Tanah Surga...Katanya


Bukan lautan hanya kolam susu katanya
Tapi kata kakekku hanya orang kaya yang minum susu
Tiada badai tiada topan yang kau temui
kain dan jala cukup menghidupimu katanya
Tapi kata kakekku ikannya diambil negara asing
Ikan dan udang menghampiri dirimu..katanya
Tapi kata kakekku ssh..ada udang di balik batu
Orang bilang tanah kita tanah surga..katanya
Tapi kata dokter Intel yang punya surga hanya pejabat-pejabat…


Itulah petikan puisi yang dibacakan Salman ketika acara di sekolah perbatasan Indonesia, Kalimantan Barat dengan Malaysia, Sarawak. Tema perbatasan sudah diangkat akhir-akhir ini, terutama saat perayaan 17 Agustus kemarin. Bagaimana rasa nasionalisme mereka yang tinggal di perbatasan? Kali ini "Tanah Surga...Katanya" menghadirkan ironi yang membuat hati kecil kita tersedak kenyataan kita sebagai warga negara Indonesia sendiri. Itu dari perspektif saya sendiri. Do we have the same perspective towards this issue?

Sejujurnya, saya harus berdiri dan bertepuk tangan untuk DEMI GISELA CITRA SINEMA yang merealisasikan film ini ke layar lebar Indonesia. Awalnya, saya sudah amat sangat menanti film ini keluar. Namun, promo yang minim atau mungkin saya yang kurang informasi membuat telatnya kabar film ini sudah muncul di beberapa bioskop Indonesia. Tidak sengaja melihat beberapa DVD, saya menemukan DVD ini di antara banyak DVD lainnya. Niat awal mencari Di Timur Matahari, saya memutuskan untuk menonton film ini terlebih dahulu. Saya sudah cukup lama melihat trailer film ini dan memang jatuh cinta dengan plot ceritanya. Isu nasionalisme perbatasan sudah sedari lama menimbulkan tanda tanya di kepala saya.

Ironi memang merupakan cara ampuh untuk mengetuk pintu hati, menyadarkan mata yang tertutup ataupun pura-pura menutup tidak peduli. Ironi memperlihatkan dengan jelas jarak yang ada, ketimpangan yang terjadi, sesuatu yang kadang terlupakan oleh kita. Film ini sukses membawa semuanya. Dengan line "Jangan sampai kehilangan CINTA pada negeri ini", film ini dibuka dengan keheranan seorang dokter relawan pendatang yang bertanya pada guru setempat 'mengapa salah seorang dari anak murid mereka menolak untuk diberikan Rupiah? He preferred to be given Ringgit instead Rupiah? I've been asking - is it really happening in a real life? Setelah ditanyai alasannya, usut diusut bahwa penduduk Indonesia perbatasan menghidupi dirinya dengan berdagang ke Malaysia - dan mata uang yang digunakan adalah Ringgit. Ironi bukan? Ironi tidak berhenti di situ saja. Hasyim, kakek Salman, adalah mantan veteran perang. Ia begitu membenci Malaysia dan begitu mencintai Indonesia. Ia menolak untuk pindah ke Malaysia. Dialog anata Hasyim dan ayah Salman menggugah saya dan saya hanya bisa tersenyum kecut seolah saya benar-benar tersakiti hatinya, seperti orang yang kita percaya menghianati kepercayaannya pada kita. Itu yang saya rasakan. Bagaimana ayah Salman mencoba meyakinkan ayahnya akan kehidupan yang lebih baik...di negeri orang. Bagaimana ayah Salman meyakinkan akan negara tercintanya yang tidak memperlakukannya dengan baik, tidak menjamin kesejahterannya...berbeda dengan negara di seberang sana. Ironi ya? Yes, that't the most ironic things I've heard...and the most heart-shaking part is when Hasyim said: "It is not the country or the government we blame it on, but in yourself - do you really love your country?"

Memang Hasyim terkesan begitu idealis, ketika anaknya hanya mencoba untuk menjadi realis. Menurut saya, ini pukulan bagi  kedua pihak. Kritik pedas ditujukan bagi bangsa yang tidak dapat menjamin kesejahteraan bangsanya, juga untuk warga negara yang tidak berjuang untuk mencintai bangsanya sendiri, untuk warga negara yang terkikis rasa nasionalisnya demi perut. Saya tidak berpihak di sini, saya hanya memaparkan dua sisi yang luar biasa ditampilkan dalam film ini. Ironi lainnya muncul ketika anak-anak sekolah diminta menyanyikan lagu kebangsaan mereka dan mereka berakhir menyanyikan lagu "Kolam Susu".  Ironi paling luar biasa muncul ketika puisi Salman dibacakan. Awalnya, orang pemerintah hendak memberikan bantuan pada sekolah itu dan harus berakhir dengan sebaliknya...karena puisi Salman yang menyinggung harkat dna martabat mereka...katanya. Untuk masalah itu, asumsi berada di tangan penonton untuk menilainya :)

Satu yang saya harus jelaskan di sini. Mengutip kalimat pembukaan di buku Ayu Utami yang berjudul "Bilangan FU" saya merapalkannya berkali-kali saat menonton film ini... Untuk Indonesia, negeri yang dengan sedih aku cinta. Ya, ini untuk Indonesia. Dengan ironi, sarat kesatiran, dan dengan sedih aku cinta. Namun satu hal yang pasti, cinta pada Indonesia itu tidak akan berhenti. Nasionalisme itu tidak akan padam hanya karena sifat oportunis yang ada pada masing-masing orang. This film fulfilled its goal, it brings the nasionalism in every of you. Adegan favorit saya adalah saat seorang Salman membeli kain dengan hasil jerih payahnya sendiri dan memberikan kain itu kepada seorang melayu yang menggunakan bendera Merah Putih untuk barang dagangannya. Itulah cara Salman mencintai Indonesia, bagaimana cara kamu? Adegan Salman berlari diiringi lagu Indonesia Pusaka mengembalikan lagi rasa cinta tanah air yang sempat luput dari diri saya. Like I said before, this movie is beatifully made for its purpose. Saya cinta Indonesia.

Comments

Popular Posts