Sebuah Kontemplasi: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku
Akhir-akhir
ini, saya dihadapkan dengan hal-hal menarik yang kemudian membuat saya tidak
berhenti bersyukur pada semesta. Bukan karena semua kebetulan mengarahkan pada
suatu kesadaran, tapi karena kesadaran saya akan segala sesuatunya kembali
dipertanyakan. Di titik itu, saya kembali belajar. Tadinya, saya ingin
menyimpan kontemplasi ini hingga akhir tahun. Ritual yang selalu saya lakukan
setiap tambah umur, tapi saya berubah pikiran. September sepertinya tepat untuk
membagi hal-hal ini. Kalau kata aktivis-aktivis
kemanusiaan Negeri ini sih, September
Hitam. Semua kejahatan kemanusiaan kok terjadi
di bulan ini. Sebut saja Tragedi Tj. Priok, Tragedi Semanggi 2, sampai Kasus
Munir yang jadi inspirasi lagu 'Di Udara' oleh Efek Rumah kaca. Buat saya pun,
September sama hitamnya. Bukan karena bulan ini kelam, tapi karena saya disesah
lebih lagi untuk mampu memahami 'kehidupan' secara menyeluruh di September ini.
Saya memutuskan untuk menulis ini karena pelukan salah satu kawan ketika kami
berpisah di Coffeewar, kata dia: "Baik-baik, ya!" Tentu saya
akan baik-baik saja. Kontemplasi ini adalah salah satu cara saya untuk 'Menjadi
Baik-baik Saja,' yang saya yakin, satu-satu dari kita mengusahakannya setiap
bangun pagi.
Saya
membuka tulisan saya dengan sebuah ayat yang punya makna sangat dalam untuk
saya. Saya ingat betul, seseorang memberikan ayat ini pada saya. Ia mengatakan:
"Saya ingin terus menulis karena
Alkitab saja menjelaskan betul...betapa pentingnya kata-kata dalam kehidupan
kita." Entah kenapa, saya ingin sedikit bernostalgia dengan
mengutipnya. John 1:1. "In the
beginning was the word, and the word was God." Terjemahannya indah
sekali, "Pada mulanya adalah kata
dan kata adalah Semesta." Saya menerjemahkannya sebagai Semesta, bukan
Tuhan. Kenapa? Karena Tuhan sepertinya membuat maknanya jadi agak ke mana-mana.
Jadi, saya menetap pada kata Semesta. Pada
mulanya adalah kata...
Ketika
saya mencoba mencari lagi arti kata itu, saya tertambat pada Logos Spermatikos. Kalau kalian coba
mencarinya, kalian akan dipertemukan dengan Filsafat dan Kekristenan dalam
usahanya menerjemahkan manusia. Ya, terlihat membosankan. Bahasannya hanya
bergerak di situ-situ saja. Saya memilih untuk mengutip dari St. Justin Martyr
karena lebih mudah untuk mengidentifikasikan diri saya dalam konsepnya. Martyr
membagi manusia menjadi tiga bagian: body,
soul, dan spirit. Untuk
membicarakan natural moral, ia
mendasarkannya pada tripartite notion of
man. Saya tidak akan membicarakan ketiga bagian itu secara mendalam lewat
paparan Matryr. Bagaimana body dan soul dapat diatur oleh manusia, namun
sulit untuk membuat kedua bagian itu menjadi integral dengan spirit. Walaupun demikian, manusia
selalu akan dalam 'usahanya' untuk memahami bahwa spirit bersifat reflektif dari kedua bagian 'yang dapat diatur'
itu. Mungkin saya akan mencoba membabaknya justru dari sisi lain di paragraf
selanjutnya.
Hal
menarik bagi saya justru konsep Logos Spermatikos
yang disebutkan oleh Martyr. Logos
Spermatikos ibarat jembatan di mana ketiga elemen itu bersua. Bagaimana
kemanusiaan dibentuk dalam 'disposisi moral' yang mampu membawa pengembangan
budaya (paieda). Lewat apa?
