Ruang Ketiga: Sekilas Mengenai Pemikiran Homi Bhabha

Keterasingan adalah penerimaan akan ambivalensi. Derrida menyebutkanya sebagai usaha berjarak untuk menemukan iterability. Bahwasanya, ketersebaran makna akan mengarah pada sesuatu yang berseberangan...sesederhana untuk menemukan sebuah titik temu sebagai pemahaman baru. (Jessy Ismoyo, 2016)

Di setiap diskusi kelas, biasanya saya selalu menyelipkan gimmick-gimmick sarkas yang khas seperti: "Berbuat baik demi pahala. Nggak tulus amat. Kalau surga ada, kalau nggak?" yang kemudian mengantarkan saya tak sengaja mendengar bisik-bisik mahasiswa menggemaskan kalau saya berjalan di kampus. Tak apalah. Setidaknya ada yang mereka ingat setiap beranjak keluar dari kelas saya. Mudah-mudahan saja pesannya sampai, bukan hanya jadi perdebatan kosong percaya nggak percaya surga itu ada atau tidak. Penting nggak kalau surga itu ada atau tidak? Sebenarnya bukan itu yang penting. Yang penting, saya mengganggu konsepsi ajeg di kepala mahasiswa yang percaya surga itu ada. Kalau sudah diganggu, mudah-mudahan mencari tahu. Dari mencari tahu, setidaknya konsep 'percaya' dibangun dari kesadaran diri.

Iya, konsep percaya yang dibangun karena kesadaran diri itu jauh lebih penting daripada 'percaya yang terberi'. Manut-manut saja...karena percaya...itu sudah dari sananya. Nanti-nanti kalau ada kesalahan, cenderung menyalahkan segala sesuatu di luar dirinya. So I think I can manage the talking that happened behind my back for the greater objectives I aim. No? Tapi, bahaya juga...kalau justru pandangannya ditutup dengan mengatupkan celetukan itu. Ketika semuanya ditelungkupkan, benci disimpan sendiri, nah timbul yang dikatakan penghakiman sebagai pembenaran pusat diri. Di sinilah mulanya segala kekerasan; ketidakmampuan mengatasi konflik yang bermula dari konflik diri mendengar celetukan 'menggemaskan'. Haha. Well, life is life. Classroom is where you start...to adjust, to discuss, to open your mind, to build/to construct discourse...to do basically everything. Everything that happens outside the classrooom, can be brought inside, as long as you do it right.

Hari ini, saya menyampaikan beberapa poin dari pemikiran Homi Bhabha di kelas Multikulturalisme. Keputusan ini boleh dibilang agak gila. Kenapa? Jika dibawakan pada mahasiswa tataran S2 belum tentu semuanya paham. Saya juga gila. Kapasitas mengajar baru, bisa-bisanya 'sok ide' memasukan kajian poskolonialisme dalam kepala mahasiswa tingkat tiga. Apa sih pertimbangan saya? Sederhana saja. Dulu, saya belajar pemikir besar seperti Bourdieu, Baudrillard, Foucault, Derrida di tahun ketiga pula. Almarhum dosen favorit saya pernah berkata: "Diskusi kelas ini lebih menarik daripada yang saya temukan di tataran S2!" Entah kenapa, kata-kata beliau selalu terkenang di kepala saya yang kemudian membuat saya berpikir tidak ada salahnya 'memaksa' sedikit belajar 'lebih' dari yang seharusnya. I'm just thinking...I learn that goddamn deconstruction and sexuality based on Foucault's thinking, and else when I was 20. Jadilah saya memasukan pemikir poskolonial di semester ini. Setelah sebelumnya saya memilih Edward Said dan Gayatri Spivak, kali ini pilihan saya jatuh pada Homi Bhabha - The Location of Culture. Pemahaman 'Ruang Ketiga'. Supaya yang mengajar juga belajar hal baru, tidak itu-itu saja yang disampaikan melulu.

Pembacaan saya terhadap Bhabha membuat isi kepala (seperti biasa) macam-macam isinya. Misalnya, hadirnya karya di bawah ini. Kata-kata yang terangkum karena melihat unggahan teman tentang seorang Pastor, Dietrich Bonhoeffer, yang dieksekusi NAZI pada tahun 1945. Ia menulis sebuah puisi dua tahun sebelumnya di sebuah kertas dan meletakannya di pohon natal. Begini isi puisinya: "Oh God, in me there is darkness but with you there is light. I am lonely, but you do not leave me; I am feeble in heart, buth with you there is help. I am restless, but with you there is peace. In me there is bitterness, buth with you there is patience; I do not understand your ways, but you know the way for me." Kedua karya itu melahirkan gempita makna di kepala saya. Maka dari itu, malam ini, saya menuliskannya...

