Sebuah Puisi: Di Sini Saja

Semarang Contemporary Art Gallery, Oktober 2017.

Setiap hujan deras, aku tak mampu lagi bicara apalagi menulis. Sudah tidak ada lagi signifikansi dari tiap unggahan diri.

Setiap hujan deras yang mulai di bulan Oktober, aku bertimpuh hingga kedua kaki kesemutan. Benar-benar kesemutan. Ketika bergerak, rasanya kau tahu kan? Singit-singit menyakitkan, tapi harus disudikan.

Pernah dengar hibriditas identitas menempatkan lokasi ketiga pada identitas? Itu teori Bhabha soal Wacana Postkolonial. Hmm...Bisakah kita menempatkan kamu dan aku dalam aji-aji pada semesta demi sebuah lokasi ketiga seperti teori Bhabha?

Karena rindu membentuk hibriditas yang melintasi identitas.

Bukan jalan pintas, hanya cara untuk pulih dari jiwa yang disembelih.

Setiap hujan deras, aku ingin menulis sebait dua bait puisi sebagai bagian dari ritual agar kau tahu bahwa kau sakral. Tapi, aku gagal.

Aku harus kembali, berbalik dan menuruni tangga,
  dengan degup jantung yang tersila...

Sampai jumpa lagi...

Cukup di sini, dan di sini saja. Di sini saja, cukup ya?


Salatiga,
30 September 2017

Comments

Popular Posts