Perpustakaan yang telah jadi Markas Partai Politik

Freedom Public Library, 2013.
Di sudut perpustakaan itu, aku menemukanmu.
Di sudut perpustakaan itu, aku memberikan buku Letters to Sartre yang jadi peta perjalananku.
Di sudut perpustakaan itu, aku membacakan salah satu penggalan surat di bulan September yang jadi favoritku.
Di sudut perpustakaan itu, aku melihatmu tersenyum karena kalimat terakhir yang kubisikkan perlahan, ya, pelan dan perlahan, kalau terlalu kencang bisa-bisa aku diomeli pegawai perpustakaan.
Di sudut perpustakaan itu, kukatakan: "I don't feel alone for an instance, I'm with you, I feel your presence in every one of my thoughts, we are really one person, my beloved."
Di sudut perpustakaan itu, kau memelukku lewat sorot matamu.
Di sudut perpustakaan itu, aku membeku dan berdoa semoga waktu berhenti dan berulang macam Groundhog Day pada momen itu saja.
Di sudut perpustakaan itu, semua kusimpan dalam-dalam...sekarang, tak bisa aku kembali ke perpustakaan 'Kebebasan' sekadar untuk merayakan...
Perpustakaannya sudah tutup sejak bertahun-tahun lalu, dijadikan markas partai politik.
Nah loh! Bahkan hak untuk revisitasi memori saja tak diberikan oleh negeri ini, apalagi hak-hak yang lain.
Adakah yang mau advokasi hak-ku untuk revisitasi memori? Ini penting untuk kesehatan batin!
Mosok aku harus mengulang-ulang di kepala saja? Tega.
Gini-gini mau sok-sok-an bicara kebebasan. Ditelaah semua dari Hobbes, Mill, Rousseau, sampai pemikir eksistensialis, pada akhirnya toh hanya berakhir dengan menulis sajak-sajak agar suatu kali nanti, di tahun 2018, 2019, 2020, aku bisa mengingat kembali, pernah ada kau di Jalan Proklamasi, di sudut perpustakaan, diam di balik kaca mata berbingkai hitam.

NB. Jangan lupa dengan memori di beranda warung kopi sebelah perpustakaan.

Salatiga,
19 September 2017
(Proklamasi, Februari 2013)

Comments

Popular Posts