"Tuhan adalah sela, jeda dan antara...
Tuhan berada di antara dua benda,
dua manusia, di antara sesuatu yang bercela(h)...
Tuhan berada pada waktu istirahat,
menepi sejenak, mengaso sebentar, berhenti untuk mensyukuri...
Tuhan berada pada selang dua peristiwa,
pada posisi yang tidak jauh, menakar iman yang lebih kurang, 
berputar pada ketidakpastian karena semuanya berpegang pada 'kira-kira'...

Tuhan adalah sela, jeda, dan antara...
Sesuatu yang dekat dengan kita,
tetapi tidak dapat kita ambil karena tiada upaya...

Tuhan adalah sela, jeda, dan antara...
Sesuatu yang menjadi perantara atau penengah,
dalam proses bagaimana kita memaknai diri dan perjalanan kita sendiri...

Sungguhlah,
Tuhan adalah sela, jeda dan antara...
Dari Halleluya hingga Alhamdulilah,
Tuhan adalah sela, jeda dan antara,
di mana kita berdua ada....
Saling mencinta, karena berbeda..."

Wacana poskolonial menjadi menarik untuk dibicarakan karena di sana diskursus dibentuk untuk melihat lebih jadi 'peninggalan budaya kolonialisme' dan imperialisme yang terjadi. Dari diskursus, kita dapat menganalisis, membuat sebuah penjelasan, dan merespon isu/fenomena tertentu. Dalam buku Hermeneutika Poskolonial, J. Supriyono mencoba memahami identitas Indonesia dari konsep 'liminalitas' Bhabha. Ia mengatakan bahwa identitas erat dengan pertemuan yang konfliktual dan antagonistik ketika sifatnya statis. Hal ini sejalan dengan pemikiran Stuart Hall, identitas hanya akan menjadi 'masalah' apabila ia statis. Semua yang tidak bergerak 'toh sepertinya akan menjadi 'masalah', ya? Lihat saja, danau yang airnya di situ-situ saja cenderung menjadi tidak elok dan menjadi tempat bersarang hewan-hewan yang menimbulkan penyakit. Berbeda dengan sesuatu yang dinamis, aliran sungai misalnya? Well, sepertinya perbandingan yang tidak cocok. Dalam wacana poskolonial, kuasa dari 'penjajah' atau 'yang dominan' menghasilkan opresi. Dari hal itu, reaksi yang mungkin terjadi adalah resistensi atau adaptasi. Bhabha menyatakan, sesuatu yang kompromis dan dialogis tentu mengarah ke adaptasi, untuk memberikan ide 'memahami' budaya yang lain. Resistensi menjadi sesuatu yang coba ditepikan oleh Bhabha.

Homi Bhabha banyak terinspirasi dengan pemikir-pemikir posstrukturalis seperti Roland Barthes, Jacques Derrida hingga Jacques Lacan. Kebetulan ketiganya dari Prancis. Kebetulan pula saya mendapatkan ketiganya di tataran S1 pula, dalam kelas Dinamika Pemikiran Prancis. Sungguhlah, pengaruh mereka besar sekali dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Menariknya, Bhabha menarik konsep pembentukan 'kesadaran subjek' dari pemahaman Lacan tentang kesadaran dari pengembangan teori Freud. Lacan mengatakan ada tiga tahapan dalam pembentukan kesadaran subjek, yakni: real, cermin, dan simbolik. Dari pemahaman ini, Bhabha menjelaskan bagaimana desire dan demand bergerak dalam konteks power bagi 'penjajah' untuk menentukan 'yang dominan' sebagai representasi realitas sebagai demand.

Fase real terjadi ketika subjek belum mampu membedakan diri dengan realitas, disebut juga fase pre-bahasa di mana tidak ada keutuhan di sana. Fase ini merupakan fase bebas nilai; jika dikomparasikan dengan sudut pandang Hall, mungkin dapat disejajarkan dengan enlightment subject. Sementara itu, fase cermin, subjek membangun 'keutuhannya' dengan usaha menyadari dan mengenali keberadaan diri. Lacan memberikan perumpamaan dengan bayi yang berada di depan cermin. Ia mengenali dirinya 'yang bukan dirinya' di depan cermin. Ia menyadari keberadaan dirinya yang nampak dalam cermin, sekaligus mengetahui ada sesuatu di luar dirinya. Hall mengatakan ini sebagai fase sociological subject di mana kesadaran akan interaksi sosial membangun konsep identitas seseorang.
Masuk ke fase simbolik, di tataran ini subjek mengenali dirinya melalui bahasa. Subjek menempatkan atau ditempatkan diri dalam masyrakat. Frantz Fanon menyebutnya dengan negating activity. Contoh saja: seorang bayi tidak tahu ia berkulit hitam atau putih, etnis Tionghoa atau Jawa, ras Kaukasian atau Mongoloid. Ia mengenali dirinya sebagai yang berkulit putih, etnis Tionghoa dan ras Mongoloid ketika dalam tahapan cermin. Setelah itu, ia mengetahui posisinya dalam masyarakat dalam  simbolik. Ia mengenal 'identitas-identitas' tempelan dari negating activity yang diteorikan Fanon. Kembali pada ide awal Bhabha, ia mengatakan pemahaman subjek pada tataran simbolik mungkin saja merupakan demand dari 'yang dominan' dalam perwujudan realitasnya.