Kata-kata. Ini memang agak jauh, saya jadi teringat buku Sartre yang berjudul 'Kata-kata'. Intinya, buku itu hanya
usaha Sartre membangun jembatan untuk dirinya sendiri sebagai subjek dalam tripartite elemen yang disebutkan
Martyr. Ya, lewat 'disposisi moral'-nya
sendiri yang merupakan usaha pengembangan budaya (paieda). Bagaimana kemudian pemahaman mendalam tentang kata-kata
dan usaha untuk menjalin kata-kata menjadi sentral dalam 'kemanusiaan'? Logos Spermatikos menjelaskan bahwa
manusia adalah 'bibit' dari logos. Bibit
yang terdapat dalam setiap manusia ini akan mati begitu saja, tumbuh kemudian
mati, atau tumbuh dan berbuah sekali, mungkin juga tumbuh dan berbuah
terus-menerus hingga nanti (Ingat perumpamaan tentang biji sesawi? Oke, kalau
terlalu 'Kristen'...mungkin ingat buku cerita anak-anak yang berjudul The Giving Tree karangan Shel
Silverstein). Buat saya, buku itu sangat membumikan konsep Logos Spermatikos dengan memetaforkan kita sebagai sebuah pohon.
Kalau bahasa lainnya, Imago Dei. Segambar
dengan Semesta. Memberi dan berbagi, dua-duanya adalah sesuatu yang menjadi
siklus untuk menghidupi 'kehidupan' dalam diri dalam konteks tripartite notion of man tadi.
Ketika
dikaitkan dengan penghakiman benar dan salah menurut 'etika' atau 'norma' atau
'nilai', saya selalu membawa pemahaman kembali pada Logos Spermatikos atau 'Bagaimana menjadi pohon' atau 'Bagaimana
menjadi bibit yang baik'. Saya ingat betul tulisan dalam demo beberapa waktu
lalu di AS, tulisannya seperti ini: "They
tried to bury us, they didn't know we're seeds." Ya, kita adalah
benih. Tapi, pertanyaan saya kembali untuk kita semua. Mau jadi benih yang
seperti apa? Mungkin seharusnya kita menjadi benih yang tumbuh layaknya pohon
di buku karyanya Silverstein tadi. Seharusnya, kata yang sangat menghegemoni.
Mungkin lebih baik memakai 'ada baiknya'. Lagi-lagi, 'baik' jadi sangat
subjektif. Saya koreksi ya? Sudikah kita
menjadi benih yang tumbuh layaknya pohon di buku karya Silverstein tadi? Karena
kata 'sudi', saya rasa, sejalan dengan keinginan yang timbul dari dalam hati. Saya ingat betul pernah menulis kata-kata
ini beberapa tahun lalu: "Tumbuh adalah indikasi bahwa Anda telah
sembuh." Sembuh dari apa? Sembuh dari pergumulan diri sendiri.
Mungkin. Bisa jadi. Apalah yang bisa kita tahu pasti dari dunia ini?
Saya
mungkin akan memulainya dengan semester baru yang dimulai sudah dua minggu ini.
