Potongan Percakapan di Halaman Kedua dari Belakang Buku



A: "Selalu ada waktu untukmu. Mau diskusi apa kita? Politik?"
B: "Maunya sastra..."
A: "Haha...kamu lebih jago soal itu. Kita bahas politik sajalah."
B: "I loathe politics, you know that..."
A: "Really?"
B: "Iya. Gini deh! Kita ini usaha, usaha, usaha, nggak ada berhentinya. Dipikir-pikir usaha kita untuk mencapai sebuah keadilan itu kok susah, ya? Mau bawa perubahan kok rasanya sia-sia. Lelah juga ternyata. Apa sih itu kedamaian? Kamu tahu apa itu kedamaian? Apa coba ukuran riil-nya?"
A: "Kamu nggak akan bisa mengukur sebuah kedamaian, tapi paling tidak kamu bisa merasa damai kalau kamu merdeka. Merdeka dari kebodohan, kemiskinan, pengangguran, korupsi, kediktatoran. Kalau sudah merdeka dari lima hal itu, kedamaian-kedamaian kecil terwujud."
B: "Utopia...macam kita saja. Boro-boro kedamaian kecil, merdeka saja tak kelihatan di depan mata."
A: (Tersenyum)
"Sudah malam. Nanti kita lanjut. Tidur sana. Supaya harapannya terus ada, coba baca Pamflet Cinta sebelum tidur. Puisi Rendra."

Seperti keberadaan Bengkel Teater,
Jarak merentang antara Depok dan Yogyakarta,
Februari 2009
(Enam bulan setelahnya, Rendra pergi...meski sepi menjadi kaca)

Comments

Popular Posts