So It Goes, Slow Your Mind

ArtJog '17, Yogyakarta, 2017, Jessy Ismoyo.

Dini hari ini, diiringi lagu La Mar (The Ocean) oleh  The Beautiful Girls dalam album Learn Yourself yang diulang-ulang, selain lagu Beach Baby oleh Bon Iver dan Jezebel oleh Iron & Wine, akhirnya sampai pada keputusan untuk menuliskan kontemplasi ini. "And so it goes, so it goes, slow your mind, slow your mind..." Saya baru saja menyelesaikan buku terbaik yang saya baca di tahun 2017: The Book of Disquiet karangan Fernando Pessoa, penulis asal Portugis.

Saya menulis ulasannya di Goodreads karena buku ini meninggalkan kesan mendalam untuk saya. Demikian tertulis di Goodreads saya:

I would give seven stars if I could, along with Nausea. I would not stop at five...because really, it's Fernando Pessoa. I always say to people that I write to catch my breath, to survive, to have something to look after to...in the morning, that I try to live my dreams, not otherwise, the idea of alternate self, the biases between fiction and real life, I mean...Pessoa, you're just perfect, there, standing, existing, understanding... Everything I ever said, is hauntingly written in this book. It is like finding one person that knows you better from yourself...and he exists more than 100 years before you. There are various type of writer, the one with great imagination, the one that has eyes on details, the one that living thousand lives to experience every fiction, but Fernando Pessoa gives birth to the cutthroat feelings, in every part, every sentences, every phrase. He puts himself as true as it could possibly be...in this writing. That is the thing about being honest, you know, it looks like it's mortifying and seeking attention, when the truth is...it is written as an attempt to survive another day.

 A great book tells you quite bit about you...when I first encountered Disquiet, I felt like laundry, the book dunked me in pristine water, then battered and wrung me and hung me out to dry in sunshine, rejuvenated. I was forced to examine the choices I'd made, the beliefs I'd held, the loves I'd forsaken and the gods I'd worshipped, as written in NPR. Ya, saya pemilih sekali dalam hal ini. Tak mau menuliskan ulasan jika tidak dianggap perlu, tapi Pessoa harus dibaca oleh khalayak ramai. Semata-mata mengingatkan bahwa Portugis punya penulis yang sama hebatnya dengan karya-karya dari negara besar lainnya. Ketika saya mencoba mencari ulasan-ulasan yang ditulis orang-orang sebelum saya, hati saya tambat pada ulasan yang tertulis di The Guardian dan NPR. Guardian menuliskan bahwa Pessoa memberikan pendekatan lain dalam kehidupan, bagi seorang perfeksionis...bahwasanya, berterima itu penting. Tak semua mimpi harus dijadikan pencapaian. Selain itu, terkadang kita terjebak dalam kesibukan dan ambisi yang membuat kita hilang arah.

Sejujurnya, hal yang menarik adalah bagaiamana Pessoa memosisikan dirinya dalam alternates person dalam setiap tulisannya di mana sang tokoh selalu merasai segalanya...and Guardian stated that it is the greatest irony of all, to feel everything in every way...that makes this book a pure literary hope. Because the one who have the attention for little things, is the one who suffers depression...and we are not alone facing that. At least, you always have someone like Pessoa, you know. Orang-orang neurotic dalam tokoh fiksi memang selalu menarik, dari Céline dalam Before Trilogy (agak interteksual) sampai Soares (ini baru tokoh dalam Disquiet), tidak ada yang lebih neurotic daripada tokoh yang diciptakan Pessoa. Ulasan NPR memang sesuai sekali, The Book of Disquiet memaparkan tentang kebenaran dan kebenaran selalu menyamankan. It enfolds you. Pessoa adalah sahabat pada waktu yang tepat. Setelah membaca buku ini, saya jadi banyak berpikir ke mana-mana, iya, saya ulang berkali-kali bagian ini, karena memang seperti itulah adanya. Nosi 'berpikir ke mana-mana' menghajar berkali-kali, sehingga munculah tulisan ini.

Kadang di antara pertanyaan demi pertanyaan, sulit juga untuk menemukan jawaban. Di antara tawaran-tawaran, saya selalu bertanya pada diri saya: "Kenapa ya sulit sekali menggandakan diri, dalam artian, lepas dari watak lama? Ingin rasanya buang sikap jelek ini, tapi pada titik tertentu...kok ya tidak bisa? Seperti contohnya mengatakan tidak pada lepasan-lepasan tanggung jawab yang dihardikkan ke muka kita." Hari ini mungkin adalah hari lainnya setelah sidang tesis, presentasi di tiap panel seminar Internasional atau tawaran menjadi perwakilan Indonesia untuk bicara kasus pelanggaran hak asasi manusia, tidak ada bedanya. Pressure-nya terlalu menjadi-jadi. Kemampuan diri diasah lagi dan lagi, tapi kenapa tetap saja sulit mengatasi isi kepala yang selalu meragukan kemampuan diri ini? Kenapa self-doubt tidak mau pergi? Semua usaha terbaik sudah diberi, tapi hasilnya tidak pernah mumpuni. Hasilnya, harus berdamai dengan diri sendiri karena ternyata memang diri tidak sebaik proyeksi yang orang-orang berikan. Kadang ingin berkata: "Hai orang-orang, saya tidak sebaik itu. Saya tidak se-inspiratif itu. Saya sama saja seperti kalian, lebih buruk mungkin...karena kalian tidak punya generator suara yang mengatakan hal-hal buruk tentang diri kalian di dalam kepala."