Ketika menjadi pengajar, saya tidak punya waktu untuk diri sendiri. Jadi, harus
pandai-pandai mengatur waktu agar tidak gila sendiri karena kerjaan kok ya datang tanpa henti? Semester baru
dengan tujuh kelas yang harus diajar, tanggung jawab yang berputar-putar pada
satu event ke event lainnya, tekanan di antara tegangan politik kampus (opini kanan-kiri yang menjejal dan membentuk
gunung terjal; gunung yang sulit didaki... sampai politik negara ini [tuntutan
akademisi yang hanya berkutat pada teori-teori dan konsepsi] atau sekrusial motor tak boleh masuk jalanan Ibukota...atau
juga kasus kemanusiaan yang selalu mengetengahkan isu agama; bersyukurlah pada
orang-orang pintar yang mengetengahkan teori identitas untuk menilik lebih jauh
politik identitas yang tak pernah usai ini), mengajar mata kuliah yang
sangat-sangat baru seperti Ekonomi Politik Internasional (anak Sastra diminta
mengajar mata kuliah ini kan lucu
jadinya? Mau tidak mau, saya selalu
membuka dengan lagu, buku atau film yang memang merepresentasikan situasi
ekonomi politik pada suatu masa tertentu), tanggung jawab mengurusi jurnal yang entah dari mana ilmu ini
akan saya dapatkan, tanggung jawab pada virtual
space yang entah juga harus saya mulai dari mana, sampai ke tanggung jawab
kecil sesederhana membayar listrik/air dan mengantar baju ke laundry. Waktu tidur terkuras untuk
hal-hal yang penting sampai tidak penting. Saya dan jam tiga pagi sekarang
sudah menjadi teman baik. Lebih baik ketika masih menjadi mahasiswi. Life's getting tighter as you're adulting. Saya
rindu ruang kosong melompong di mana saya hanya menikmati desauan angin dan
mengisi diri dengan pertukaran makna dengan teman-teman yang mampu mengisi jiwa
(walaupun hal ini saya lakukan terus-menerus beberapa minggu ini karena saya
anggap perlu).
I borrowed lines from Luke 12:48, "From everyone has given
much, much will be demanded; and from the one who has been entrusted with much,
much more will be asked." Mungkin begitulah kehidupan, kepercayaan
jadi hal yang sangat mahal. Kesadaran bahwa seseorang yang mendapatkan banyak,
perlu pula tumbuh dengan kesadaran memberikan dua kali lipatnya. Karena sebuah
kepercayaan akan datang dengan seribu permintaan, seribu pesan, kadangkala
seribu pertanyaan. Pada akhirnya, kita diuji pada hal abstrak dalam diri kita
sendiri, Mampukah kita selalu menempatkan kata-kata pada awalannya, baik yang
kita sampaikan secara lisan maupun tertulis? Buat saya, tidak hanya pertanyaan
itu saja, kesadaran menahan reaksi harus sudah dibentuk dari dalam kepala.
Kata-kata yang lalu-lalang dalam kepala juga sudinya dialaskan pada kesadaran
bahwa 'Yang terutama dan utama adalah
cara kita menunda reaksi. Reaksi atas penghakiman-penghakiman di dalam kepala
kita sendiri. Reaksi untuk mengumpulkan potongan cerita dan menjadikannya pola.
Reaksi untuk menjustifikasi kebenaran atas pengalaman satu dua orang saja.
Reaksi untuk mengkultuskan sesuatu. Reaksi untuk melontarkan naskah-naskah
kehidupan agar sejalan dengan ego kita saja." Begitu banyak reaksi
yang perlu ditunda demi pemenuhan tripartite
notion of man. Pada mulanya adalah kata-kata...yang berputar-putar dalam
kepala...di sanalah keadilan diri dapat menjadi garis mulai dalam membentuk
kemanusiaan. Sulit. Seringnya saya justru berkelit. Mungkin September akan jadi
awalan lainnya untuk berhenti komat-kamit dan geleng-geleng kepala pada
orang-orang yang bisa-bisanya membelokkan
kesadaran demi sesuatu yang mereka anggap perlu.
Sudah
diajak berputar-putar dengan ide Logos
Spermatikos dan bualan-bualan tak penting tentang pekerjaan, hari ini, saya
berhenti pada tulisan yang saya baca di notes
teman saya. Ngelmu iku kelakone
kanthi laku. Ini adalah pepatah Jawa lama. Pengetahuan itu terlihat dari
tingkah laku. Lucunya, sejalan dengan Logos
Spermatikos atau Imago Dei yang
saya jelaskan tadi. Kejawen. Kata
itulah yang saya temukan ketika mencari tentang pepatah jawa itu; Sangkan Paraning Dumadi. Begitu saya
mengatakan Kejawen, rasa-rasanya
langsung ada prasangka ya dalam kepala? Marilah dulu menahan reaksi untuk itu.
