Ritual, Simbol, dan Narasi Lisan dalam Hubungan Lintas Agama di Tana Toraja

Izak Lattu, Ph.D di PIP Semarang dalam Diskusi bersama IPSS (29/09/17)

Jessy Ismoyo, Semarang (29/09/17) — Koeksistensi damai di Indonesia dapat ditelaah lebih jauh dengan melihat narasi-narasi perdamaian yang terpapar lewat tradisi Nusantara. Dengan tujuan itulah, IPSS (Institute of Peace and Security Studies) bersama dengan LAKPESDAM dan ELSA mengadakan rangkaian diskusi publik yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan menambah wawasan tentang nilai toleransi dan harmoni dalam budaya Indonesia yang beragam. Kesadaran ini diawali dari kritik bahwa wacana perdamaian di Indonesia hanya ditentukan dari Pulau Jawa dan Jakarta sebagai episentrum konflik. Akhir-akhir ini eskalasi konflik selalu bersumber dari politik identitas terkait etnis, agama, hingga ideologi. Tiap eskalasi konflik yang terjadi di dua wilayah itu, kemudian menjadi representasi dari situasi keberagaman Indonesia. Pars pro toto. Hal inilah yang kemudian coba dikritisi oleh IPSS, LAKPESDAM dan ELSA, untuk tidak mensimplifikasi keadaan Indonesia yang pluralis dari yang terjadi di 'inti'; tapi juga melihat ke 'periferi'.

Pentingnya Tradisi Lisan sebagai Narasi Perdamaian
Penelahaan narasi perdamaian dalam tradisi nusantara merupakan bagian dari 'membaca' sistem simbolik dalam Iceberg of Culture milik Larcher. Dalam teorinya, Larcher menjelaskan bahwa budaya dibedakan menjadi dua: surface culture dan deep culture. Surface culture adalah hal yang tampak nyata dalam budaya, misalnya makanan, literatur, festival, tarian, bahasa, musik, dan lain-lain. Sementara itu, deep culture mewakili pemahaman kolektif masyarakat tentang cara mereka berkomunikasi baik gaya bicara, ekspresi wajah, hingga kontak mata, nosi masyarakat terhadap konsepsi-konsepsi tertentu, sikap masyarakat terhadap peraturan, kematian, dosa, tetua-tetua, dan lain-lain. Larcher menyatakan bahwa hal terpenting dalam budaya berada pada tataran 'ketidaksadaran' (unconsciousness) yang terletak pada deep culture.

Tradisi lisan adalah bagian dari representasi budaya melalui tuturan serta proses penuturan dan tindakan/laku masyarakat. Dari tradisi lisan, kepercayaan, nilai, kebiasaan, dan sikap masyarakat akan terlihat dalam norma, praktik, serta ritual. Hal inilah yang menjadi sistem sosial dalam masyarakat. Pembahasan mendalam terkait koeksistensi damai di Tana Toraja tidak hanya memperlihatkan bagaimana ritual-ritual seperti Rambu Solok dan Rambu Tuka ada sebagai ritual, Tongkonan sebagai simbol, Lakipadada serta Tominaan yang berperan sebagai perantara narasi (surface culture), tetapi juga memperlihatkan bagaimana kepercayaan, nilai, dan sikap (sebagai bagian dari deep culture) terangkum sebagai suatu budaya yang merupakan emulsi dari pemahaman kolektif masyarakat Toraja. 

Diskusi kedua IPSS dengan tema Peace Coexistence mengetengahkan hubungan lintas-agama dalam budaya Tana Toraja lewat ritual, simbol dan narasi lisan dengan pembicara Izak Lattu, Ph.D. Demikian dikutip dari diskusi malam itu (29/09/2017), "Indonesia memiliki banyak ritual, simbol dan narasi lisan dalam berbagai budayanya. Hal ini yang justru menarik dilihat. Pengetahuan bisa datang dari bintang di langit, tapi juga dapat berasal dari sarang semut di tanah. Pemahaman terhadap narasi lisan merupakan pengandaian kedua," tutur Lattu. Tana Toraja merupakan salah satu tradisi nusantara yang menarik bagi Lattu karena nilai budayanya menyumbang dalam hubungan harmonis masyarakat. "Hal ini membuktikan bahwa untuk memperkuat demokratisasi dan nilai Pancasila di Indonesia, kita tidak boleh hanya berbicara hal-hal struktural saja, tetapi bicara juga hal-hal kultural. Salah satunya tradisi lisan di Tana Toraja," tambah Lattu.

