Review The Look of Silence by Joshua Oppenheimer
Suara dalam Senyap
oleh: Jessy Ismoyo
Senyap (The Look of Silence) adalah film
dokumentasi karya Joshua Oppenheimer. Film ini diputar secara bersamaan di
banyak daerah pada 10 Desember 2014 untuk memperingati hari HAM. Oppenheimer
muncul lagi setelah film pertamanya yang cukup mencuri perhatian, Jagal. Film keduanya ini membawa
Oppenheimer pada banyak penghargaan internasional. Membuka tulisan dengan
kutipan di situs film ini, Senyap memaparkan
kehidupan yang kita alami ketika kita membangun realitas sehari-hari di atas
teror dan kebohongan.
Cerita ini membawa kita pada Adi
sebagai tokoh utama adalah adik dari korban (Ramli) langsung pembantaian PKI
besar-besaran yang terjadi pada tahun 1965-1966 di daerah Sumatera Utara. Pembantaian
PKI disinyalir membunuh sekitar 300.000 ribu hingga 2,5 juta jiwa. Film ini seolah
menjadi simbol di mana penghargaan atas hak asasi manusia (HAM) di Indonesia
adalah sesuatu yang seperti sengaja dilewatkan. Pemutaran film ini secara
serentak di beberapa tempat di Indonesia meneguhkan hal tersebut. Ada sesuatu
yang hilang dari negeri ini, dan sesuatu yang hilang wajib untuk dicari.
Memahami secara sekilas, hak asasi
manusia adalah hak yang melekat pada seorang manusia sejak hari kelahirannya.
Hak ini memberi akses seorang warga negara untuk merasa setara dan serasa.
Tidak hanya itu, hak asasi manusia juga menempatkan batasan di mana kritik atas
kekerasan yang dilakukan pada oposisi dapat dilontarkan. Dalam lingkup nasional,
hak asasi manusia dipaparkan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1 hingga pasal 31
ayat 1. Hal ini meliputi hak yang sama dalam pemerintahan, hak kemerdekaan
pikiran dan nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui menjadi
seorang pribadi di hadapan hukum, hak beragama, hak untuk tidak disiksa, hak
untuk hidup, dan hak untuk mendapatkan pendidikan. Dari begitu banyak harga
mati yang harus dipunyai setiap individu, kemerdekaan sebagai seorang pribadi
belum mampu dipenuhi.
Adegan dokumenter awal menangkap
gambar Adi yang sedang menonton peniruan Amir Hasan dan Inong (Pimpinan
Pembunuhan Massal di Sumatera Utara) ketika membunuh kakaknya. Adi berasal dari
sebuah keluarga kecil di Deli Serdang, Sumatera Utara. "Rasa penyesalan
yang besar membuat pelaku memperagakan adegan pembunuhan dengan detail tanpa
perasaan. Mereka seperti mati rasa," begitu ucap Adi, sang tokoh utama
dalam film ini.
Dalam Senyap, penonton akan disuguhkan narasi yang berbeda dari film
sebelumnya. Oppenheimer membuat cerita ini dengan plot yang lebih rapih. Teknik
pengambilan serta kualitas gambar pun menyokong kausalitas cerita. Hal yang
perlu saya garis bawahi di sini adalah kekaguman saya atas perspektif
Oppenheimer. Ia mengumpulkan kesaksian para pembunuh dan menghubungkannya
dengan perasaan para korban, dalam hal ini, fokus ada pada seorang ibu dan adik
laki-laki yang mencari kebenaran pembunuhan sadis kakaknya. Di sela-sela
pencarian atas kebenaran, Oppenheimer menyelipkan isu seperti kehidupan
keluarga korban dan pelaku, sudut pandang korban yang selamat, kebanggaan
pelaku, sampai pada titik di mana pendidikan masih menjadi senjata propanda dan
usahanya untuk meluruskan hal tersebut pada anaknya. Sejarah yang berakar di
sebagian bawah sadar individu di mana PKI adalah paham ateis dan amoral.
