Dibohongi Senja

"Nostalgia? How could he feel nostalgia when she was right front of him? How can you suffer from the absence of a person who is present? You can suffer nostalgia in the presence of the beloved is no more; if the beloved's death is, invisibly, already present." (Kundera, Identity)

Kita semua tidak pernah mau mengulang kesalahan lama, tapi tak kuasa menolak berlama-lama menikmati sisaan bahagia atau nestapanya. Waktu membunuh dengan meninggalkan potongan kenangan dalam benda ataupun pecahan visual. Mungkin itu alasannya mengapa orang menyimpan barang lama supaya mengenangkannya pada suatu masa. Kita menyelipkan satu tanda kecil. Tanda yang mana kita pikir tak diketahui orang. Tanda yang dipakai untuk sekadar bernostalgia akan sesuatu yang telah berlalu. Entah intensinya agar rasa hangat menyergap dan mengobati sepi; atau mengingatkan kembali patahnya jiwa yang pernah jatuh cinta?

Bohongilah diri sendiri. Bohongi sampai mati. Karena sesuatu yang harus tersingkap, akan terbeber dalam waktu juga. Tak perlu celetuk ibarat pelatuk. Semua ada masanya. Tidak terlihat bukan berarti tak ada, begitu pula kebohongan tentang apa saja. Mungkin itu alasannya orang mengulang sebuah kisahan sama agar kebohongan yang mereka selipkan dapat menjadi nyata dan meredakan kerinduan yang ada.

Mungkin juga sebenarnya justru memang seharusnya jadi gagu. Memang tak pernah mungkin kita menggenggam pasir begitu lama dengan jumlah yang sama, ia tentu akan berkurang seiring masa. Tak ayal kita merasa pernah melalui sesuatu, merasa pernah bertemu dengan orang tertentu, merasa menjadi sesuatu yang tak pernah ia pikirkan, ataupun kebalikannya; merasa asing dengan sesuatu yang sudah menjadi konsumsi sehari-hari.

Ada benarnya jika kita asumsikan bahwa perasaan itu adalah semesta pemecah jiwa kita pada setiap kenangan yang ditorehkan dalam jejak hidup masing-masing. Tawa, canda, tangis, jelaga, gulana, apapun itu hanyalah unsur penikmat belaka. Semua ditambah-tambahkan untuk mengurangi fakta. Tidak ada yang pasti. Itulah kepastian yang pasti daripada seluruh ketidakpastian. Namun, jangan pernah meremehkan intuisi. Karena pada visi yang tak jadi misi, penglihatan pun menjadi jeli seperti orang yang pura-pura bernyali. Mungkin aku layaknya tuhan dalam Nietzche-mu. Sudah tak ada lagi. Sudah mati.


Cibubur,
1 Desember 2014

Comments

Popular Posts