Rambu Solok dan Rambu Tuka serta Peran Tominaa sebagai Pusat Identitas Suku Toraja
Ritual merupakan pusat kehidupan di Tana Toraja karena hal itu merupakan penggambaran dari hubungan sosial dan sistem kekerabatan. Sesuai dengan teori Larcher, menurut Lattu, ritual menggambarkan pengetahuan komunitas, identitas, dan keterikatan sosial yang terjadi. Dua ritual yang ditengahkan oleh Lattu adalah Rambu Solok (dukacita) dan Rambu Tuka (sukacita). Rambu Solok merupakan ritual kematian. Suku Toraja percaya bahwa ritual ini merupakan prosesi pengantaran 'yang mati' menuju surga (puya). Dalam ritual dukacita, suku Toraja mengenakan pakaian hitam yang melambangkan warna merah kehitam-hitaman sebagai suatu 'tanda' menuju yang 'baru'. Merah kehitam-hitaman berasal dari warna matahari terbenam di cakrawala.  Lattu juga menambahkan bahwa kedua ritual yang dilakukan suku Toraja menggambarkan adanya kesetaran jender karena adanya keterlibatan perempuan dalam ritual Ma'badong yang merupakan bagian dari prosesi. Pada suku Toraja, posisi perempuan dan laki-laki setara dalam ritual, tidak seperti di Ambon atau Manado yang mana laki-laki memegang peranan lebih tinggi. Sementara itu, ritual Rambu Tuka merupakan ritual kelahiran dan pernikahan sebagai proses kehidupan.  Ritual ini merupakan bentuk pengucapan syukur pada Deata dengan memotong ayam atau babi di bawah pimpinan ritual adat atau dissebut juga Tominaa. Warna yang dominan dalam ritual ini adalah putih dan kuning yang melambangkan matahari terbit atau 'tanda' sebagai 'awal' kehidupan.

Tominaa memegang peranan penting sebagai perantara narasi dalam ritual Toraja. Ia selalu mengenakan pakaian putih dalam ritual. Sebagai pimpinan ritual adat, Tominaa membacakan narasi sekarang dan mengulangi narasi-narasi lama (baik itu mitologi maupun hukum adat) untuk generasi sekarang. Hal itu menjadikan Tominaa sebagai agen tradisi lisan dalam suku Toraja. Peran penting Tominaa juga memperlihatkan bagaimana agama dan budaya menyatu dalam tradisi suku Toraja. Perbedaan agama tidak menjadi penting karena Tominaa menjadi 'penutur' narasi suku Toraja dalam ritual bahwa suku Toraja berasal dari sistem kekerabatan yang sama. Hal itu yang membuat hubungan lintas agama di Toraja menjadi kuat karena nilai atas persaudaraan yang terikat karena darah menerobos batas-batas agama.

Identitas Tongkonan dan Narasi Pulang Suku Toraja
Selain itu, Tongkonan juga merupakan simbol penting dalam pembentukan identitas tradisi suku Toraja. Tongkonan menjadi axis mundi atau pusat dunia suku Toraja. Dalam artian, Tongkonan menjadi tempat orang Toraja hidup. Orang di Toraja dikenal dari Tongkonannya. Orang Toraja (yang Kristen) tidak perlu ke Israel untuk menemukan identitas atau kisah tentang leluhurnya, tapi cukup ke Tongkonan saja. Demikian terjadi karena di Tongkonan, orang menemukan yang hidup dan yang mati, di sanalah proses kehidupan terjadi dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian, di sanalah narasi dilisankan dari satu generasi ke generasi lain. Tongkonan juga merupakan representasi identitas orang Toraja dalam 'narasi pulang'.  Orang Toraja diandaikan seperti ayam, ke mana pun mereka pergi, mereka akan pulang ke Tongkonannya. Lattu menjelaskan bahwa 'narasi pulang' menjadi penting dalam tradisi Indonesia, ia membandingkan dengan fenomena 'mudik' yang terjadi tiap tahunnya. Sama halnya juga yang terjadi di Toraja, Tongkonan menjadi tempat untuk kembali pulang, baik secara harafiah sebagai rumah, tapi juga secara metaforis dalam konteks 'kehidupan' suku Toraja. Selain Tongkonan, dalam tradisi Toraja yang dikenal dengan Alang atau relasi suami dan istri. Di Alang, orang-orang menyimpan hasil panennya. Alang juga merepresentasikan kelas sosial dalam suku Toraja. Orang yang tinggi kelasnya akan duduk di bagian terdepan  sebuah Alang. Kelas tertinggi disebut dengan Tana' Bulaan atau golongan bangsawan yang menciptakan aturan-aturan dalam tradisi Toraja, diikuti dengan Tana' Bassi, Tana' Karurung,  dan Tana' Kua-kua. Dalam konteks Tongkonan, ritual yang terjadi di Alang menciptakan 'batasan sosial'.

