Optimalisasi Pekan Raya Jakarta (PRJ) sebagai Wujud Pengembangan Budaya Betawi dalam Pariwisata Internasional


Batavia, itulah sebutan “kumpeni” zaman penjajahan Belanda dulu untuk memanggil masyarakat lokal Jakarta. Istilah Batavia lambat laun berubah menjadi betawi, menyesuaikan pelafalan lokal masyarakat Indonesia. Kini, kita mengenal betawi sebagai masyarakat asli D.K.I. Jakarta, ibu kota Negara Indonesia.

Betawi  adalah suku bangsa yang mendiami kota Jakarta. Betawi yang terkenal dengan ondel-ondelnya, sebagai salah satu icon budaya. Berdasarkan sudut pandang sejarah, suku Betawi terbentuk karena akulturasi budaya yang  terjadi pada abad ke-16 akibat perdangangan di pelabuhan Sunda Kelapa. Faktor geografis inilah yang menyebabkan timbullah suku Betawi kisaran tahun 1815-1893 (http://betawi.blogsome.com/category/sejarah-betawi/)  sebagai hasil percampuran budaya dari etnis Melayu, India, Tionghoa, Arab, serta dari beberapa suku lainnya di Indonesia seperti Jawa, Sunda, Sumbawa, dan Bali. Penduduk Betawi tersebar di segala macam penjuru Jakarta. Awalnya, orang Betawi hanya menyebut diri mereka sebagai penduduk yang tinggal di daerah mereka masing-masing, misalnya : Orang Kemayoran, Orang Depok, Orang Rawabelong, Orang Kampung Tugu, dll. “Perkumpulan Orang Betawi”  muncul sebagai pergerakan nasional yang dibuat oleh MH Thamrin, sebagai bentuk sadarnya masyarakat Betawi atas budaya mereka.

Hal ini dibuktikan dengan warisan budaya Betawi yang begitu beragam, dari kesenian musik, tarian, pertunjukkan, maupun makanan. Salah satu contoh budaya Betawi yang merupakan hasil akulturasi adalah alat musik khas Tionghoa, tehyan, kongahyang, dan sukong yang digunakan dalam Gambang Kromong. Pertunjukkan Lenong yang juga merupakan adaptasi dari pertunjukkan Tionghoa, dengan menggunakan bahasa Melayu dengan dialek khas Betawi yang menjadikan seni pertunjukkan yang terkenal ini adlaah bukti dari akulturasi budaya yang membentuk budaya Betawi. Tarian-tarian seperti tari yapong,  tari topeng Betawi, dan tari cokek juga merupakan sebagian contoh tarian yang terbentuk dari kebudayaan Betawi. Tidak hanya itu, Marawis, samrah, dan rebana juga menjadi bentuk kebudayaan Betawi yang merupakan hasil dari pengaruh kebudayaan Arab dan Melayu. Belanda dan Portugis sebagai penjajah juga meninggalkan jejak budaya bagi kebudayaan Betawi seperti Tanjidor, arak-arakan pernikahan dengan menggunakan berbagai macam alat musik dan terompet yang sangat besar, sedangkan keroncong tugu merupakan musik yang menggunakan berbagai macam gitar, jenis musik ini berkembang di Jakarta bagian utara, tepatnya di Kampung Tugu, tempat penduduk-penduduk campuran Betawi dan Portugis tinggal. (http://www.anneahira.com/kebudayaan-suku-betawi.htm) Pengaruh budaya Arab kental dalam kuliner khas Betawi, seperti Ali Bagente (kerak nasi yang digoreng dan dicampur gula merah), nasi tomat yang mirip dengan masakan India, selain itu ada gula kacang hijau yang nama sebenarnya adalah dalcha dalam bahasa Arab, serta roti mariam, roti dengan taburan gula yang mirip dengan roti cane. (http://betawi.blogsome.com/category/makanan-khas/) Kebudayaan juga tampak dari peninggalan-peninggalan Belanda, seperti gereja Imannuel karya Jendral Daendels di daerah Menteng, gereja Katedral di Jakarta Pusat,  Gedung kesenian, Pintu air Manggarai, pasar Boplo, dan kawasan Kota, museum Fatahillah. Begitu banyaknya kesenian dan peninggalan sejarah ini menjadikan budaya ini memiliki muatan lokal yang cukup tinggi.