Kakaknya, Ramli, adalah salah satu
korban yang disiksa dengan cara paling sadis di antara korban lainnya. Dituduh
sebagai anggota PKI, Ramli dibacok, perutnya dikoyak hingga ususnya keluar. Secara
mendetail, Inong memperagakan cara membunuh tiap korbannya termasuk Ramli.
Secara umum, leher korban ditebas dari belakang ke depan. Tebasan itu akan menimbulkan suara "groar" yang khas. Hasil bacokan menjebol tubuhnya hingga punggung. Setelah itu, Ramli tidak
langsung meninggal. Menurut kesaksian
Ibunya, Ramli sempat pulang dengan tubuh yang sudah berlumuran darah dan luka
dimana-mana. Ibunya menangis, lalu memapahnya untuk tidur di rumah agar besok
dapat diobati. Esoknya, Ramli dijemput dengan dalih akan dibawa ke rumah sakit.
Penyiksaannya belum selesai. Kemaluannya dipotong. Inong dengan bangga pun menceritakan bagaimana ia memotong penis Ramli dari belakang ketika ia menundukkan tubuhnya. Sesaat setelah itu barulah
Ramli meninggal.
Pada sebuah adegan close-up seorang Ibu sedang di halaman
rumahnya, memotong sayuran. Kemudian, shot
perlahan menjauh dan menjadi medium shot
hingga long shot. Penjarakkan shot ini mungkin diartikan sebagai
detail yang diberikan Oppenheimer untuk membuat penonton mendapatkan titik
letak emosional sang Ibu ketika harus kehilangan anaknya seperti itu. Tingat
emosional penonton dibawa lebih dari itu dalam dokumentasi ini. Pertanyaan
nyata Adi pada Ibunya seperti: "Apakah perasaan Ibu harus tinggal
berdekatan dengan
orang-orang yang membunuh Ramli?",
Ibunya menjawab: "Nggak enak. Benci. Biar saja di kehidupan selanjutnya,
mereka akan menderita. Orang-orang yang menyiksa korban-korban itu."
Dalam selipan adegan pembunuhan,
Oppenheimer meletakkan adegan seorang guru yang mengajarkan sejarah Indonesia
di mana negara bersikap sangat keras pada PKI karena pada awalnya PKI-lah yang
menyiksa Jenderal-jenderal dengan sadis. Sang guru menanamkan propaganda
bahwasanya PKI adalah ideologi jahat diikuti dengan tindakan yang tidak
manusiawi. Adegan berikutnya yang membenarkan bahwa pengajaran melanggengkan
propaganda yang telah terjadi selama 30 tahun lebih di Indonesia. Anak dari Adi
bertanya tentang kebenaran cerita yang didengarnya di sekolah pada bapaknya.
Reaksi mengagetkan Adi berikutnya adalah ia membawa anaknya bertemu dengan
Kemat. Adi mencoba menunjukkan realita pada anaknya. Pada kenyataannya, sejarah tidak hanya berhenti dengan apa yang diajarkan di ruang kelas saja. Kebenaran tidak dibatasi oleh tembok-tembok sekolahan.
Kemudian, pada adegan berikutnya,
Adi berbicara dengan Kemat, salah satu korban yang selamat dari pembantaian.
Kemat menunjukkan lokasi Ramli saat ia dibawa oleh pelaku. "Di sini, di
jalan ini, Ramli sadar bahwa ia akan dibunuh. Lokasi tepatnya berada di sebuah
rumah di mana banyak suara minta tolong dan tembakan. Ketika itu saya lompat,
kemudian kabur." Penjelasan Kemat menunjukkan keinginan tokoh utama untuk
mencari cerita tentang kebenaran dan detail dari pembunuhan kakaknya. Hal yang
menarik adalah ujaran Kemat ketika dimintai komentar soal kenangan pada masa
itu. Ia mengatakan bahwa pembahasan memori itu hanya akan mencari masalah ibarat
koreng yang sudah sembuh, kemudian dibuka kembali.