Perwujudan Toleransi dalam Lakipadada dan Topadatindo
Perwujudan toleransi dan harmoni dalam tradisi lisan di Tana Toraja digambarkan lewat cerita rakyat Lakipadada. Tokoh Lakipadada digambarkan sebagai 'yang membawa kesembuhan'.  Dari Lakipadada digambarkan narasi kekerabatan di Toraja saat ini. Lakipadada adalah kisahan laki-laki dari Toraja yang datang ke kerajaaan Gowa, kemudian putri raja sedang sakit lalu Lakipadada dapat menyembuhkannya. Dari pernikahan itu, munculah keturunan Lakipadada, yaitu Patta La Mera yang menajadi penerus Gowa, Patta La Bunga yang menjadi penerus Luwu, Patta La Bantan yang menjadi penerus Sangalla, dan Pata La Didi yang menjadi penerus Bone. Relasi inilah yang lebih kuat melekat di tradisi Toraja daripada agama. Islam dan Kristen melebur tanpa melepas identitas agamanya (Islam atau Kristen tetap menggunakan jilbab dan kalung salib menjadi satu karena merasa menjadi satu sebagai keturunan Lakipadada. Lattu menggambarkan Lakipadada membuat sebuah third space atau ruang ketiga seperti teori yang dipaparkan Homi Bhaba di mana terjadi hibdridasi identitas Muslim-Toraja dan Kristen-Toraja. Identitas agama tetap ada, tapi identitas itu melebur dalam identitas etnisitas yang terlihat keterikatan Lakipadada.

Lattu menjelaskan bahwa Lakipadada menjadi sangat penting dalam tradisi suku Toraja sebagai 'penyembuh'. Untuk itu, Rumah Sakit terbesar di Toraja dinamakan Rumah Sakit Lakipadada. Tidak hanya itu, dalam setiap ritual penting baik itu Rambu Tuka atau Rambu Solok, cerita Lakipadada akan selalu dikisahkan. Narasi-narasi ini juga kemudian berkembang dalam tradisi Toraja sebagai second orality (oralitas kedua). Ketika oralitas pertama terjadi dari mulut ke mulut, Lakipadada tidak hanya terjadi dalam oralitas pertama, tapi juga oralitas kedua. Oralitas kedua terjadi melalui media baik itu radio, tv, maupun media lainnya. Lattu memberikan contoh TV TORAJA yang mengulang-ulang narasi ritual di mana kisahan Lakipadada diceritakan terus-menerus. Hal ini merupakan cara untuk mendistribusi narasi lisan suku Toraja selain adanya ritual.

Selain Lakipadada, ada yang disebut Topadatindo yang menjadi narasi besar dalam tradisi suku Toraja. Setelah agama Islam dan Kristen masuk, suku Toraja memeluk agama Islam, Kristen dan Aluk. Namun relasi Topadatindo tetap dipertahankan. Relasi Topadatindo diulang oleh Tominaa sebagai cerita kebesaran masing-masing kampung (lembang) untuk melawan serangan Bone pada abad ke-15. Topadatindo merupakan narasi yang terbangun atas sumpah bahwa mereka tidak boleh menyerang lagi. Topadatindo adalah narasi kebersamaan yang terpapar dalam Misakada dipotoo pantang kada dipomate yang artinya 'Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh'. Lattu menjelaskan bahwa Topadatindo merupakan kapital budaya yang juga kapital sosial karena memperlihatkan bonding dan juga bridging. Topadatindo menjadi narasi penting dalam hubungan lintas agama di Toraja karena narasi ini mengikat 'ke dalam' bagi kekerabatan suku Toraja. Selain itu, ada juga sumpah di Malua yang menjadi perwujudan bridging bahwa antara Toraja dan Bone (sebagaian besar Muslim) tidak boleh lagi saling menyerang. Dalam konteks ini, relasi budaya menguat dalam hubungan lintas agama dan tidak memperlihatkan adanya konflik terbuka di Toraja.

Kubur Batu dan Kubur Tanah sebagai Simbol Perdamaian Suku Toraja
Simbol juga menjadi ranah pertemuan yang lain dalam suku Toraja baik Aluk, Islam dan Kristen. Ketika ritual Rambu Solok untuk raja-raja di Toraja, bagi yang memeluk kepercayaan Aluk dan Kristen, mereka dimakamkan di atas (kubur batu). Kemudian, bagi yang beragama Muslim dimakamkan di bawah (kubur tanah). Semakin tinggi posisi dalam kubur batu menunjukan tingkat sosialnya dalam suku Toraja. Seiring waktu, ada perubahan menarik yang terjadi dalam simbol kubur batu dan kubur tanah seperti 'kepercayaan' agama Kristen fundamental yang ingin dikubur di Kubur Tanah, bukan di Kubur Batu. Bagaimana simbol dalam kubur dapatmenjadi sebuah teks budaya. Teks ini menjelaskan pertemuan agama terjadi dalam kuburan. Dalam Kubur Batu dan Kubur Tanah, dapat dilihat kisahan suku Toraja dan hubungan lintas agama.

Semarang,
29 September 2017

Comments

Popular Posts