Saya mungkin tidak akan menjelaskan mimikri, ambivalensi, dan hibriditas identitas secara mendalam dalam unggahan ini. Namun hal lainnya yang saya fokuskan adalah konsep liminalitas dan pembentukan ruang ketiga. Dari proses pembentukan subjek 'kolonial' yang dijelaskan sebelumnya, subjek akan sampai pada posisi liminal atau di ambang. Posisi ini merupakan sebuah momen transit, demikian disebutkan Supriyono, mengutip Romo Mudji. Pada momen transit, perlintasan ruang-waktu terjadi atau time-lag. Keadaan ini menempatkan 'penjajah' atau 'yang dominan' dan 'yang terjajah' pada kondisi keterasingan dan disorientasi. Bhabha menekankan bahwa keterasingan merupakan sesuatu yang baik. Keterasingan adalah sebuah cara untuk 'melawan' demi pembebasan wacana dominan. Liminalitas justru merupakan ruang antara di mana perubahan budaya dapat terjadi, oposisi biner dapat digagas kembali. Tidak hanya berhenti di diferensiasi dalam pembeda-pembeda untuk melihat adanya diskriminasi. Bhabha membawa lebih jauh pada pembentukan ruang ketiga di mana interaksi simbolik terjadi.

Pada ruang ketiga, menariknya, 'teks' dominan tidak dapat (di)mati(kan); hanya mungkin ada pemaknaan tunggal. Hal itulah yang memungkinkan adanya propaganda atau yang disebut Bhabha 'homogenisasi yang dipaksakan'. Pluralitas heterogenitas ditiadakan. Karena teks tidak dapat dimatikan, maka ia hanya dapat diperbaharui. Untuk dapat paham konsep ruang ketiga, subjek harus melalui tiga tahapan: keterlibatan, kontestasi, dan penyesuaian. Itulah alasannya adaptasi menjadi penting daripada resistensi dalam kajian poskolonialisme. J.Supriyono memberikan contoh menarik Nyanyian Sunyi Seorang Bisu karangan Pramoedya Ananta Toer sebagai bentuk ruang ketiga. Buku ini menghadirkan ruang keterlibatan subjek, kontestasi atas realita yang terjadi di Pulau Buru ketika penulis menjadi Tapol, dan penyesuaian dengan realitas. Ada banyak bentuk Ruang Ketiga yang dapat ditemukan. Misalnya saja, keberadaan musik Hip Hop sebagai medium rekonsiliasi di Ambon pasca konflik agama yang terjadi pasca kejatuhan Soeharto. Bagaimana musik Hip Hop dapat membentuk identitas baru yang mensubstitusi identitas 'Menjadi Ambon'. Identitas ini kemudian menjadi lebih penting daripada 'Menjadi Islam' atau 'Menjadi Kristen' yang menjadi ihwal konflik di Maluku Tana Beta. Keberadaan ruang ketiga dalam contoh Hip Hop di Ambon ini juga bentuk hibridisasi identitas, konsep lainnya yang dikatakan Bhabha.

Dari pemaparan di atas, dapat dibuat sebuah simpulan (bukan kesimpulan, hanya simpulan saja) bahwa perlu dibentuk semakin banyak ruang ketiga sebagai bentuk adaptasi dari wacana yang berkuasa. Dengan hal ini saja, identitas dapat terus (setidaknya) berjarak dari konflik dan jauh dari sifat antagonis, supaya makna politisasi identitas dapat digantikan dengan konsep hibridisasi identitas. Saya rasa, Indonesia banyak membentuk ruang ketiga baik dalam literatur, film, dan wacana-wacana kecil di media sosial yang perlu terus diusahakan. Contoh saja, Rangkul Project yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Proyek ini menginisasi nilai-nilai keberagaman dalam foto, video pendek, dan karya lainnya yang dibuat oleh anak-anak sekolah menengah atas di Jakarta. Tidak hanya itu, Kampung Halaman Yogyakarta juga misalnya yang setia menyerukan isu-isu kemanusiaan dalam bentuk film dokumenter. Hal yang sama juga dilakukan Engage Media dalam membangun Ruang Ketiga untuk teman-teman di Papua lewat media audiovisual. Dari tiga contoh yang saya hadirkan, poin pentingnya adalah eksistensi media. Semua konsep Bhabha akan semakin efektif dengan penggunaan media sebagai komunikasi antarbudaya (sebagai bentuk penerjemahan budaya). Saya rasa itu saja yang dapat saya sampaikan dalam unggahan ini. Hope you can find it useful.

Dengan kasih,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts