Intoxicated Emotions



Life is combined of wisdom and knowledge, and this journey on Ubud Writers and Readers Festival 2014 offered both at once. Oleh: Jessy Ismoyo. Fotografi: Dok. UWRF 2014.

As Jimi Hendix said that knowledge speaks but wisdom listens, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) this year gives you the exact feeling to rejuvenate your soul. Acara tahunan yang sudah kali kesebelas dilaksanakan ini ibarat magnet bagi setiap penulis dan pembaca untuk berkumpul, berdiskusi atau mungkin sekadar bersenggama secara intelektual. Dengan 22 venues, festival ini mengadakan sekitar 250 program acara yang berhasil menarik 250.000 orang untuk hadir. UWRF 2014 mendatangkan tepatnya 160 penulis dari berbagai negara, sebagian besar berasal dari Australia, Indonesia, India, USA, Portugal, Kanada, UK, Irak, New Zealand, dan Spanyol. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kuantitas penulis Indonesia pada festival tahun ini tidak sebanyak tahun kemarin. Sebut saja Goenawan Mohamad, Ucu Agustin, Ahmad Fuadi, Bondan Winarno, Maggie Tiojakin, Nadya Hutagalung, Robi Navicula, dan Suzy Hutomo, Pangeran Siahaan dan beberapa nama uprising writers lainnya. Deretan nama tersebut masih terhitung sedikit dibandingkan dengan nama-nama penulis luar yang mampu membelalakan mata seperti Mukesh Kapila, Pallavi Ahyar, Rayya Elias, Elizabeth Pisani, Daniel Ziv, Liam Pieper, Kate Holden, dan masih banyak lagi nama besar lain yang karya-karyanya sungguh menginspirasi. Pemutaran film seperti Tracks, Atambua 39 Derajat Celcius, Jalanan, Lampion-lampion, Tarian Bumi, dan Charlie's Country yang wajib kamu saksikan selain film-film di layar lebar. Don't forget to attend the Pecha Kucha and Poetry Slam! Begitu banyak acara di UWRF tiap tahunnya yang sayang untuk dilewatkan.

Ubud selalu menjadi tempat magis untuk kata yang selalu kita kenal dengan spiritualitas. Ubud juga berasosiasi dengan kehidupan masyarakat pedesaan di mana kesunyian, kesendirian, dan budaya menjadi nilai jual tersendiri. Berbeda dengan Kuta ataupun Sanur. A little piece of advice, be a truly Ubudian for a week. It won't hurt you. Sewalah sepeda yang hanya menghabiskan Rp 30.000,-/hari. Shuttle ke main venues (Left Bank, Neka, dan Indus) selalu tersedia di Casa Luna dan Betelnut setiap 10 menit, jadi kamu tidak kesulitan untuk masalah transportasi. kunjungilah toko buku kecil yang mirip dengan Shakespeare & Co. (Ganesha Bookshop). Jangan lupakan toko buku kecil ini dari daftar tujuanmu. Ganesha Bookshop mungkin seperti surga buku bagi mereka yang memahami. Begitu banyak buku penelitian tentang Indonesia dari masa kolonial hingga kontemporer. Tidak hanya itu, buku-buku dengan bahasa Inggris/Prancis/Jerman juga tersedia di raknya. Sulit untuk tidak sumringah ketika masuk disapa dengan bau buku lama khas tercampur wangi dupa.


Satu hal esensial dari berada di Ubud adalah cerita para orang tua yang berjualan di sekitar Pura Goa Gajah yang dikonstruksi sekitar abad ke-9, di daerah Bedulu. Cobalah bertegur sapa dengan masyarakat sekitar, duduklah bersama mereka dan dengarkan cerita para orang tua bagaimana Ubud bertransformasi dari kota yang sungguh sepi hingga menjadi destinasi turis asing untuk mencari kedamaian hati. Jiwa saya tertambat pada satu perempuan tua yang berjualan makanan dengan harga sangat murah. Selain alasan warungnya berada tepat berseberangan dengan Restoran Bebek Tepi Sawah, Ia berjualan memang tidak untuk mencari untung. Ia melakukannya hanya untuk mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari yang tercukupi. Tidak jarang, sang Ibu memberikan makanan secara cuma-cuma bagi mereka yang sekenanya terlihat mengalami kesulitan ekonomi. Bukan karena Ibu ini tak mampu, mengutip perkataan beliau, "Saya hanya melakukan apa yang hati saya anggap harus lakukan, Dik." Saya juga sedikit terkejut ketika sang Ibu mengatakan bahwa anaknya tinggal di luar negeri dan bekerja sebagai pramugari maskapai Internasional. Kadang, momen saksi hidup yang menampakkan kerendahan hatilah yang memang diperlukan dalam perjalanan spiritual seperti ini.