Saya terpaku ketika membaca konsep 'Laku
Prihatin' dalam pepatah Jawa itu. Laku yang dimaksud adalah kemampuan untuk
mendapatkan pengetahuan justru ada dalam kondisi yang menempatkan kita tidak
mampu berbuat apa-apa terhadap penghakiman semesta, yang bualannya ke
mana-mana...entah dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau tidak. Dalam
bahasa Jawa, nama saya (Ismoyo, red) adalah metafora dari Sang Hyang Manik
Maya. Sama sekali tak mendekati wujud saya ini. Hanya saja, filosofi Sang Hyang
Manik maya tentang Reh Mangukut dan
Liring Sepuh sungguh membuat saya berpikir lagi dan lagi. Filosofi Jawa,
apabila dipahami begitu dalamnya, sama seperti buah pemikiran lainnya...pasti
meminta kita untuk 'menunda reaksi' dan jogo
roso. Konsep Res Mangukut juga
menjelaskan yang kurang lebih sama dengan tripartite
notion of man dari Martyr. Bahwasanya, rasa hati dalam dan rasa pikiran
dalam batin/budi/pikiran harus sejalan. Rasa-rasa di hati seperti kesepian,
cinta, kerasan, dendam dan bahagia sudinya tak dijadikan pembenaran untuk
rasa-rasa yang ada di pikiran seperti sengsara, ingat, waspada, curiga,
kasihan, menyesal...hingga ikhlas. Jikalau kita meringsekkan diri dalam ranah
abu-abu antara keduanya, tak habis puas diri kita diberi pun dibagi.
Untuk
setiap penundaan reaksi, Liring Sepuh mengetengahkan
tiga konsep yang menarik sekali dalam prosesnya: Sepi Howo, Sepi Ing Pamuning, Sepi Ing Pepingin. Tanpa kemauan,
tanpa amarah, tanpa keinginan. Walaupun demikian, ketiga hal ini membuat individu
justru penuh usaha.... bukan untuk berlomba-lomba untuk mengisi, tapi berjalan
pelan-pelan...lumat dalam hubungannya dengan manusia lain, bertumbuh untuk
menjadi 'biasa saja' dan 'sederhana.' Kalau kata teman saya, sosok-sosok yang
'mampu' membuat segan adalah mereka yang mampu menerapkan 'manusia biasa, sebiasa-biasanya.' Contoh: Romo Frans
Magnis-Suseno.
Beberapa
waktu lalu, saya dihadapkan pada seorang Bapak Tua di Keraton Yogyakarta. Bapak
Tua ini menghampiri saya dan memberikan petuah cukup banyak. Ia awali dengan
berkata: "Mbak, cahayamu bagus ya. Orang baik kamu. Jangan berhenti jadi
baik...terus buat sesuatu. Kamu itu punya kemampuan yang buat orang lain mau
mendengar apa yang kamu katakan. Tapi, kamu harus hormat pada orang tua ya.
Kurang-kurangi kasarnya. Tenang saja, kamu akan baik-baik saja. Sabar ya, nduk." Selebihnya, ia berbagi
banyak cerita tentang perjalanannya menjadi keluarga abdi dalem di Keraton. Saya selalu dihampiri orang-orang begini. Entah kenapa. Mungkin mereka salah lihat cahaya
yang ada di dahi saya. Itu pantulan sinar matahari dari kulit berminyak
saja...sebenarnya. Ketika saya menceritakannya pada beberapa kolega saya,
pertanyaan mereka biasanya: "Kamu percaya nggak?" Saya menanggapinya dengan serius dan berkata: "Kalau memang sarannya konstruktif, ya
saya percayai saja. Kebetulan saran beliau konstruktif, saya jadi koreksi diri
dan memang ada beberapa sifat saya yang harus diperbaiki: keras kepala
misalnya?" Sudah. Saya menjelaskannya begitu saja. Tapi, lucunya,
orang-orang haus akan cerita mistis dan narasi saya kadangkala jadi konsumsi
magis yang menjadi pintu untuk cerita-cerita supranatural lainnya. Buat saya?