Keunikan budaya Betawi dapat menjadi nilai lebih bagi kepariwisataan, tidak hanya lokal namun dapat melampaui internasional. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan peran pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan budaya Betawi. Pemerintah dapat berperan dalam pelestarian budaya ini melalui 2 cara, ekstensifikasi dan intensifikasi. Pelestarian budaya dengan cara intensifikasi dinilai lebih bijak untuk saat ini, karena pembenahan yang baik dari dalam akan meningkatkan kualitas budaya lokal yang secara langsung dapat menarik pariwisata Internasional. Melihat kondisi saat ini, tidak dipungkiri globalisasi menjadikan Jakarta sebagai kota modern. Modernisasi yang terus terjadi di Jakarta menimbulkan pertanyaan bagaimanakah posisi budaya Betawi sebagai budaya asli Jakarta? Bagaimanakah penduduk-penduduk asli Betawi bertahan ditengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi? Apakah usaha PEMPROV DKI dan masyarakat untuk mengatasi hal tersebut? Pelestarian budaya betawi sebagai aset lokal adalah langkah awal untuk menuju ke tahap internasional. Pemerintah telah melakukan berbagai usaha untuk melestarikan budaya Betawi dan mengangkatnya ke dunia pariwisata Internasional.

PEMPROV DKI membuka perkampungan masyarakat asli betawi, Setu Babakan. Daerah ini terletak di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Pembangunan perkampungan budaya Betawi diatas tanah seluas 66 hektar, terdapat ondel-ondel yang dikenal sebagai boneka penolak bala dalam budaya Betawi. Perkampungan budaya Betawi juga menghadirkan suasana Betawi tahun 1920-an dengan beragam seni pertunjukkan. Penduduk di perkampungan ini berbicara dialek asli betawi. PEMPROV DKI juga berupaya untuk menanamkan kesadaran atas identitas lokal penduduk Jakarta sejak dini, untuk itu pemerintah memasukkan pendidikan tentang budaya Betawi dalam kurikulum pembelajaran sekolah-sekolah di wilayah Jakarta. Usaha PEMPROV DKI juga terlihat dari acara pemilihan Abang-None Jakarta sebagai duta pariwisata Jakarta, dan iklan enjoy Jakarta sebagai iklan untuk menarik minat para wisatawan asing melihat lebih jauh Jakarta dan seluk-beluk budayanya. Gubernur Jakarta juga memberikan penghargaan bagi penulis buku tentang budaya ini, dengan harapan akan lebih banyak lagi masyarakat yang sadar akan pentingnya budaya Betawi. PEMPROV DKI  juga membuat festival Betawi yang diadakan setahun sekali di Kemang dan festival palang panjang, festival ini menghadirkan seni pertunjukkan, tari, dan kuliner betawi. Pekan Raya Jakarta (PRJ) yang berlangsung setiap tahunnya dalam memperingati hari jadi kota Jakarta juga merupakan salah satu usaha pemerintah menghadirkan budaya Betawi dari segi kuliner ditengah kehidupan metropolis masyarakat Jakarta.

Pekan Raya Jakarta merupakan acara tahunan PEMPROV Jakarta dalam memperingati hari ulang tahun kota Jakarta. Pekan Raya Jakarta, dikenal juga sebagai Jakarta Fair, dilaksanakan sekitar tanggal 21 Juli, tanggal ulang tahun kota Jakarta. Pekan Raya Jakarta sudah ada sejak tahun 1962 dibuka oleh presiden Soeharto, namun sejak tahun 1992 direlokasi ke Kemayoran.
PRJ merupakan acara dengan skala internasional, dilihat dari besarnya stand yang dibuat, lamanya acara yang dibuat, pengisi musik yang merupakan band-band kelas atas,  13 zona pameran, kapasitas tempat parkir mencapai 9000 mobil dan 25.000 motor dan ribuan pengunjung setiap harinya. Dilihat dari tujuan awalnya sebagai festival, PRJ memiliki potensi besar untuk menarik perhatian wisatawan lokal maupun internasional. Hal ini menjadi peluang yang baik untuk mengembangkan budaya Betawi dalam pariwisata Internasional. (http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2010/06/28/brk,20100628-258994,id.html)