Dalam perjalanan ini, semesta seperti menyuguhi saya dengan kebetulan-kebetulan yang mengarah pada sinkronisitas semesta. Cerita menarik yang saya alami dalam perjalanan ini terjadi sesaat saya berangkat dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Saya bertemu seorang perempuan paruh baya, umurnya mendekati 40 tahun. Namanya Karen. Ia adalah seorang peneliti asal Amerika yang berdomisili di Selatan Jakarta. Ia sudah berkelana sejak seumur saya. Hal itu menjadi sedikit tamparan karena pada umur ini, saya merasa belum menjejakkan kaki saya ke banyak tempat di dunia. Kebetulan adalah ketika kami berdua duduk berdekatan dan mengarah ke Bali untuk tujuan yang sama: UWRF 2014. Sapaan Karen pertama hanya diawali dengan pertanyaannya tentang kain Sulawesi Selatan yang saya kenakan sebagai rok. Accidentally, I met her again at the venue and we sat down for another coffee talk at Seniman Coffee. Penjelasan berikutnya menjadi panjang dan menarik tentang begitu banyaknya jenis kain yang ada di Indonesia, namun pengetahuan kolektif masyarakat mengenai hal itu sungguh minim. Tidaklah heran apabila Karen tertarik dengan hal itu. Ia adalah salah satu anggota dari Indonesian Art and Culture Community, dan satu hal yang membuat saya takjub adalah pengetahuannya tentang Indonesia lebih mendalam dari pada saya. Tamparan lainnya dari semesta dalam perjalanan spiritualitas ini.

Tidak hanya itu, saya juga dengan tidak sengaja dihampiri seorang pria tua berumur sekitar 70-an dan menjelaskan bahwa ia adalah seorang peneliti Mitologi Dunia. Ia berasal dari Switzterland. Ketika saya berbicara dengannya, seorang asal Australia yang saya kenal sebagai teman Karen mengatakan pada saya bahwa pria itu gila. Kemudian, saya kembali bertanya pada diri saya sendiri? "What makes a person crazy anyway? Then I try to listen to this old man, just to fulfill my curiosity." Ia menceritakan pengalaman hidupnya berpuluh-puluh tahun di India untuk mendalami mitologi setempat yang kental dengan Hindu-Buddha. Hal itulah yang kemudian membawanya ke Bali, tepatnya di Ubud. Pria tua ini sudah sekitar dua tahun tinggal di Indonesia. Setelah bercakap cukup lama tentang Mitologi Yunani dan mendengarkannya bercerita tentang Viking dan Mitologi Skandinavia, saya bercerita sedikit tentang sejarah Pandawa Lima.The interesting part, he didn't know much about Java's Mythology. So I told him a bit. We changed email and contact each other eversince for exchanging stories. Hal yang menarik dari sebuah perjalanan memang bukan berada pada tujuan akhir, percikan cerita justru berada pada detail-detail kecil yang tidak pernah saya duga.

Tentu tidak mungkin untuk menghadiri semua rangkaian acara yang jatuh dari tanggal 1-5 Oktober 2014 ini, jadi tulisan ini hanya akan menjelaskan sesi yang saya rasa menarik untuk dibagi secara rinci terkait dengan tema utama UWRF tahun ini: pengetahuan dan kebijaksanaan. Begitu banyak nama besar seperti novelis Amitav Ghosh yang memenangkan Grand Prix de Lyon untuk graphic novel- nya 'The Boxer. Deborah Bakaer, finalis Pulitzer Prize, sampai pada Colin Thubron sang pengarang New York Times best-seller. Namun fokus saya bukan pada nama-nama besar itu. Saya mengarah pada detail cerita yang nampak banal, tetapi justru memberi esensi untuk menginspirasi yang tinggi. Pertama, #activism di mana Robi Navicula, Nay Phone Latt, dan Connor Tomas O'Brien hadir sebagai pembicara. Lalu, sesi dengan tema One More Time menghadirkan Kate Holden, Rayya Ellias, dan Liam Pieper dengan cerita masa lalu kelam mereka yang menjadikan kisahan hidupnya sebuah pembelajaran untuk arti yang kita definisikan kebijaksanaan.