Bagian berikutnya, Adi mendatangi
Inong selaku ketua pembunuhan massal. Ketika memulai percakapan, Inong membuka
dengan pernyataan ketika membunuh para GERWANI, ia akan memotong payudaranya
terlebih dahulu kemudian lehernya. "Payudara kalau dipotong akan terlihat
semacam saringan kelapa," tuturnya. Kontrol utama adalah pada rasa takut.
Kebanggaan yang Inong dapatkan adalah dari kehormatan masyarakat sekitar di
mana sebagian besar takut kepadanya. Inong merasa bangga dengan apa yang
dilakukannya. Mengutip pernyataannya: "Mereka orang jahat, jadi nggak
apa-apa kalau dibunuh. PKI itu jahat. Tidak percaya agama. Istriku ya istrimu."
Ketika Adi berujar bahwa Islam tidak mengajarkan untuk membunuh, Inong berdalih:
"Islam mengajarkan tidak membunuh kecuali membunuh musuh." Hal ini
memperlihatkan propaganda paham PKI yang berhasil menggerakkan banyak pelaku
untuk membantai ribuan nyawa di Sumatera Utara. Inong sebagai salah satu dari
pelaku dalam gerakan pembunuhan mengakui terdapat satu kebiasaan yang harus
dilakukan agar tiap pelaku tidak menjadi gila. Mereka harus meminum darah
korban yang biasanya dipotong dari lehernya. "Darah manusia rasanya
asin-asin manis," ucap Inong.
Pengakuan berikutnya datang dari Amir
S, Komandan Pembunuhan di Sungai Ular. Ia memberikan informasi bahwa
pembantaian PKI di Aceh terjadi selama tiga bulan. Beberapa korban dibunuh
dengan cara ditanam hidup-hidup. Amir mengatakan bahwa ia memiliki daftar
namanya. Kira-kira ada sekitar 500-600 orang yang dibunuh. Rasa tidak bersalah
tidak tercermin dalam sikap Amir S. Ia justru merasa bangga telah memberantas
Komunisme di Indonesia. "Amerika seharusnya memberi kami hadiah atas
prestasi ini. Amerika yang mengajarkan kita untuk membenci Komunis," ucap
Amir. Ketika Adi mentandangi rumah Amir yang mewah, pertanyaannya adalah apakah
rumah ini merupakan hasil kejayaannya di masa lalu. Amir hanya menjawab:
"Ya, memang ada yang dibantu-bantu oleh beberapa rekan. Saya diberikan
semen dan batu untuk membangun rumah. Kalau berbuat baik, pasti orang akan
membalas dengan kebaikan juga," katanya.
Perspektif lainnya datang dari
wawancara Adi dengan Sekum Komite Aksi yang sekarang merupakan anggota Dewan Legislatif
selama dua periode di Sumatera Utara, MY Basrun. Beliau menganggap bahwa
pembantaian massal bukanlah sebuah kesalahan besar walaupun telah memakan
korban sejuta jiwa atau mungkin lebih. Berikut kutipan perkataannya: "Mencapai
idealisme adalah proses politik dalam berbagai aspek." Adi bertanya bagaimana
mungkin MY Basrun dapat menjabat dari tahun 1971 hingga kini di Deli Serdang. Air
muka Basrun berubah seketika sesaat mengetahui bahwa Adi adalah bagian dari
keluarga korban. Di tengah-tengah perubahan air muka itu, ia menjawab
pertanyaan Adi tentang lamanya ia memimpin di DPRD. Bagaimana menjalankan
politiknya di antara orang-orang yang telah dibantainya? Basrun berkata:
"Kalau bicara soal politik, kalau anak-anaknya dendam tidak mngkn saya
terpilih selama ini. Justru ini adalah bukti, saya tidak sombong. Bahwasanya,
tidak ada yang merasa disakiti hatinya. Kita hanya harus melakukan kunjungan
formal dan tidak formal untuk menjaga hubungan baik."