Akhir-akhir ini, saya selalu dihadapkan pada pernyataan-pernyataan yang berkisar pada endapan kegelisahan orang-orang akan kesedihan yang diumbar-umbar. Katanya saya terlalu vokal menyuarakan kesenduan yang mengantarkan pembaca seperti habis mendengar lagu-lagu Banda Neira di albumnya yang dulu, sebelum mereka memutuskan untuk mengubah judul albumnya menjadi sedikit punya harapan. Diubah karena pendengar bilang, terlalu kelam. Bandnya sudah bubar kok masih saja diperbincangkan. Well, anyway, in that case, I throw questions to myself? Should I change my writings to be more hopeful like Banda Neira did? Ya, jawabannya tidak. Saya menulis untuk bertahan, untuk hidup, semata-mata untuk menyadarkan diri saya bahwa tidak salah merasai segalanya. Harga yang harus dibayar adalah tatapan nista atas ungkapan kesedihan yang berlebihan. Lucu rasanya, ketika kita mencoba jujur pada diri sendiri...di saat itu jugalah orang-orang ngeri dan tergelitik dengan kenyataan bahwa kita dianggap 'berlebih'. Saya jadi mempertanyakan lagi? Apa iya saya berlebih? Bisa jadi. Memang berlebih, lalu saya mawas diri. Ingat kembali, segala yang berlebihan itu tidak baik. Tapi, coba kalau kita lihat lagi. Darimana kita tahu suatu hal berlebih atau tidak (dalam konteks ini adalah tulisan saya), apabila saya tidak menuliskannya kali pertama? Paramaternya kan jadi bias? Jadi, kembali lagi. Saya tetap menulis, setelah mendiamkan rasanya barang sehari dua hari, semua tetap saya ejawantahkan dalam kata-kata. Setidaknya semua gumpalan ini dikeluarkan dalam bentuk apa saja, untuk saya: puisi dan prosa juga cukup.

Semisal, perasaan dikejar-kejar tanggung jawab karena hari ini adalah pertama kalinya saya mengajar kelas internasional di fakultas lain. Selain rongrongan kepecundangan yang mengikuti saya sebelum saya memberikan materi, kekecewaan juga masih menyintas sampai sekarang, sampai malam ini, sampai pagi ini...membuat saya terjaga (ini jam 4 pagi). Ternyata perlu juga menikmati agak lama perasaan 'bodoh' ini lagi, setelah terakhir kali merasakannya karena proses pembuatan tesis yang gagal berkali-kali dan perlu waktu lama sekali. Kalau tesis, hasil akhirnya kelihatan jelas. Kalau ini? Hanya rasa malu saja karena "Kok bisa-bisanya saya ngajarin anak orang sebodoh itu?" Tidak enak ternyata dihantui oleh perasaan-perasaan seperti ini. Sulit ternyata jadi profesional, sepertinya saya memang tidak berbakat atau mungkin ini pertanda saya harus lebih lagi menakar diri untuk tidak berkata iya-iya sebagai aksi bunuh diri. Iya, mengiyakan memberikan kuliah di kelas internasional kan upaya bunuh diri untuk orang yang kemampuannya so-so macam saya ini. Ini tulisan hanya keluhan saja...keluhan atas kekecewaan diri sendiri. Keluhan karena ternyata memberikan yang sempurna, kemudian kecewa dengan hasilnya...patah rasanya luar biasa. Pun pada akhirnya, saya akan menikmatinya dan menutup perasaan ini dengan menonton film atau membaca buku apapun...tetap saja, emulsi rasanya akan menyatu bak reaksi kimiawi jika bertemu dengan atom-atom lainnya suatu saat nanti.

Selain kekecewaan sore ini, banyak daftar pekerjaan yang menimbulkan tanya diri. Belum selesai satu pertanyaan, kemudian datang lagi. Ketika masih ada pekerjaan yang dapat kita pekerjakan demi kebaikan orang banyak, saya selalu senang. Tapi, pertanyaan datang kemudian menyelengkat kaki saya...setiap kali 'orang banyak' ini justru menjadi batu sandungan yang membuat saya mempertanyakan tujuan saya lagi. Dalam artian, ketika kita berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam prosesnya...memang selalu ada saja yang menyusahkan dan membuat prosesnya menjadi lebih panjang. Batu sandungan di sini bisa menjadi hal yang buruk, bisa juga menjadi hal yang baik. Pilihan kata batu sandungan terkesan menjadi konotasi, tapi tanpa tersandung...bukankah kita tidak akan tahu rasanya sakit dan jatuh...bukankah kita tidak akan mengalami proses merelakan? Contoh: pekerjaan makin tidak manusiawi akhir-akhir ini (bukannya selalu?). Hampir dua tahun bekerja, waktu untuk diri sendiri semakin tidak ada...pun di akhir pekan? Apakah selalu begitu ya? Pun demikian, pertanyaan bandingan yang tak kalah merisaukan adalah...is it worth it? With all those obstacles, is it worth it? Kalau kita sudah mengusahakan yang terbaik, tapi kok ya menghidupi diri sendiri saja makin sulit akhir-akhir ini? Mungkin kebutuhan semakin banyak, bukan kebutuhan materi, lebih pada yang lain-lain (yang lebih penting).

Entah, saya jadi bertanya-tanya...semua ini untuk apa? Lucunya, pertanyaan saya ini dijawab terang-terangan oleh Pessoa dalam bukunya: "To write is to forget. Literature is the most agreeable way to ignoring life," "I wasn't meant for reality, but life came and found me," atau "Words were my only truth. When the right words were said, all was done; the rest was the sand that had always been." Terima kasih, Pessoa. I owe you the starlight.

Dengan cinta,
Jessy Ismoyo

Comments

Popular Posts