Di Atas Bukit Doa, Aku Meminta lewat Kata-kata






Duka bercela. Cita berlabuh. Angan melenguh. Di antara ketiganya, angin mendesau rima namamu.
(Perpustakaan Notohamidjojo, 2017, Jessy Ismoyo)

Teh kesukaannya kamomil
Hidungnya selalu dihadapkan pada buku
Hidupnya hanya memandangmu
Sore itu ia menyebutkan segala sesuatunya soal moril

"Ini aku, hidup tanpa arah, berjuang untuk mereka yang tak punya keberanian, entah apakah itu namanya tujuan? Yakin kamu mau hidup susah? Susah materil, susah moril, tiap hari kamu akan mendengarkan aku berkata...ya hidup dinikmati saja, Gusti Yesus sudah memastikan tak akan kekurangan. Kamu tidak tahu rasanya turun ke jalan, susah-susahan, panas-panasan, tak tidur seharian. Bahagia itu menetap, bukan berpindah ke sana ke mari sepertimu. Aku ini berkumpul bersama berandalan, gelandangan, pecundang yang dalam puisi Rendra...dikatakannya tempat Tuhan berada. Aku berdiri bersama kemanusiaan, kamu juga, tapi memangnya kamu sudah mau dan siap menghadap Tuhan?"

Kopi kesukaannya robusta
Matanya selalu mengarah ke bata, keramik atau tanah merah yang terlindung kaca mata
Telinga tertutup rambut sebahunya
Sore itu ia mendustai Ayahnya soal propaganda negara tercinta

"Remy Sylado saja dalam sajaknya memperlihatkan tipisnya Tuhan dan Hantu. Kumpulanmu yakin Tuhan? Atau Hantu? Menghadap mana harus aku bersimpuh? Memangnya menciptakan diskursus, perlawanan simbolik kamu pikir tak pelik? Ini era pembebasan dalam pikiran, wacana tandingan, pemahaman dibongkar supaya tak henti di nrimo saja. Jangan dong menyamakan susah dan usaha. Tak ada yang susah, kalau mau usaha, tapi tak ada usaha yang tak susah. Toh' gelut risau sudah mengutukku sejak dua belas tahun lalu. Hidup di dua dunia; yang satu palsu tapi aku besar di situ; yang satu lagi riil kalau tak letih diperjuangkan. Kamu tahu, pendidikan kita baik-baik saja. Kalau ada yang salah, ya itu, pendidikan tentara. Kalau mau mengubah negara, mulai saja dari sana. Kamu tulis lah investigasinya."

Agama seharusnya dipeluk...
Seluk-beluknya tak perlu dicaruk, pahamnya tak bersinonim dengan takluk,
  yang disampaikan lewat pengeras suara di mimbar memang seringnya muluk-muluk...busuk

Agama seharusnya dipeluk...
 tertatih sabar untuk membangun yang ambruk, tinggal dalam kerdip lilin yang buduk,
 tak permasalahkan bentuk; tak persoalkan mana yang lebih khusyuk

Agama seharusnya dipeluk...
Peluk,
Peluk,
Peluk...
Perlahan-lahan memahami kesedihan, menyadari perlunya menanam kebahagiaan, dan tahu betul...seperti puisi Sutardji Calzoum Bahri, Walau masing jauh...yang tertusuk padamu berdarah padaku

Agama seharusnya dipeluk...
Peluk adalah dekap
Karena dalam dekap, kita berdua sungkap,
cakap,
ungkap,
lengkap...

Salatiga,
23 September 2017
3:14 WIB

Comments

Popular Posts