24


"Karena waktu berjalan dengan cepatnya, dua puluh empat hanyalah fase di mana seseorang harus meluruhkan rasa takutnya, memperjuangkan keyakinannya, dan meretas seluruh keraguannya, demi menghindari penyesalan yang datang nanti-nanti."
(Ismoyo, Jessy)

Tahun ini memberikan buku pada diri sendiri. Tahun ini membaca dua buku Murakami dalam satu tahun yang mana jarang terjadi. Tahun ini tetap dikelilingi orang berarti. Tahun ini nampaknya ada sedikit perbedaan di mana semesta memberikan cahaya untuk melihat yang jauh di sana layaknya mercusuar di ujung tebing lautan. Tahun ini banyak salah kaprah, salah arah, salah posisi, salah arti, salah-salah yang membuat jauhnya berlari tanpa henti seperti dikejar hantu, kemudian menjadi tak bernyali. Begitu banyak alasannya untuk lari. Satu tahun ini dipenuhi pelarian di sana-sini untuk membuktikan kutipan Murakami bahwasanya kita tidak akan pernah mampu berlari sejauh apapun dari gaungan suara kepala adalah benar.

Adapun orang bijak adalah mereka yang mampu mengubah pola pikir dan cara pandangnya terhadap kehidupan. Menunda reaksi masih menjadi prioritas utama. Menahan cerita tetap jadi opsi kedua setelah membiarkan orang lain bahagia. Di antara semua hal yang dapat terjadi di tahun ini, nampaknya membiarkan diri sendiri bahagia bukanlah yang dilakukan pendosa. Ada batasan tertentu antara menjadi bahagia dan terdiam dalam kenyamanan. Bahagia adalah menularkan senyuman bagi mereka yang memerlukan, pun pada kenyataannya diri kitalah yang paling membutuhkan hal tersebut. Tidak dipungkiri sesuatu yang dilarikan tiap harinya, diremuk-redamkan tiap bulannya, dirembeskan tiap bulannya, ditimpali tiap tahunnya, akan tetap kembali dalam bentuk fiksi untuk diri sendiri.

Tahun ini, mungkin belajar untuk lebih lagi menguasai hati. Bukan untuk sekadar bahagia saja, bukan. Tentu saja bukan. Bahagia akan menemukan jalannya dalam ketidakbahagiaan. Karena pergumulan dan kesendirian datang bersamaan, untuk itulah kebahagiaan mendustai kehidupan. Padahal tidak. Dusta itu menanggalkan cangkangnya dan memberi kehidupan baru pada cinta. Karena pada akhirnya, kita semua akan bahagia dengan cara kita masing-masing. Sementara, kenyamanan memalsukan realita. Menahan diri merasakan kebahagiaan lebih dari seharusnya. Meringkukkan diri kita seperti janin yang butuh kehangatan. Kenyamanan bukan kebahagiaan. Itu perbedaan dasar dari kericuhan setahun ini. Boleh saja kita nyaman dan merasa kita memalsukan kebahagiaan, tapi sesungguhnya bahagia adalah nestapa yang diperjuangkan bersama.

Tidak banyak yang dapat dikatakan dalam usia ini. Karena pengembangkan diri tidak pernah berhenti. Karena usaha meletakkan senyuman di wajah orang lain tak boleh berhenti. Karena mengatakan tidak kadangkala diharuskan. Karena mencinta dan mendamba adalah dua hal berbeda. Karena merindu dan menyandu bukan pada satu sisi. Karena nafsu dan belenggu saling meresidu. Karena kepercayaan dan kehilangan serasa serta sejiwa. Begitu banyak rasa syukur pada semesta atas pelajarannya. Di antara semuanya, pelajaran untuk mengatakan apa yang kita rasakan adalah yang utama. Selain itu, mungkin benar kata Bukowski: "Dear friend, find what you love and let it kill you. Let it drain in you of your all. Let it cling onto your back and weigh you down into eventual nothingness. Let it kill you and let it devour your remains. For all things will kill you, but it's much better to be killed by a lover."

Timbul kemudian laki-laki ini yang menjadi tuhan atas dirinya sendiri. Sebelah jiwanya mendamba, sebelah lagi mencinta. Tuhan saja dengan Amsal dan Mazmurnya. Hatinya tak terlihat namun terasa seperti iman yang mengharuskan seseorang percaya. Kalau percaya pada Tuhan yang esa, analogi tuhan-nya masuk logika. Tutup tahun ini ibaratnya menata kembali demi tuhan dalam diri sendiri. Tuhan dengan huruf kapital merenda harapan dengan tuhan yang beresonansi dalam kedutan mata.

Mungkin tahun-tahun ke depannya akan lebih baik dengan tujuan-tujuan yang belum selesai. Banyak hal yang harus disegerakan. Tuhan menjawab doa sebagai balas jasa diri ini. Tuhan menjawab bahwa penantian akan berujung pada akhir yang mengantar pada penantian lainnya. Itu akan berhenti sejenak dan kembali menjadi perjalanan baru. Tuhan mengiyakan untuk melepaskan yang bukan miliknya, juga menggerayangi rasa pada yang seharusnya ada untuk kita.

Mungkin kesemuanya itu harus lagi kembali pada kesadaran bahwa memang Tuhan hanya sejauh doa. Hanya doa yang merengkuh harapan yang nampaknya tersia. Begitu juga jiwa-jiwa yang terlewat dalam perjalanannya. Dalam doa, mereka akan kembali pada bentuk seharusnya. Akhir kata, selamat menikmati paparan hati dalam kata yang tak sudi lagi ditutup-tutupi. Dengan terus mengulang-ulang kata mungkin, sejujurnya itu adalah keinginan agar banyak lagi pintu dibuka demi rasa ingin tahu yang menggunung.


Jakarta,
4 Desember 2014

Comments

Popular Posts