Sesi pertama bertajuk #activism yang mana memperlihatkan konektivitas media sosial dan penggunaan aktivisme internet. Mengutip perkataan Connor Tomas O'Brien, seorang penulis, front-end web designer, researcher, desainer Voiceworks Magazine, dan founder Tomely (situs ebookstore yang berkiblat pada penulis independen dan adventurous readers). O'Brien menimpali pertanyaan moderator tentang definisi hiperkonektivitas dunia saat ini, "Internet adalah wadah nyata demokrasi. Setiap orang dapat menyuarakan pendapatnya pada media sosial. Tidak dipungkiri bahwasanya internet menjadikan kita terhiperkoneksi satu sama lain." Saat ini, penggunaan internet juga digunakan sebagai sistem terkini untuk meningkatkan kesadaran publik akan sebuah isu sosial. Adapun Nay Phone Latt membagi pengalaman hidup dalam penjara selama bertahun-tahun. Ia ditahan akibat membeberkan informasi rahasia tentang tindak kekerasan militer di Burma dalam masa periode sensor yang ketat, tepatnya pada tahun 2007. Nay baru saja keluar dari penjara Januari 2013 yang lalu. Kisah hidupnya yang nyata dituangkan dalam media sosial. Begitulah seharusnya #activism. Kita sebagai generasi sekarang kembali diingatkan untuk tidak menjadi statis, apatis, dan egois. Robi 'Navicula' menjelaskan bahwa generasi sekarang dipisahkan menjadi #tweetivism dan #activism. #Tweetivism cenderung dilakukan oleh mereka yang mencari perhatian dan hanya me-retweet tanpa melakukan tindak nyata dalam kehidupan. Sementara itu, #activism memastikan perhatian fokus pada isu yang diusung dan tetap konsisten pada aksi nyata dalam masyarakat. Tidak ada yang tidak dapat di lakukan dalam bentuk dunia digital saat ini. Perlunya kepala-kepala muda untuk tetap mengarahkannya ke hal-hal yang membangun humanitas yang lebih baik.

Sesi selanjutnya mengadirkan tiga penulis yang menuliskan memoir masa lalunya yang luar biasa. Kate Holden, mantan pengguna obat-obatan terlarang dan terlibat dalam jaringan prostitusi, yang juga penulis dengan buku best seller-nya In My Skin. Tujuannya semata-mata untuk membagi perjuangan hidupnya untuk menjadi seorang Kate kembali. "I am, myself, an introverted, naive, intelligent, intuitive, imaginative, and lyrical - which could equally well produce either a writer or a junkie: as a writer, you have to draw on reserves of ruthlessness, persistence, resourcefulness, which are not that different to the mechanism that operate with a heroin addict. You have to be prepared to be alone and misunderstood." Di sisi lain, hadir pula Rayya Elias, seorang New Yorker asal Syria, penulis Harley Loco, perempuan yang terlibat dalam skena obat-obatan dan musik post-punk di era 70-an. Dalam sesi ini, perubahan diri adalah fokus utama. "Drama and edge are two different things. Drama is chaotic, I don't miss that. Pain I welcome, that's my own edge." Rayya membagi pengalamannya untuk bangkit dari adiksinya pada kokain. Pertemuannya dengan Elizabeth Gilbert, pengarang Eat Pray Love, memulai segalanya. Liz memintanya untuk menuliskan pengalaman hidupnya dalam sebuah buku. There you go, The Harley Loco! Rayya tidak peduli tentang anggapan orang tentang kehancuran hidupnya. Jika ia memang harus menuliskannya ke luar dari tempat sampah, just do it. Di akhir sesi ini, Rayya mengatakan pada seluruh peserta untuk tidak takut pada kegelisahan dan keresahan hidup, karena pada akhirnya apabila seseorang diminta untuk menyebutkan tiga momen yang mengubah hidupnya - tiga momen itu adalah momen paling pahit yang dapat diingatnya.

Lima hari di Ubud serasa kurang. Ada sesuatu sinyal yang membuat kharma-kharma baik sinkron dalam semestanya. Perjalanan ini tentu belum sampai pada akhirnya, karena sesuatu yang didapatkan dari sebuah cerita harus kembali disampaikan dalam perbuatan yang menghasilkan cerita lanjutan bagi orang lain. Why I called this writings 'intoxicated emotions?' Because all wisdom and knowledge is in the engagement against misery by seeing the brightside and how to keep our hope up in humanity. All that irony that makes life, a life. Detail kecil itulah yang menanggalkan tujuan dan memberi makna luar biasa dalam setiap momen dalam kehidupan kita. Ubud Writers and Readers Festival tahun ini kembali sukses memberi energi dibalik kelebihan dan kekurangannya. Semoga tahun depan, kita dapat lebih merasa dan menjiwai hal-hal kecil lainnya. May the divine within me recognize the divine within you. Namaste.

(Tulisan dimuat di NYLON INDONESIA edisi November 2014)

Comments

Popular Posts