Kebetulan semesta saja. Orang-orang yang memahami hidup, yang menjarakkan
dirinya dengan kehidupan, pasti punya hikmat kebijaksanaan lebih banyak yang
sedikitnya dapat kita pelajari. Karena memiliki hati yang bersih itu tidak
mudah, menyelaraskan jiwa dan raga itu butuh usaha berulang seperti sembahyang.
Saya menemukan konsep sembah menarik dalam filosofi Jawa: sembah rogo dan sembah cipto.
Bagaimana kemudian kita mampu berdialog dengan raga (kawulo) kita sendiri, menjarakkan diri kita dengan terus sembahyang...supaya kita mampu memaknai diam. Sementara sembah
cipto, meminta kita untuk menyelaraskan pikiran dan akal budi, tak semata-mata
membiarkan perasaan membenarkan kita untuk mengelu-elukan sesuatu. Karena
begitulah manusia jatuh, karena elu-elu pada sesuatu. Tak berhenti di elu-elu,
mereka menguduskannya. Setelah itu, mereka memberangus segala yang berada di
luar kudus. Mungkin untuk dapat sampai pada tataran Bagus Ing Ati (Gusti), kita harus kembali lagi mampu menjejakkan
bagian-bagian diri (kawulo dan gusti supaya menjadi loro-loroning atunggal) dengan menunda
reaksi tadi.
Saya
ingat betul, Bapak yang saya temui di Keraton mengatakan sesuatu tentang Sedulur Papat. Bapak itu fokus pada
indra penciuman memang, tapi ia juga menjelaskan bagaimana setiap indra punya kemampuan akan ketajaman merasakan
sesuatu yang mengindikasikan selarasnya kawulo
dan gusti. Saya ingat beliau mengatakan
seseorang yang mampu membaui lebih dari orang lain, punya tingkat keselarasan
dengan kehidupan. Bagaimana dari sebuah bau, stimulus dalam otak kita dapat
bekerja dan membawa kedamaian di hati. Contoh: wangi lavender. Sesederhana itu
saja, tapi menarik sekali. Selain itu, Bapak itu juga bicara tentang mata. Dari
mata kita dapat melihat segalanya. Mata itu lanange
jagad atau yang paling berkuasa. Mata dipakai untuk melihat yang tergelar
yang menciptakan keinginan...yang justru mengarah pada ego manusia yang tak mau
mengalah. Dari apa yang kita lihat itu, hendaklah memang mulut tak berkata
apapun kecuali hal yang baik saja (dalam hal ini, saya harus menambahkan;
jari jemari juga harus memaparkan yang baik-baik saja juga). Tiga itu yang saya
ingat dan mungkin akan terus saya simpan di kepala saya sebagai penanda.
Sebenarnya masih banyak lagi pengetahuan yang dipaparkan oleh Bapak bijak itu,
tapi saya rasa tak usahlah saya paparkan semuanya. Setidaknya dari pertemuan
bulan lalu itu dan usaha saya memahami semesta, saya melakukan dua hal yang
tidak pernah saya lakukan di tahun ini. Pertama, saya membuat surat untuk Ibu
saya. Kedua, saya tahu betul pentingnya 'laku' dalam kehidupan. Sekarang, saya
tahu bagaimana menjaga diri dan tahu waktu kapan harus diam. Selain diam, saya
juga harus paham bahwa tak selamanya baik hati dibalas dengan baik hatinya
juga. Tidak hanya itu, semesta akan memberi kita segalanya dengan 'kecukupan'
yang dikehendakinya.