Oppenheimer belum selesai untuk
memberikan sudut pandang lainnya kepada penonton. Ia tidak berniat untuk
mengarahkan pandangan penonton pada satu penglihatan saja. Ia berusaha membawa
penonton melihat dari semua sisi yang mungkin dilihat oleh korban. Kali ini,
Oppenheimer dan Adi mengunjungi salah satu keluarga Adi yang terlibat dalam
penculikkan PKI. Salah satu kerabat dekat keluarga ini merasa tidak bersalah.
Ia merasa hanya bertugas untuk mengamankan daerah. Perintah turun dari militer
dan itu tidak ada hubungannya dengan pembunuhan massal yang dilakukan pada saat
itu. Paman dari Adi ini tidak merasa terlibat ataupun menyesal. Ia merasa hanya
mengikuti peraturan. "Paman hanya mengikuti peraturan. Paman tidak ikut
membunuh orang bersalah. Paman hanya menjaga keamanan karena orang-orang itu
memberontak. Paman tidak ikut bawa parang dan membunuh," ucap sang paman.
Pembicaraan ini langsung diikuti adegan Adi bicara dengan sang ibu.
"Pamanmu bohong. Ia tahu. Ia hanya takut mengakui bahwa ia terlibat.
Apalagi harus mengakui terlibat dalam pembunuhan Ramli," cetus ibunya.
Sebagai klimaks menuju akhir film
ini, Oppenheimer menggali lebih dalam pada konsep 'pahlawan' yang dianugerahkan
pada setiap pelaku dan dramatisnya sebuah momen yang dapat terjadi setelahnya.
Seorang anak pelaku bercerita tentang betapa bangganya ia karena bapaknya
adalah seorang pahlawan pembasmi PKI. Sang bapakpun menceritakan dengan bangga
bagaimana ia membunuh tiap korbannya. Ia juga mengulang cerita bagian harus
meminum darah agar tidak gila. Twisting jelas
kemudian mulai muncul. Ekspresi sang anak yang berubah ditegaskan oleh
pertanyaan Adi tentang reaksi ketika tahu bahwa Bapaknya membunuh dengan sadis
dan meminum darah. "Saya bingung. Saya baru dengar kali ini. Mungkin
karena itu, bapak kuat hingga sekarang." Tidak ada komentar lanjutan
mengenai kesadisan yang dilakukannya. Sang anak nampak hilang kata. Ketika Adi
mengatakan bahwa kakaknya adalah salah satu korban yang dibunuh oleh bapaknya. Reaksi
langsung dari sang anak adalah pertanyaan: "Mati nggak?" Kemudian, sang anak langsung meminta maaf apabila Adi
adalah keluarga korban. Sang anak minta maaf untuk kesalahan bapaknya di masa
lalu.
Adegan terakhir dalam film
memperlihatkan Amir Hasan yang membuat buku dan memamerkannya dengan bangga
tentang pembunuhan 32 orang yang dilakukannya di Bengkulu. Mayat-mayat diletakkan
di lubang. Buku itu diberi judul Embun
Berdarah. Adegan kebanggaan Amir, kemudian ditutup dengan keluarga Amir
yang tersinggung akan pembahasan masa lalu. Mereka tidak pernah tahu bahwa
bapaknya membunuh begitu banyak orang. Ibunya yang sudah renta pun kaget.
Anak-anaknya yang sudah sebesar Adi nampak marah. Kemudian, penonton seperti
disuguhkan pertanyaan tersurat. Apakah memang membuka cerita ini seperti
membuka koreng yang sudah kering?
Senyap ibarat
pengingat bahwa begitu banyak orang mencari kebenaran. Bahwasanya ada yang
hilang dari pemahaman warga negara akan sejarah tanah airnya sendiri. Tiap-tiap
dari kita mencari, menyuarakan kesetaraan, dan berusaha untuk menggapainya.
