal dalam pendefinisian it's complicated memang menghadirkan perpisahan, perceraian, jatuh cinta yang terlalu cepat, terlambat, pun terlalu sering...sehingga, (mengutip Dee) rasanya lebih pada digiring daripada seiring.

Summer, April, Emily, tiga karakter perempuan yang brilian dengan penempatan tokoh sempurna dalam setiap karakter. Lagi-lagi, saya harus bersetuju pada ulasan The New York Times. Ketiganya terlihat flawless, padahal itu terjadi karena acting yang begitu kuat dari Rachel Weisz, Elizabeth Banks, dan Isla Fisher. Ketiga tokoh itu punya kekurangannya masing-masing, tapi saya dibuat 'maklum' akan kekurangan itu. Perfection comes from the overcoming of imperfection. Kesalahan Emily yang tidur dengan teman sekamar Will, Summer yang menempatkan dirinya pada posisi politik berseberangan dengan Will, dan April yang selalu memilih jalan hidup yang saya katakan 'less than she deserves' dari pemilihan pekerjaan, aktualisasi diri, sampai kekasih. Kekurangan ini justru tertutup dengan konsep waktu dan persepsi yang berubah, yang menjadikan saya sebagai penonton paham; sangatlah manusiawi kesalahan-kesalahan serta ketersesatan-ketersesatan yang kita alami. It is what makes us, us.

Hal lain yang saya sukai adalah karakter Will, dalam perjalanan hidupnya, usahanya memahami kehidupan, bergulat dengan idealismenya baik dalam konteks politic aspiration and love, he finds himself adjusting...to whatever it is. Lagi-lagi, membenturkan saya pada realita kalau apapun yang terjadi dalam hidup ini, semuanya tergantung dari apa yang kita lakukan, dan terkadang kita 'buta' untuk melihat dan memetakan pola yang diberikan semesta. Karena apa? Karena kita sibuk dengan jalinan pola dan peta yang kita buat sendiri. That's why it's complicated. Pergumulan-pergumulan Will dibalut konsep 'berserah' yang bukan 'pasrah'. Lihat saja, bagaimana pertemuan tak sengajanya dengan Summer yang mengantarkannya pada Emily (begitu juga sebaliknya), tapi selalu ada garis merah yang sama di antara romantisme ketiganya. Will is a man whom long to have that kind of relationship...when he knows he wants it, he (definitely, maybe) will go for it. Terbukti dari 'cincin' yang dibelinya untuk dua perempuan yang ia cintai. Tapi, bukan itu yang membuat hati saya dag-dig-dug dan yakin bahwa Will adalah tipe laki-laki yang 'berserah' tanpa 'pasrah'. Layaknya mereka yang masih kuat mengikuti kata hatinya untuk selalu mengusahakan setiap kebaikan-kebaikan kecil. Ya, karena mereka menuruti nurani.


Saya suka sekali benang merah yang terjalin rapi dalam setiap hubungan Will. Benang merah yang menjadi pola dan peta 'kehangatan' tersendiri dalam film Definitely, Maybe. Misal, adegan Summer dan Will yang bekerja di depan laptop masing-masing kemudian berhenti dari pekerjaannya untuk berciuman. Adegan sederhana yang dimulai dari main-main 'iseng' telapak kaki saja. Yeah, Adam Brooks really did a good job on the script! Contoh lainnya, adegan April menceritakan hal yang sangat personal untuknya tentang buku Jane Eyre dan ditutup dengan adegan 'fantastis' (buat saya) di akhir film. Kehangatan yang perlu terus diusahakan ada: catatan personal di halaman depan buku yang diberikan pada orang lain, memberi kado buku, dan Jane Eyre karangan Brönte. Tidak hanya itu, kehangatan dengan April berlanjut dengan hal yang saya yakin luput dari perhatian penonton. Keputusan April untuk nekad pergi travelling dan mengejar apa yang ia ingin lakukan dalam hidup...hanya karena perkataan seorang toilet paper guy yang sudi menghabiskan waktunya di hari ulang tahun April. Lucu ya, hal-hal sederhana dan kasat mata yang sesungguhnya menjadi 'arah' dalam pengambilan keputusan besar dalam hidup kita? Contoh terakhir: korespondensi surat dan kartu pos yang dikirim dari satu tempat ke tempat lain. I mean, really? Seriously? WHAT THING ON EARTH COULD BEAT THAT KIND OF CHEMISTRY? Banyak kehangatan Will dan April yang terjadi di sepanjang film, saya ibarat tahu...walaupun Will dipertemukan dengan Emily, hal itu ada karena memang kehadiran Maya adalah berkat tersendiri untuk Will. Adam Brooks menyematkan kerja semesta dalam film ini dengan sangat indah.

Penutup film ini juga manis sekali. Definitely. Maybe. Hati saya hangat, sekali lagi, di Sabtu sore ini. Untuk menutup tulisan ini, saya menyertakan kutipan dalam halaman depan buku Jane Eyre milik April yang diberikan oleh Ayahnya: "The human heart has hidden treasures, in secret kept, in silence sealed; The thoughts, the hopes, the dreams, the pleasures, whose charms were broken if revealed." Ada beberapa kisah yang tidak harus diungkapkan, tapi disimpan sebagai harta karun yang hangatnya mampu bertahan turun-temurun. Semoga kita punya kemampuan menghadapi minggu-minggu selanjutnya, berada di antara orang-orang yang penuh cibir dan hasrat singkir.

Dengan kasih,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts