Catatan Harian Orang Kamoro
Ide: Hilangnya
ndaita akibat kristenisasi yang
terjadi di Timika.
Indonesia
bagian timur. Waktu Indonesia bagian timur, +10 GMT. Provinsi Irian Jaya, yang
sekarang kerapkali disebut Papua. Aku. Aku orang Kamoro, salah satu suku asli
dari banyak suku yang mendiami pulau
berbentuk kepala burung Cendrawasih ini. Aku tinggal di kabupaten Mimika.
Pemandangan teluk Etra di barat laut, sungai Otokua di bagian Selatan dan pegunungan
Charstenz di bagian utara. Orang tidak
begitu mengenal apa itu orang Kamoro, dari banyaknya suku yang mendiami
Indonesia, aku tidak heran mereka tidak mengetahui atau sedikit saja niatan
mereka untuk mencari tahu tentang keberadaan kami. Orang Kamoro, lebih sering
disebut sebagai orang Timika.
Namaku
Joanna, 20 tahun, aku tinggal di desa
Mwapi. Aku tinggal di sebuah taparu[1]
yang sangat berdekatan dengan sungai Etra. Dalam taparu kami, terdapat tiga taparu
kecil lainnya yang berisikan tiga kepala keluarga, dan tidak jauh dari taparu kami, ada taparu besar lainnya
yang berada condong ke hutan. Puji Tuhan, wilayah yang aku tempati tidak
terlalu gersang karena berada di pinggiran sungai, dan berdekatan dengan hutan,
sehingga kami tidak kesulitan dengan keharusan berpindah-pindah pada setiap
musim. Sebagian dari kami yang kurang beruntung harus hidup secara nomaden berdasarkan musim, ketika
kemarau mereka hidup di tepi pantai atau di muara sungai sedangkan pada musim
hujan, mereka berdiam di hutan sagu.
Aku
mulai menulis catatan ini sejak setahun lalu. Pamanku yang berada di Jakarta
sering mengirimkan beberapa catatan yang menumbuhkan minatku pada menulis, dan
sebagai gantinya aku menuliskan perkembangan keadaan disini kepada paman. Tidak
banyak yang bisa kutulis namun aku mencoba menjelaskan apa yang kupikirkan
kepada paman, barangkali dapat menjadi hiburan dikala rindu kampung halaman.
Kami,
orang Kamoro, mencari nafkah dengan bekerja di hutan sagu ataupun mencari ikan
di sungai. Apa yang kami makan hari itu adalah hasil carian kami, dan
sebagiannya kami jual untuk ditabung. Tidak mudah mencari nafkah pada masa
sekarang ini, kondisi tanah sudah berkurang, dan hasil penanaman sagu tidak
sebanyak dulu. Ikan-ikan di sungaipun tidak sebesar dan sebanyak dulu, hingga
sampai suatu hari aku dan keluargaku harus berkumpul bersama keluarga lainnya
untuk mengumpulkan makanan dan makan bersama. Kondisi musim yang tidak dapat
diprediksi juga menambah kekhawatiranku akan pendapatan setiap hari, taka pa
jikalau tak ada uang yang harus ditabung, tetapi tak mungkin harus kubiarkan kedua
adikku makan sagu dari beberapa hari lalu.
Ayahku
adalah seorang taperamako atau amoko tanah[2],
kewajibannya menjaga kesejahteraan tiap-tiap taparu kecil. Aku tidak mengerti dengan budaya taparu, berkali-kali mendengarkan penjelasan ayah tentang
pentingnya menjaga budaya ini tidak meninggalkan jejak apapun diotakku. Yang
aku tahu, berdasarkan cerita saudara sepupuku, Aina, ia harus meninggalkan taparu-ku setelah berdebat panjang
dengan taparu di desa Kaurgapu. Budaya
taparu ini mengharuskan ayahku
bertarung jiwa dan raga untuk menjaga tanahnya, karena kami, orang Kamoro
percaya bahwa setiap manusia yang tinggal dalam taparu mempunyai relasi yang sangat kuat dengan tanah yang ditinggalinya,
dipercayai sebagai leluhur.
Minggu
pagi, sepulang misa, dan pengakuan dosa bersama pastur, aku kembali ke rumah
bersama ayah. Aku memberanikan diri mengajukan beberapa pertanyaan tentang taparu dan ayah dengan sukacita
bercerita.
Dari
pemerintahan Belanda, setiap taparu
sudah ditata sedemikian rupa sehingga memiliki fasilitas yang lengkap, seperti
: kantor pos, gereja, sekolah, balai desa, dan rumah guru. Adanya gereja
disetiap taparu disebabkan penyebaran
agama Katolik yang sukses pada pertengahan abad ke-XIX, harus kuakui bahwa
tidak sedikit konflik yang terjadi akibat Kristenisasi yang terjadi hingga saat
ini.
Comments
Post a Comment