Namun pencarian akan kebenaran kadangkala lalai disertai dengan niatan untuk
merapihkan hal yang berantakan tersebut. Di situlah peran film ini. Lagi dan
kembali mengingatkan bahwa perjuangan masih panjang. Perjuangan bukan lagi mencari,
tapi lebih dari pada itu.
Film ini berakhir dengan tanda tanya
bagi setiap orang yang melihatnya. Menonton dua kali pun meninggalkan
pertanyaan yang sama dan jawaban yang berbeda? Soal pertanyaan mengenai luka
lama, memang seharusnya sekarang tiap individu tidak lagi berhenti pada
pembahasan luka lama. Pergerakkan seharusnya telah mencapai pencarian keadilan
untuk membawa pelaku kejahatan HAM. Poin menarik yang disampaikan oleh salah
satu peserta diskusi di mana pengakuan tiap orang juga penting. Pengakuan apa?
Pengakuan dengan legowo bahwa memang
tiap-tiap dari kita tidak mengetahui dengan penuh tentang sejarah rezim lama.
Solusi pun sebenarnya ditawarkan
dalam film ini. Bahwasanya pendidikan adalah jawaban. Untuk meruntuhkan
propaganda yang sudah melaten lama, hanya generasi baru yang dapat melenyapkan
senyapnya. Setiap pengajar dalam institusi pendidikan diwajibkan merekonstruksi
pemikiran lama bahwa ideologi komunis adalah rekayasa dalam sejarah '65. Setiap
warga negara bertanggungjawab untuk menghentikan propaganda di dalam otak
mereka sendiri bahwa hal seperti ini tidak penting. Keacuhan bukanlah jawaban.
Keacuhan terkait pembiaran pelatenan propaganda tentang PKI saat ini pun
merupakan kejahatan. Mengutip Dave Lumenta yang mengutip Bourdieu, propaganda
adalah sebuah kejahatan simbolik. Kejahatan ini
bermain dalam tataran bahasa yang berpengaruh dalam meninggalkan memori
kolektif. Pemutusannya memang hanya melalui kesadaran diri yang tinggi dan hal
itu membutuhkan kebijaksaan, kepedulian dan pengetahuan yang luas.
Untuk hak asasi manusia, sepertinya
bukan hanya hak untuk setara dan serasa yang diingkari. Ini menafikkan pula hak
untuk merdeka apalagi untuk hidup. Kritik saya berada pada kenyataan bahwa ini
pekerjaan rumah bagi generasi muda yang sanggup untuk menutup segala luka lama
ini dan menambalnya dengan sikap dan tindakan baru. Sembari refleksi terjadi,
yang sudah sadar diri perlu berusaha lebih dan tidak menyerah mengubah yang
tidak semestinya.
Konsistensi aksi. Penekanan pada
konsistensi aksi. Alih media seperti film yang digunakan Oppenheimer adalah
salah satu bentuk keberhasilan untuk menghilangkan kesenyapan. Butuh lebih
banyak lagi alih media tentang sejarah Indonesia baik yang perlu diklarifikasi
atau tidak. Mudah-mudahan penonton tidak hanya berhenti sampai pada refleksi,
tapi juga bergerak pada aksi dan karya-karya yang lebih menggaung dari ini.
Karena kita butuh lebih lagi suara untuk menghilangkan kesenyapan yang ada. Selamat
Hari Hak Asasi Manusia. Semoga asa tak lagi melengang kesana-kemari, tapi
bicara dari hati ke hati dengan kesetaraan yang mampu terjadi.
Catatan:
Penulis menambahkan tautan lanjutan
tentang Banalitas Kekerasan menurut
Hannah Arendt yang menjadi sebab akibat terjadinya beberapa pembantaian
massal di dunia Internasional, termasuk yang dilakukan oleh Hitler di mana
terdapat kesamaan pola dengan pembantaian massal '65 dan tragedi '98 di
Indonesia.
(http://ismoyojessy.blogspot.com/search?updated-max=2014-06-23T16:38:00%2B07:00&max-results=5&start=48&by-date=false)
Comments
Post a Comment