Kondisi ini cukup ironis, melihat banyaknya budaya Betawi yang menarik, yang dapat dipromosikan melalui PRJ, seperti pertunjukkan lenong, gambang kromong, teater Betawi, dan wayang Betawi. Untuk itu, usaha yang dapat dilakukan adalah pelestarian berbasis masyarakat lokal, dengan mempertahankan identitas dan integritas budaya Betawi ditengah modernisasi Jakarta dan menonjolkan eksistensi kekhasan budaya lokal Betawi dalam acara berkonsep ‘modern’ seperti PRJ. Adanya unsur budaya tersebut dapat menjadi nilai plus dalam rangkaian acara PRJ, tidak hanya menarik perhatian turis asing, tetapi juga menghadirkan pembuktian bahwa masyarakat kota Jakarta adalah masyarakat yang tidak melupakan budayanya. Adanya budaya Betawi dalam serangkaian acara PRJ juga menjadi cerminan yang baik untuk seluruh masyarakat kota Jakarta bahwa PEMPROV DKI dapat melakukan lebih dari sekedar penggusuran masyarakat Betawi ke pinggiran kota lalu membentuk perkumpulan tempat tinggal orang Betawi. PEMPROV DKI dapat membuktikan bahwa dalam sebuah konsep acara besar seperti PRJ, pemerintah memikirkan bagaimana membawa kebudayaan Betawi didalamnya sebagai sebuah potensi besar bagi budaya Betawi dalam pariwisata Internasional. Dibutuhkan keikutsertaan masyarakat dalam mendukung keadaan ini, sehingga budaya Betawi tidak akan punah melainkan tumbuh berkembang seiring dengan modernisasi yang terjadi di Jakarta.

Optimalisasi perlu dilakukan dalam pengadaan budaya Betawi di PRJ, tidak sebatas di kuliner saja tetapi dibidang peninggalan sejarah kota Jakarta, kesenian tari, musik, dan pertunjukkan. Beberapa contoh yang dapat dilakukan pemerintah antara lain :
-       Menghadirkan kesenian kontemporer dalam bidang tari, musik, maupun pertunjukkan. Memasukkan unsur kontemporer adalah salah satu usaha agar kesenian dapat dengan mudah diterima bagi beberapa kalangan masyarakat. Pengembangan konsep kesenian tradisional dengan cita rasa kekinian patut dipertimbangkan untuk pelestarian budaya.
-       Memperkenalkan cerita-cerita rakyat Betawi dengan sasaran anak usia TK-SD, dengan membuat film-film animasi, panggung boneka, atau hanya sekedar dengan konsep story telling. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mengenal sejarah Betawi sejak dini untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan tanggung jawab untuk ikut serta dalam pengembangan budaya ini. Konsep ini dapat dibuat lebih menarik dengan keikutsertaan Abang-None Jakarta sebagai story teller.
-       Menghadirkan minatur-miniatur situs historis dan presentasi tentang situs tersebut, dari Kota Tua hingga gejera Imannuel. Hal ini akan menarik minat para turis asing untuk mengetahui lebih dalam tentang sejarah kota Jakarta.

Dengan membentuk sebuah booth yang berisikan tentang Betawi berpartisipasikan seluruh Abang-None Jakarta, Si Doel anak Sekolahan, Lenong bocah, serta public figure lainnya, juga pameran foto dan lukisan yang kental dengan betawi membuat pengunjung tertarik untuk melihat, singgah, dan mengenal sedikit lebih banyak tentang budaya Betawi.

Berdasarkan pemaparan diatas, promosi budaya Betawi lewat PRJ merupakan sarana yang tepat untuk pengembangan pariwisata internasional dan menarik minat turis asing. PRJ dirasa potensial karena berlokasikan di Jakarta, animo masyarakat yang tinggi setiap tahunnya, dan setaraf dengan festival-festival internasional sehingga memungkinkan untuk menarik perhatian wisatawan asing. Optimalisasi PRJ adalah langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pengembangan budaya lokal sekaligus menjadikan budaya Betawi sebagai suatu budaya yang memiliki daya tarik lebih dimata wisatawan asing.

Ditulis oleh:
Petsy Jessy Ismoyo
(demi memenuhi syarat seleksi fakultas - mahasiswa berprestasi 2010)

Comments

Popular Posts