Saya
berterima kasih sedalam-dalamnya untuk beberapa orang yang sudi duduk manis dan
berbagi cerita dengan saya dalam beberapa waktu ini. Alexander-ku, senior baik
di kampus maupun di tempat kerja dulu, yang selalu ada dan mengerti bahwa
kehidupan bisa jadi sangat menyebalkan, tapi setidaknya kita tak menyimpan
kesebalan itu lama-lama dalam diri kita. Ninies, yang sudi memberikan
sajak-sajaknya yang indah, yang meyakinkan bahwa perjuangan hak asasi manusia
tak kenal usia, yang punya segudang cerita luar biasa, yang juga sudi diajak
menapaktilas Kampus UI dengan segala ruang-ruangnya yang bicara. Ia mengirimkan ini untuk saya, "Seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada hal yang perlu benar-benar kamu takutkan, cemaskan, dan rindukan. Ikhlaskan yang harus kamu lepas. Relakan yang kamu inginkan Bersiaplah selalu akan kemungkinan dikecewakan keadaan atau dikhianati kenyataan. Tegarlah dalam menghayati kehilangan atau menyambut yang baru datang. Selamat menapaki hari ini dan seterusnya. Apapun itu, just give it a try, and repeat." Kata dia: "Buat kita." Kalau ditanya apakah saya baik-baik saja? Tentu, bagaimana bisa saya tidak baik jika dikelilingi orang dengan hati yang seperti ini?
Zulfa, masih
dengan kejeniusannya tentang film yang dibagi pada saya sejak tahun 2011. Mbak
Lina dan Mbak Ghita yang mengenalkan saya pada orang-orang luar biasa seperti
Mas Bram (terima kasih juga secara khusus sudah memberikan buku dari kumpulan tulisan saya di blog ini; efeknya luar biasa sekali), Mas Syafiq, dan (tentunya) Mas Yusi, yang membuat saya percaya bahwa
semesta selalu baik adanya. Tak hanya itu, saya harus berterimakasih pada
Kalya, jiwa yang saya temukan...yang punya cahaya dari kali pertama kami
bertemu di sudut kafe di Cikini sana, yang sudi membantu menghidupkan karya saya lewat sapuan kuasnya, karyanya itu membuat saya merasa dimengerti dan dipahami dalam sekali lihat saja. Akhirnya, saya harus berterima kasih yang
tak henti untuk Kak Theo dan Weslly, pasangan yang membuat Salatiga penuh
dengan kehangatan dalam percakapan-percakapan, juga untuk buku puisi mereka yang membuat saya ingin memeluk keduanya dan berterima kasih sudah menjadi 'sepasang'. Dua kali pertemuan saja cukup
untuk meyakinkan saya bahwa masih banyak jiwa-jiwa yang akan mengerti tanpa
menghakimi, serta percaya bahwa tak ada lagi yang lebih esensial di Bumi...dari
cinta kasih bagi sesama (bukan untuk diri sendiri). Terima kasih sudah memberi kepercayaan pada puisi sebagai medium diri bersyukur pada Semesta. Tulisan ini untuk kalian,
terima kasih sudah membuat September Hitam jadi energi tersendiri untuk
menjalani hari. Terima kasih sudah mengingatkan kesedihan bukan kelemahan, mengalah bukan berarti kalah, menjadi diri sendiri pun berbeda bukan berarti salah. Terima kasih.
Pelajaran berharga untuk saya: Samsara, samsara, samsara, tak semua kebaikan disalahartikan, tak semua kejahatan disembahyangkan. Hidup memang begitu adanya. Tulus ikhlas harus meninggalkan sesuatu yang membekas, supaya kita ingat pernah ada sesuatu yang menyayat layaknya ayat-ayat. Mari memelihara keyakinan-keyakinan kecil...seperti menulis? Walaupun itu tak harus puisi.
Dengan
cinta,
Jessy
Ismoyo
Comments
Post a Comment